9. Anti Feminin

147 70 4
                                    

~00~

____

Ternyata Mama sudah menunggu di rumah. Saat insiden gue memukul Kevin tadi tiba-tiba Pak Juned--supir rumah, datang menjemput didepan rumah Shafira. Gue memang selalu beruntung, jadinya gue gak kena interogasi Shafira yang akan bertanya-tanya soal kronologi mengapa gue bisa sampai beraninya menonjok kakak kelas gue sendiri. Gue cepat-cepat kabur dari hadapan Kevin yang memelototi gue dengan tajam.

"Kamu kemana aja sih, Siska? Mama udah nungguin kamu loh dari tadi." itu sambutan suara Mama saat gue membuka pintu tadi.

Saat ini gue sedang disuruh duduk menunggu di ruang tengah. Mama sempat mengatakan ada yang ingin diambilnya dulu, gue pun menuruti perintahnya. Gue membuka tas yang tadi gue gendong di punggung, mengambil seplastik keripik singkong yang sempat Shafira beri tadi. Katanya keripik buatan neneknya.

Lama menunggu Mama yang tak muncul-muncul juga, gue menyalakan televisi seraya menyemil keripik singkong buatan neneknya Shafira. Siaran tv sore hari memang membosankan, isinya hanyalah mengulas sekelompok selebriti yang pamer sosialita. Menyebalkan.

Gue orangnya memang anti dengan spesies semacam itu, namun kenapa Mama gue mempunyai jiwa yang bertolak belakang dengan gue? Gue ini sebenarnya anaknya siapa sih, kok gak ada sifat keturunannya sama sekali.

"Siska." panggilan itu menyelip di sela aktivitas gue.

Gue menoleh bebarengan dengan delikan takjub. Revita--Mama gue membawa beberapa gaun yang menurut gue model alay semua. Nah kan, jiwa sosialita Mama gue muncul lagi. Gue mendesah berlebihan. Namun orang ini lain dari orang lain biasanya. Mama gue itu tipe tante sosialita yang pelit. Buktinya aja sama anak sendiri selalu perhitungan.

Mama menaruh semua baju itu ke pangkuan gue, "Kamu cepat pilih salah satu, habis itu kita siap-siap."

Gue melongo, "Mau kemana sih Ma. Mama kan tau sendiri kalau aku itu gak suka pakai beginian."

"Jangan ngebantah, udah cepat sana, kamu ganti baju ntar Mama mau make up-in kamu juga. Kusut gitu anak Mama." Revita mendorong pelan bahu gue, mengisyaratkan supaya gue segera menuruti perintahnya.

Gue berdiri dihadapan cermin, memandang diri gue sendiri aneh. Gue memilih memakai gaun berwarna merah marun selutut, setidaknya warna gaun ini tidak terlalu mencolok ketimbang warna pink dan kuning yang diberikan Mama.

"Eh lo siapa! Woy lo bukan Siska!" teriak gue bermonolog seraya menunjuk-nunjuk diri gue sendiri dihadapan cermin.

"Woy! Lo cewek alay, aneh, gue gak suka jadi feminim." ini bukan pertama kalinya Mama menyuruh gue jadi orang lain. Lo harus jadi kalem dedepan orang-orang siska! seru gue dalam hati.

Pintu diketuk dari luar, "Siska. Udah belum?" teriak Mama dari sana.

"Iya, ini udah kok Ma." jawab gue menyahut.

Mama masuk kedalam kamar gue dengan sepaket make up di tangannya. Mama menyuruh gue duduk di pinggir kasur menghadapnya. Perempuan itu dengan teliti merapikan penampilan gue. Dia melepas ikatan rambut gue, namun gue sempat memprotes.

"Udah Mama bilang kan? Ini rambut di panjangin aja, biar bagus."

"Siska gak betah rambut panjang Ma, gerah." Gue cemberut.

Dulu Gue pernah mencukur rambut dengan model laki-laki, Mama menceramahi gue panjang lebar, katanya dia pengen banget punya anak perempuan, giliran udah punya gue malah sifatnya kayak laki-laki. Saat itu gue tak lagi berbuat hal yang sama dan mulai terbiasa mencukur rambut sebahu. Itu pun sampai sekarang Mama lagi-lagi ingin rambut gue yang panjang.

Mama dengan teliti menyisir rambut gue hingga benar-benar rapi. Setelah itu melapisi wajah gue dengan bedak, lagi-lagi gue menepis tak ingin terlalu ketebalan ntar malah menor lagi kayak Bu Ernita.

"Ma, entar mata Siska kecolok kalau pakai begituan." tolak gue ketika Mama ingin memberi eyeliner di mata gue.

"Nggak bakalan, yang penting kamunya diem. Jangan banyak gerak." Mama mengulas eyeliner dengan hati-hati, setelah itu memberi lipstik ombre ke bibir gue.

"Lipstiknya jangan dihapus, kebiasaan." cerca Mama ketika melihat gue diam-diam mengelap bibir menggunakan tisu yang gue bawa. Gue hanya membalasnya dengan cengengesan.

"Ayo. Inget ya, jangan bersikap petakilan kayak dirumah, kita mau ketemu banyak orang. Temen-temen bisnis Mama."

Yah, kesibukan Mama adalah mengurus bisnis butik Revisis yang merupakan singkatan dari Revita-siska. Toko ini cukup terkenal di jajaran fashion butik modern di Jakarta. Belum lagi, untuk penjualan berbasis online-nya, membutuhkan model sendiri. Untuk itu gue yang jadi sasaran Mama, dia memang tipe orang pelit, jadinya tidak ingin menyewa orang untuk model baju-baju buatannya. Kalau modelnya gue kan Mama jadi nggak mengeluarkan banyak modal, paling gue cuma diberi imbalan makan cilok mang idun lima porsi, sungguh terlalu pelit!

Gue dan Mama diantar oleh Pak Juned menuju butik milik temannya Mama, yang tak kalah bagusnya dengan toko butik modern disini. Gue udah beberapa kali sih kesini, dipaksa Mama tentunya. Di sepanjang perjalanan tadi Mama selalu mewanti-wanti supaya gue gak bikin onar dan selalu terlihat kalem. Ini adalah hal yang sulit gue lakukan, namun demi menjaga image diri sendiri dan Mama tentunya, gue berusaha patuh apa yang Mama perintahkan.

Saat masuk ke toko itu, kita langsung disambut oleh teman-teman Mama. Yang jumlahnya, ah, gue males ngitung. Gue berusaha tersenyum semanis mungkin, balik menyapa tante-tante sosialita itu.

"Eh, Siska, cantik banget." puji salah seorang perempuan paruh baya berpenampilan nyentrik yang tak kalah dari remaja alay pada umumnya.

Gue balas tersenyum, "Makasih tante." ucap gue kemudian duduk disamping Mama.

"Oh, iya, bentar lagi Fajar sampai kesini." ucap Riyanti.

Fajar adalah cowok yang pernah couple model baju pengantin dengan gue. Bah!
Rasanya gue pengen kabur aja saat itu. Cowok yang katanya mempunya gelar the most wanted sekaligus menjadi kapten basket di SMA Ramajati itu sama sekali tidak ada cerminannya, sifatnya tengil, nyebelin kayak Kevin. Lah, ngapain gue malah keinget tuh cowok?! Herannya cowok itu mau aja disuruh emaknya jadi model, tipe-tipe cowok lebay.

"Iya jeng, Fajar sama Siska itu cocok loh." cetus salah seorang disebelah gue, gue yang mendengarnya ingin musnah saat itu juga. "Aku dari dulu pengen banget punya anak perempuan, tapi ya udahlah, punya anak laki-laki yang penting bisa membanggakan ortu."

Dih! muji anak sendiri. Gumam gue dalam hati.

"Anak tante satu sekolah sama kamu loh, Siska." ucapnya lagi.

Terus, kalau satu sekolah sama gue kenapa? Bodo amat! Lagi-lagi gue mendumel, walau tak berani bersuara.

"Ah masa jeng. Siapa namanya, siapa tau Siska kenal?" itu malah Mama kompor.

"Siska pasti kenal lah, namany—"

"Assalamualaikum." tiba-tiba Fajar datang dan syukurnya percakapan menyebalkan itu terhenti.

🍃☕️🍁

TINGGALKAN JEJAK DONG :)

Salam Sayang

firzariva :)

SISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang