26. Cilok Idun

25 9 3
                                    

Ada yang berbeda dengan sikap Fajar kali ini. Selepas tadi memergoki gue dan Kevin berada di UKS, cowok itu langsung menyeret gue paksa untuk segera pulang bersamanya. Dan sekarang gue telah berada di boncengan motor Fajar. Sepanjang perjalanan biasanya Fajar yang bakal cerewet bercerita ini dan itu namun sepertinya kali ini suasana hatinya masih belum membaik. Seperti yang gue bilang tadi, gue harus melipurnya. Setidaknya bisa membuat wajahnya tidak terlihat lesu lagi.

"Jar, mau mampir ke Caffe Halilintar dulu?" tawar gue.

"Langsung pulang aja." jawab cowok itu singkat.

"Jar." panggil gue.

"Hmm." sahutnya.

"Kenapa sih?" tanya gue, merasa ada yang aneh dengan respon cowok itu, terkesan jutek.

"Gapapa." balas Fajar.

"Beneran?"

Diam sesaat, gue kembali mengajukan pertanyaan. "Lo masih marah gara-gara kalah tanding ya?"

Kali ini Fajar tak menyahut. Cowok itu hanya fokus menyetir motornya. Bahkan Caffe Halilintar pun sudah dilewatkannya sehingga gue tak akan lagi menawari cowok itu untuk mampir kesana, takut Fajar bakal berubah pikiran dan putar balik kembali.

"Gimana kalau beli cilok idun sekitar kompleks rumah gue aja?"

Biasanya Mang Idun berdagang keliling mengenakan gerobak motornya di sekitaran kompleks perumahan. Saat ini jam menunjukkan pukul satu siang, itu artinya Mang Idun masih setia berada di sana. Mang Idun bakal pulang ketika sudah jam tiga sore dan kembali lagi jam delapan malam.

"Terserah." cowok itu menyahut, masih judes seperti tadi.

"Lo belum pernah nyobain kan? Enak loh." ujar gue.

Tidak ada sahutan. Cowok itu menghentikan motornya ketika gue menyuruhnya berhenti di pinggir jalan. Terlihat Mang Idun disana. Gue memang sering membeli ciloknya. Rasanya yang nikmat tiada tara dan harganya pun mudah dijangkau. Seenak-enaknya makanan kalau mahal gue gak bakalan minat membelinya. Soal duit memang harus irit tapi jangan medit entar dompetnya melilit.

Kami berdua pun turun dari motor, melepas helm dan duduk di kursi yang telah disediakan oleh si penjual.

"Mang, beli ciloknya dua porsi." ujar gue memesan.

"Iya, neng Siska." sahut Mang Idun.

Pembeli memang sedang ramai berdatangan sehingga gue harus menunggu pesanan siap agak lama. Karena memang Mang Idun merupakan salah satu langganan bertahun-tahun lamanya di kompleks sekitar sini. Jadi tidak heran kalau orang-orang bakal menyempatkan waktu luangnya untuk mengantre guna mendapatkan cilok idun beberapa porsi ditangan. Toh, makanan ini tidak pernah membosankan.

Sejak gue kecil, Mang Idun memang telah lama berjualan keliling disini. Gue yang kerap memanggil Mang Idun lewat depan rumah, tanpa membawa duit sepeserpun, dengan percaya dirinya memborong lima porsi. Gue kecil memang sudah terlatih berhutang. Biasanya seminggu dua atau tiga kali gue beli cilok idun. Akhir minggu, Revita yang bakal menanggung totalan bayarnya.

"Sis." panggil Fajar. Gue menoleh.

"Apa?"

"Tadi lo ngapain di UKS berduaan sama Kevin?" tanyanya.

Dahi gue mengernyit heran, "Jadi lo marah cuma gara-gara itu?"

"Yaudah, kalau gitu gak usah diungkit lagi." balas Fajar membuang muka dari gue.

"Gue cuma disuruh mijitin dia doang." jelas gue.

"Kenapa lo mau?"

"Ya gue ngerasa punya tanggung jawab soal perjanjian tanding basket sama dia, gue juga sempet jelasin sama lo tentang ini kan waktu lo nyeret-nyeret gue sampe parkiran." ujar gue.

SISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang