4. Kesan dan Pesan

235 83 7
                                    

Hari ini gue berangkat sekolah agak pagi. Entah setan apa yang sudah merasuki tubuh gue. Mungkin hari ini bukan setan yang bersemayam di tubuh gue, melainkan malaikat.

Malaikat Izrail maksudnya. Tidak, gue belum siap mati. Jangan ambil nyawa gue dulu, gue masih jomlo, ntar siapa yang mau nemenin gue di akhirat?

Gue berjalan menuju kelas. Setelah sampai, pemandangan mengenaskan yang gue lihat. Kelas gue sepi, bukan karena masih langka yang berangkat, melainkan mereka semua kutu buku. Membosankan sekali. Shafira belum berangkat, mungkin masih ngebo di rumah.

"Pagi semuanya.." sapa gue lantang di ambang pintu.

Mereka semua terlihat kaget, suruh siapa spanteng baca buku, jadinya gak nyadar kalau ada gue disini.

Mereka mengalihkan pandangannya dari buku ke arah gue. Gue tersenyum senang, itu artinya gue tidak dicuekin. Namun, sedetik itu juga mereka kembali fokus ke buku mereka masing-masing.

Gue tersenyum kecut, apakah semenit saja mereka tidak membaca buku, akankah mereka jadi bego?

Gue berjalan ke arah bangku gue yang berada di pojok belakang, meletakkan tas, kemudian duduk. Suasana di kelas bikin gue pusing, bau otak semua.

Tempat yang gue hindari sejak dulu. Pertama, perpustakaan karena di sana banyak buku yang bikin gue pusing dan mual kalau melihatnya. Kedua, Ruang BK, semua anak tidak ada yang menginginkan pergi ke ruang itu. Namun, bagi gue sudah terbiasa bersemayam disana.

Dan yang ke tiga, gue juga harus menghindari kelas gue ini. Beda saat gue SMP, gue selalu di tempatkan di kelas F. Bagi anak pintar, mendapatkan kelas F merupakan kesialan, karena mereka akan menjadi sumber nilai bagi anak bodoh. Namun, lain dengan gue, gue justru merasa beruntung, karena semua anak solidaritas.

Gue memasang earphone di kuping, menyetel lagu kesukaan gue. Lama gue hanya duduk di kursi sambil menikmati lagu. Gue merasa bosan, anak yang baru berangkat pun sama. Mereka masuk kelas, duduk di kursinya lantas membuka buku. Tidak laki-laki ataupun perempuan semuanya sama seperti itu.

Gue memilih beranjak dari kelas menuju tempat favorit gue, yaitu kantin.

Gue duduk di salah satu kursi dengan masih mengenakan earphone di telinga.

"Bu kantin, Es Teh manis satu." gue belum mengenalnya sehingga gue memanggil seadanya sesuai profesi orang itu.

"Iya.." sahutnya.

Gue mengambil ponsel dari saku kemudian memainkan game terbaru gue. Jangan heran kalau memori gue penuh dengan aplikasi game. Karena memang gue maniak permainan layar.

"Ini Es Teh-nya, panggil saja saya Bu Maryam. Jangan Bu kantin." ujarnya sambil menghidangkan pesanan gue.

Gue mendongak, "Apa?" gue tidak mendengar ucapannya karena memang sedang fokus bermain game dan mendengarkan lagu.

"Panggil saja Bu Maryam, jangan Bu Kantin." ucapanya lagi.

"Iya, Bu Maryam." ulang gue.

Bu Maryam mengangguk kemudian berlalu dari sana.

Gue kembali melanjutkan game yang sempat tertunda beberapa menit.

"Hei."

Sebuah suara menyelip didepan gue. Gue tak menghiraukannya, gue sedang fokus pada layar ponsel.

Dan pada akhirnya ada seseorang yang mencabut earphone gue secara paksa.

"Apaan sih?!" Gue langsung emosi dan menepis tangan orang itu dengan kasar.

SISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang