13. Fajar

126 60 4
                                    

~00~

_____

Kepentingan yang dimaksud Mama tak lain lagi adalah perihal bisnis Revisis. Gue kira ada acara penting mendadak. Gue menghela napas kesal, melempar tas ke ranjang, sepatu gue lepas asal lalu menjatuhkan badan ke kasur. Rasanya penat sekali. Lagi-lagi gue harus bersandiwara menjadi orang kalem. Sungguh menyebalkan!

Bayangkan saja, sifat yang bukan kamu banget harus diaplikasikan pada diri kamu. Sifat yang bertolak belakang dengan aslinya.

Ingin sekali gue membantah mana kala Revita menyuruh gue untuk menuruti kemauannya. Namun apa daya gue, selama ini gue dibesarkan oleh beliau, diberi kasih sayang olehnya dan membelikan ini dan itu setiap kali gue meminta. Katakanlah kalau gue ini tidak tau diri jika sampai gue membantah perintah kecil dari Revita. Sementara Papa pun tidak pernah mengharapkan lebih dari apa yang gue mampu kecuali pas gue pertama masuk SMA, mereka menyuruh gue untuk masuk jurusan MIPA karena hal sepele. Supaya sama. Kata mereka. Gue hanya menurut saja waktu itu karena pada saat itu gue hanya mikir yang penting sekolah, masalah kejurusan tidak terlalu penting dipikirkan.

"Siska." Revita memasuki kamar gue seraya membawakan beberapa gaun simple seperti biasanya. Herannya setiap kali gue disuruh memilih salah satu opsi, Mama selalu menawarkan baju yang berbeda dari minggu-minggu sebelumnya. Gue juga heran apa faedahnya Revita shooping banyak untuk gue sementara gue sendiri sering menolak pemberiannya.

"Mama mau suruh aku buat milih salah satu ya?" tanya gue.

"Selalu bisa nebak tujuan Mama aja deh." Revita menoel dagu gue yang langsung gue balas dengan pelototan tajam.

"Aku mau pakai baju biasa aja Ma, ya? Palingan nanti disana ganti pakaian yang mau difoto kan?"

Tadi Revita sempat mengatakan kalau produk baju buatan terbaru sudah selesai digarap. Padahal prediksi selesainya hari minggu depan. Desainer yang membuat pakaian itu profesional dan amat gesit merampungkannya dalam jangka waktu empat hari saja.

"Ya enggak dong, Siska. Pakai ini aja biar kelihatan anggun." ujar Revita.

"Tapi pakai baju biasa aja gak ngaruh kan?"

Revita tampak berpikir sejenak, "Yaudah deh, tapi jangan pakai celana levis yang lututnya sobek-sobek itu loh, ntar dikira anak berandalan lagi."

Gue terkesiap dengan kalimat akhirnya, cewek cakep gini dibilang berandalan. Mama emang sadis! Kemarin dibilang cewek preman sama Kevin, sekarang dibilang anak berandalan sama Revita, besok apa lagi.

"Iya nggak lah Ma. Yaudah aku mau ganti baju dulu." Revita pun hengkang dari kamar gue.

"Dasar, udah dipilihin baju bagus-bagus malah gak mau." gerutu Revita yang masih terdengar jelas oleh telinga gue.

Gue memakai atasan hoodie  warna hitam dipadukan dengan ripped jeans tak lupa memberi semprotan minyak maskulin yang berbau khas seperti cowok pada umumnya. Menata rambut dengan jari tangan. Sesimpel itu persiapannya. Setelah dirasa penampilan gue sudah siap, gue pun keluar dari kamar karena diluar sana Mama sudah menggedor-gedor pintu dengan tidak sabaran.

"Ayo, Siska. Waktunya udah mepet ntar yang lain nunggu kelamaan."

Mama menarik gue untuk segera cepat pergi dan meminta pak juned untuk mengantarkan mereka ke tempat tujuan yang sama seperti hari jumat itu.

Mama memang menjalin kerjasama dengan Riyanti-Mamanya Fajar. Revita yang menyediakan produk pakaian sementara Riyanti fotografer dan tempat pemotretannya. Tak hanya Riyanti saja, Mama juga menjalin kerjasama dengan pebisnis butik modern lainnya juga yakni mereka yang hari jumat berkumpul di tempat toko butik Riyanti. Itulah mengapa Revita selalu mewanti-wanti gue untuk selalu bersikap ramah karena mereka semua adalah orang-orang penting bagi Mama. Revita pernah bercerita, mereka adalah teman-temannya yang sama-sama berjuang dengannya dari titik nol. Dimulai jadi tukang sales baju, mencoba buat sendiri untuk dipasarkan, mendirikan toko kecil-kecilan dan berakhir sukses bersama hingga sekarang. Untuk itu Mama tidak ingin temannya dibuat kecewa oleh perilaku gue.

Sesampainya di toko butik milik Riyanti, gue dan Revita turun dari mobil dan masuk ke dalam toko itu bersama, seperti biasa disana sudah banyak yang datang. Mama memang selalu datang terakhiran, maka dari itu kebiasaannya seringkali turun ke gue.

"Hai." sapa mereka seperti biasa layaknya sahabat karib pada umumnya.

Gue membuntut dibelakang Mama, namun tiba-tiba ada yang menarik lengan gue dari samping, gue menoleh ternyata Fajar.

"Tante Revi, saya pinjem Siska dulu ya." ujar cowok itu lantang yang membuat orang-orang satu ruangan terkesiap mendengarnya namun setelah itu mereka memberi senyuman penuh arti, begitupun dengan Mama gue.

Fajar menarik tangan gue hingga sampai ke ruangan khusus Desainer merangkai baju. Gue juga tidak tau apa tujuan cowok itu mengajak gue kesini. Fajar duduk di salah satu kursi dan menepuk sebelahnya, memberi isyarat supaya gue duduk disana.

Terdengar helaan napas panjang dari cowok itu. "Kenapa sifat lo beda ya dari yang gue temu di cafe waktu itu?" ucapnya membuka pembicaraan.

"Privasi." jawab gue malas dengan alur topik ini.

"Lo kelihatan tertawa lepas, jutek, marah seadanya, gak ada yang ditutup-tutupi dari ekspresi lo waktu itu."

"Lo nguntit gue ya?!" ucap gue tidak biasa.

"Gak. Saat itu emang kebetulan aja gue ketemu sama lo dan temen-temen lo di Cafe Halilintar."

"Oh." gue menanggapinya singkat.

"Lo ngerasa tertekan ya disuruh Mama lo buat foto model baju? Karena kalau lo lagi ngumpul begini, selalu nampakin sikap anggun yang jelas kentara itu cuma kedok lo yang bukan sifat asli. Gue udah lama kenal lo disini, dan gue bisa lihat kalau sikap lo itu sebenarnya fake, setiap kali lo ketawa, kelihatan dipaksakan."

Gue terdiam cukup lama, tidak menyangka saja kalau Fajar sudah tau jauh sikap kebohongan gue. "Iya. Sebenarnya gue gak suka pura-pura kalem kayak gini. Mau gimana lagi, nyokap gue kalau sudah bertitah gak bisa dibantah. Kalau lo?"

Ini untuk pertama kalinya gue dan Fajar berbicara serius seperti ini, biasanya hanyalah bercakap ringan, bercanda kecil atau sekadar bertanya hal yang penting saja.

"Sama." jawab Fajar yang tiba-tiba raut wajahnya berbeda, tidak seperti tadi.

"Kenapa lo mau-mau aja disuruh Mama lo buat foto model begini? Biasanya ya cowok itu intensitas ngebantah orang tua lebih besar daripada cewek."

"Sok tau lo." Fajar menoyor jidat gue menggunakan jari telunjuknya membuat gue tertawa lepas. Ini untuk pertama kalinya gue mengeluarkan jiwa asli gue terhadap Fajar. Biasanya gue sok jaim, berusaha tertawa kecil supaya tetap terlihat anggun. Padahal gue kalau ketawa udah semacam genderuwo yang sedang kasmaran.

"Gue pengen jadi anak yang terbaik buat Mama, karena cuma gue anak satu-satunya. Papa gue udah gak ada sejak gue masih kecil. Untuk itu gue berusaha buat Mama bahagia karena cuma dia yang gue punya. Mama sering ngelarang gue ini dan itu, ikut basket pun gue sering alpha saat latihan. Katakanlah gue emang anak Mama, dia selau khawatir kalau gue pulang telat." Fajar tertawa sumbang, ternyata bukan cuma gue yang merasa begitu. Cowok disamping gue juga merasakan hal yang sama. Lagi-lagi gue melihat sisi lain dari seorang Fajar Deova.

"Oh iya, Siska. Gue sebenarnya mau tanya ini. Lo kenal sama Kevin?" tanyanya yang membuat gue beralih mode menjadi tidak biasa.

"Iya."

"Lo kelihatan akrab ya sama dia," ujarnya.

"Dih! Akrab dari mananya, gue juga sering sebel sama dia." jawab gue jutek kuadrat.

"Berarti lo benci sama dia dong."

"Udah ah, jangan bahas Kevin, bete gue." gue pun pergi meninggalkan cowok itu lantaran sudah tidak mood jika menyangkut topik Kevin.

Mengingat kejadian di perpustakaan tadi saja membuat gue kesal berkali-kali lipat. 

🍃☕️🍁

Jangan lupa kasih Vote dan Komen yaaa!!

Salam dari pacarnya LinYi :)
Hehe.

firzariva

SISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang