31. Gelas Ukur Pecah

30 8 3
                                    

Seharian ini gue menjauh dari Kevin. Bukan apa-apa, hanya saja gue masih merasa kesal karena insiden kemarin di Caffe Halilintar. Kalau acaranya malah berakhir ribut lantas untuk apa Kevin mengajak gue ikut reuni dengannya. Toh, memang gue tidak diundang dan gue juga bukan siapa-siapanya Kevin. Memangnya siapa yang mau jadi kambing cecongek di acara kelompok sosial orang lain?

Pulang sekolah ini gue memang sengaja nongki-nongki dulu di kedai Bu Maryam. Lagian kata Pak Juned mau mengantar mama mengirim orderan dulu sehingga gue punya waktu lebih banyak menikmati segelas es teh manis.

Bel pulang telah berdering dua puluh menit yang lalu, pantas saja suasana sekolah saat ini sepi dan hanya tersisa beberapa anak saja yang mengikuti ekskul sore. Seperti gerombolan siswa junior yang tengah mengikuti pelatihan basket oleh kakak seniornya.

Sepasang mata tengah berpaling kearah gue tapi gue langsung mengalihkan perhatian. Mengaduk-aduk es teh menggunakan sedotan dengan sedikit kasar. Di seberang kanan sana, terdapat seorang cowok yang sedang mendribbling bolanya di satu tempat pinggir lapangan. Gue tau, cowok itu sengaja membenturkan bolanya kencang-kencang, terdengar jelas suara gedebuk-gedebuk yang mengusik pendengaran gue sadari tadi.

Lama-lama gue jadi keki sendiri karena ditatap terus oleh cowok itu. Gue melayangkan tatapan tajam kearah cowok itu namun reaksinya malah meringis tanpa dosa. Gue spontan menggebrak meja sembari berteriak, "Bisa diem gak lo!"

"Enggak!" sahutnya kemudian tertawa lebar.

Cowok itu adalah Kevin. Entah sudah berapa kali dia melakukan hal konyol hari ini demi mendapatkan perhatian dari gue. Dari yang sengaja mengjegal kaki gue ketika berjalan. Menarik lepas ikat rambut gue hingga tergerai sampai sekarang. Jangan tanyakan sudah seperti apa penampilan gue sekarang--gue yang tidak terbiasa tampil dengan rambut tergerai menjadi acakadul di sore harinya karena lepek sudah seminggu lebih tidak keramas. Ikat rambut gue juga masih ada di Kevin. Waktu istirahat, dia sengaja mencomot semangkuk bakso milik gue dan memakannya. Gue tidak melawan karena tidak mau ribut untuk kedua kalinya. Belum lagi, dia sempat menjepret telinga gue menggunakan karet nasi bungkus. Sudah tau, pasti sakit. Gue masih berusaha menaklukkan amarah.

"Telinga lo kenapa merah gitu? Blushing ya? Haha." ujar Kevin.

Gue mendengus, "Udah tau nanya lagi."

"Pergi lo sana, ganggu!" usir gue.

"Idih ngambekan, cepet tua lo ntar." ledeknya.

Jika kalian berpikir sikap Kevin itu tegas dan berkarisma. Salah besar. Itu semua cuman kedok monyet belaka. Kelihatannya memang seperti itu kalau belum kenal dekat dengan seseorang. Pasti kalian juga pernah merasakan hal yang sama kan? Seperti misalnya, ketika bertemu orang baru untuk pertama kalinya, entah itu menilai atau bahkan lancang mendeskripsikan sikapnya padahal belum pernah kenal dekat. Terkadang, seseorang bisa menjadi pribadi yang paling tahu segalanya mengenai orang lain.

"Kevin! Ajarin nih yang belum bisa, jangan cewek mulu lo." teriak Kak Aris yang juga ikut melatih ekskul basket.

"Iya Ar, bentar." sahut Kevin kemudian menatap gue lagi, "Sis, lo makin cantik loh kalau rambutnya digerai." lanjutnya.

Gue hendak membalasnya namun sudah lebih dulu dicegat, "Jangan tersipu malu gitu, gue cuma ngomong seadanya. Tuh telinga lo makin merah." ujarnya kilat sebelum berbalik menghampiri Kak Aris.

Gue bisa bernapas lega ketika cowok itu akhirnya pergi juga dari sana. Namun kelegaan yang baru saja gue rasakan lagi-lagi harus kembali dilumat karena kedatangan Shafira yang tiba-tiba.

"Gak lain lagi, lo tuh sepulang sekolah kalau gak di depan gerbang ya di kantin. Akhirnya gue bisa temuin lo tepat waktu juga." ujarnya tanpa jeda.

SISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang