6. Edisi Traktir dari Ngutang

206 79 17
                                    

Selain hidup sederhana yang terpenting bahagia adalah prinsip gue, sedangkan ngutang adalah prioritas gue. Masalah pinjam duit bukan lagi rahasia umum bagi gue, ngutang di mana-mana, satupun belum ada yang gue kembalikan.

Emang dasar hidup gue, tidak bisa tenang, kemanapun, yang ada di tagih hutang.

Gue berjalan mendekat kearah cowok itu, hingga tepat di hadapannya gue merasa canggung, bingung sekaligus takut.

"Kak?" panggil gue lirih.

Cowok itu mendongak, "Udah tobat lo panggil gue 'Kak'?" sahutnya kemudian.

"Hehehe," gue terkekeh garing sendiri, ada panci gosong gak? jujur gue malu.

"Kak, hmm, boleh pinjem duitnya gak?" tanya gue.

"Buat apa?" tanya cowok itu balik.

"Vin, gue pinjem duitnya ya? ya? Besok gue kembaliin deh."

Dahi Kevin terlihat bergelombang, "Maksud gue, buat apa?"

"Lo gak perlu tau, yang terpenting sekarang gue pinjem duit lo, ini darurat banget soalnya." pinta gue lagi.

"Siskaa.. lama banget sih!!" teriakan itu menggelegar ke sepenjuru ruangan kantin, sukses membuat beberapa pasang mata tertuju pada gue.

Gue menengok kebelakang, mengisyaratkan agar semua sabar terlebih dahulu.

Gue berbalik lagi menghadap Kevin, cowok itu sedang tersenyum miring, terlihat dia sedang merogoh saku celananya, sepertinya lelaki itu sudah paham apa penyebabnya.

"Berapa?" tanyanya kemudian.

"Seratus lima puluh ribu." jawab gue mendesak seraya menepuk-nepuk meja tak sabaran.

"Udah kena masalah apa lo?" Kevin berdecak berlebihan membuat gue yang melihatnya mengerlingkan bola mata enggan.

"Nih," Kevin menyodorkan dua lembar uang berwarna merah dan biru kepada gue.

"Thanks." Gue segera bergegas menemui para pejuang traktiran.

Sesampainya disana, gue segera memesan bakso 36 mangkuk.

Demi upil yang susah digali, gue gak bakal lupa sama kesialan ini. Sumpah, suwer, kewer-kewer.

"Mereka semua itu teman musiman apa cuacaan sih? Sedia muncul kalau ada maunya doang!"  gerutu gue dalam hati.

"Sis." panggil Shafira seraya menyikut lengan gue yang berada di sebelahnya.

"Apa?"

"Baru pertama aja udah kena amuk Bu Nita, lo emang gokil dah."

"Apes bener. Ampun."

"Btw. Lo minjem duitnya Kak Kevin ya?"

"Iya."

"Pinter deh lo. Kalau minjem duit sama dia, gak usah takut ditagih."

"Gak percaya gue, dia tuh tipikal orang pelit. Gue pinjem duitnya, dia nanya 'buat apa?' terus kayak gak percaya bakal gue kembaliin gitu."

Shafira terkekeh ringan. "Masa?"

"Bener, gue gak bohong dah."

Gue menengok ke sekeliling, melihat teman-teman dengan wajah sumringah dapet gratisan membuat gue seakan jadi hamba Allah yang suka bersedekah. Meskipun masih harus ngutang dulu.

"Sis, lain kali lagi ya!" teriak Cungip. Emang mantap ya, dapet makan tanpa bayar. Nikmat mana lagi yang Kau dustakan.

"Sering-sering ya lo jadi biang onar, lah kalo hukumannya kaya gini gue siap dah jadi penyantapnya."

"Sis, lo emang teman baik deh."

"Woy, tambah es jeruk dong!" teriak Sanjaya. Eh, itu udah dikasih malah minta lebih! Nih, gue kasih es jotos rasa gibeng biar jontor tuh mulut.

Gue bangkit seraya menampilkan raut wajah jenaka, "Santai semuanya, gue bakal jadi sesepuh X MIPA B yang handal, keturunan langsung wali kelas kita yang menawan tiada tara ini." ucap gue yang dibalas senyuman bangga oleh teman-teman.

Sebenarnya gue tau kalau senyum mereka itu senyum-senyum dusta takut dosa. Lah mana ada orang yang mau senyum tulus, orang gue aja cuma omong kosong. Bhak!

Bu Ernita bangkit dari kursinya, "Saya pamit dulu. Siska, hp kamu masih di saya, kalau mau ambil, orang tua kamu harus datang kesini. Buat semuanya ini adalah contoh yang gak baik, jangan sampai ada yang mengulanginya lagi, kalian udah tau kan kalau semua kesalahan pasti ada konsekuensinya? Siska, ini masih baru pertama kamu sekolah disini, jadi tolong jaga etika." ujar Bu Ernita penuh prihatin sebelum akhirnya sosok itu hengkang dari sana.

"See you mom!"

⏺️⏺️⏺️

Thank you very much!!

sampai ketemu lagi di part berikutnya..

Salam dendam,

Siska.

SISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang