34. Pertemuan Tak Terduga

11 6 8
                                    


Siang ini cuaca memang sedang terik-teriknya. Lalu lalang kendaraan tidak pernah alpa unjuk diri. Kaca gedung-gedung bertingkat memantulkan kemilau cahaya akibat paparan sinar matahari. Di jam sekarang ini merupakan waktunya bekerja.

Tidak pernah terbersit dalam bayangan bahwa gue bakal turun ke jalan menjadi sales baju—karir awal seperti Revita. Kerja paruh waktu bukanlah perkara yang mudah. Siapa bilang enteng? ternyata berat karena gue sudah merasakannya sekarang. Ditemani motor matic putih dengan kerombong berisi baju-baju yang bakal dijajah ke pelanggan.

Itung-itung bisa menikmati menyetir motor sembari jalan-jalan keliling kota. Setelah insiden menabrak jambu air milik tetangga, gue tidak pernah diizinkan lagi mengendarai motor sendiri. Dan kini, dengan amat terpaksa Revita mengiyakan gue melanglang buana menyambangi tiap jalan, menemui rumah per rumah.

Keringat mengucur di pelipis, terasa gerah. Belum juga menemukan tempat yang pas untuk menawarkan baju, gue berniat mampir dulu di minimarket terdekat. Membeli dua botol minuman dingin sekaligus karena haus.

“Woy, Sis!” baru saja keluar dari minimarket, pundak gue ditepuk pelan oleh seseorang.

“Fajar?”

“Ngapain lo?” tanyanya.

“Pengen tau aja dah lo!” gue menoyor jidat Fajar menggunakan jari telunjuk.

Fajar menyeret gue menuju parkiran samping minimarket yang lumayan sepi.

“Lo bawa apaan?” tanya Fajar sambil menunjuk kerombong yang gue letakkan di atas jok motor.

“Bom!”

“Gue serius nanya.” balas Fajar.

“Baju.”

Cowok itu menaikkan sebelah alisnya, “Lo jadi sales baju sekarang? Gue denger katanya butik punya nyokap lo bangkrut?”

“Lo enggak perlu jawaban kan?”

“Berarti bener?” tanya Fajar.

“Apanya?”

Fajar memiringkan kepalanya, “Lo jadi sales baju?”

Mata gue memincing, “Gak usah ditanyain lagi, lo udah tau jawabannya.”

Gue menyingkirkan keberadaan Fajar untuk segera naik ke atas motor dan pergi dari sana. Berbicara dengan Fajar membuat mood gue makin buruk. Bukan apa-apa, hanya saja gue tidak ingin dikasihani atas musibah yang telah terjadi. Karena gue paling tidak suka terlihat menyedihkan dihadapan siapapun itu.

***

Melihat ada kerumunan ibu-ibu di sebuah rumah, gue memutuskan untuk bersinggah menjajakan pakaian di sana. Sebetulnya gue memang masih begitu awam soal pemasaran. Namun pekerjaan ini sudah menjadi tugas gue mulai sekarang. Perlu keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi dan harus bisa mengubur gengsi rapat-rapat. Karena kalau tidak ujung-ujungnya bakal minder.

“Selamat siang ibu-ibu. Boleh minta waktunya sebentar?” kalimat mandraguna utama oleh seorang sales baju. Digurui oleh Revita yang memang sudah ahlinya semalam.

Gue meletakkan kerombong berisi baju-baju itu di lantai tempat para perempuan duduk santai sembari lesehan. Mereka mempersilakan gue dengan ramah. Ada sekitar sepuluh orang lebih di sana, mungkin acara ibu-ibu PKK. Dan ini kesempatan emas untuk gue menawarkan pakaian.

“Ibu-ibu di sini barangkali ada yang mau beli baju saya? Bagus-bagus loh, dilihat dulu siapa tau tertarik. Bisa bayar langsung kontan bisa juga kredit.” tawar gue.

SISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang