30. Reuni Tanpa Undangan

28 9 0
                                    

"Shaf, habis ini gue mau ke rumah lo." ujar gue ketika bel pulang sekolah berbunyi.

"Dih, males banget. Gue lagi gak mau menerima tamu." ujar Shafira yang sedang menata alat tulis untuk dimasukkan kedalam tas.

"Jahat banget sih lo, masa temen sendiri mau mampir gak boleh."

"Lo emang gak punya malu ya, Sis? Padahal lo udah buat gue sama Riski jadi berantem dan sekarang lo malah santai aja kaya gak ada salah. Harusnya tuh kita lagi marahan."

Gue memegang kedua lengan Shafira, "Yaelah, pliss gue mau ke rumah lo sekarang."

"Gak. Ntar lo berantakin kamar gue lagi."

"Gue janji bakal diem aja kaya manekin, yang penting gue mau main ke rumah lo."

"Beneran?"

Gue mengangguk, "Iya."

"Ya udah ayo." ajak Shafira sambil menyampirkan tas di pundak.

***

Sepertinya gue memang punya potensi berdalih yang mendarah daging. Alasannya saja mau jadi manekin pajangan di rumah Shafira, nyatanya belum sampai setengah jam gue sudah petakilan kesana kemari. Shafira mendengus jengkel sembari merebahkan badannya di kasur. Padahal kamarnya baru ditata dua hari yang lalu tapi gue dengan pedenya memberantakkan lagi.

"Shaf, numpang ngisi baterai hape." ujar gue.

Shafira menguap, "Perasaan kalau lo kesini selalu numpang nge-charger deh."

"Baterai hape gue habis, gimana dong?"

"Colokin tuh di idung lo!"

"Jangan pelit lah, gue cuma minta listrik emm dua watt doang mungkin."

"Lima menit lima ribu."

"Mahal amat sih, perhitungan sama temen sendiri."

"Gak pelit, gak bisa kaya." ujar Shafira.

"Idih, kata siapa?"

"Kata lo kan?" Shafira menyentil jidat gue lumayan kencang.

"Sakit woy!" gue beranjak berdiri dan menuju ke tempat meja belajar Shafira. Disana ada sebuah stopkontak charger,  saking seringnya numpang ngisi baterai, gue sampai hapal dimana letaknya. Tapi bukan ini tujuan gue sebenarnya, lantas gue mengambil sebuah benda yang terpajang manis disana lalu memasukkannya kedalam tas gue dengan gerakan cepat, takut ketahuan sang pemiliknya.

"Udah?" tanya Shafira.

"Belum, baru aja diisi." jawab gue.

"Maksud gue bukan itu, udah dicharger  belum. Gitu aja gak ngerti."

Serba salah.

"Gue heran kenapa selalu ditanya, udah? Sama kayak bonceng naik motor, padahal baru naik belum sampai tujuan tapi ditanya gitu. Pasti jawabannya belum lah, orang motornya aja belum jalan." gue mendengkus.

Shafira menggampar wajah gue menggunakan bantal guling di tangannya. "Maksudnya tuh lo udah naik apa belum? mungkin itu pertanyaannya. Lo aja yang gak pekaan."

"Ya kan bisa nanya lebih jelas."

"Serah lo deh, ribet ngomong sama kuntilanak nyungsep."

"Kok lo jadi kayak Nina sih!" ujar gue kemudian ikut rebahan disamping Shafira.

"Gimana rasanya marahan sama Riski?" tanya gue, mengingat kejadian tadi pagi.

"Rasanya seperti ironmen! puas lo!" Shafira berguling ke samping, memunggungi gue.

SISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang