7. Salah Sangka

169 74 3
                                    

Tangan usil gue tak bisa berhenti, sejak tadi gue memainkan kepang kalajengking Nina, perempuan yang duduk didepan gue, meski Nina merasa risih dan mendumel tak jelas, gue malah tertawa melihat wajah kesalnya, lagi dan lagi. Ini adalah sebuah bentuk pelampiasan kebosanan gue. Guru matematika peminatan, Bu Dayu, sedang menjelaskan materi logaritma, yang sama sekali gue gak paham.

"Siska, bisa diem gak!" Nina berbalik dan melotot tajam.

"Ya maap." cengir gue.

Tiba-tiba Nina mengangkat tangan, wah, kebiasaan anak pinter ya gini, usai dijelaskan langsung bertanya. Kalau gue tipe murid ditanya bukan bertanya.

"Ya, Nina, mana yang kurang paham?"

"Ini Bu, dari tadi siska usil mulu."

What?! Dia ngadu ternyata.

"Siska!" Panggil Bu Dayu lantang.

"Hadir!"

Bu Dayu menggeleng, "Bukannya memperhatikan malah gangguin Nina, sudah paham ya kamu?"

Gue menggeleng, Bu Dayu menghela napas jengah. "Jangan ribut lagi kalau nggak saya suruh duduk di lantai."

"Yaudah Bu, saya duduk di lantai aja, soalnya dari tadi bawaannya pengen usil terus."

"Beneran?"

"Iya bu,"

Bu Dayu membuang napas kasar, "Yaudah terserah kamu, yang penting gak mengganggu teman."

Shafira yang disebelah gue menggeleng tak lazim, "Dasar aneh!" gumamnya.

Gue berjalan ke pojok baca kelas yang terletak dibelakang bangku gue, disana sudah disediakan tikar dan beberapa bantal kotak hijau motif kodok, lah daripada dengerin rumus absurd itu lebih baik tidur sama bantal kodok disini. Waktu terlewatkan dengan damai, gue benar-benar sudah melupakan bahwa didepan sana masih ada guru yang mengajar. Suasana tenteram ini, meski remang-remang suara Bu Dayu masih terdengar. Gue tetap bisa terlelap.

"Siska.. mana anak itu?" tanya guru itu ketika sesi tanya jawab. Biasa, murid yang kena sasaran ya.. gue atau cowok-cowok yang memang mempunyai tingkah menyebalkan seperti gue, mereka adalah Tian, Riski dan Cungip. Tiga cowok itu yang merupakan komplotan fenomenal kelas. Yah dibarengi dengan gue, dan Shafira yang kadang jadi ustadzah mendadak. Teman perempuan yang paling dekat di kelas cuma Shafira. Yang lain, pada takut diusilin kalau dekat-dekat gue katanya--seperti Nana tadi.

Anak-anak dikelas tertawa sesekali melirik pojok baca belakang, "Tidur Bu!" itu suara Cungip, seketika mata gue terbuka dan langsung dihadiahi wajah sangar Bu Dayu yang sedang menatap horor kearah gue.

"Yang lain memperhatikan, kamu malah enak-enakan tidur. Bagus ya?" Bu Dayu menyindir, sarkatis.

Nyawa gue masih belum sepenuhnya terkumpul, masih kesangkut di alam mimpi mungkin.

"Apa Bu?"

Bu Dayu mendecak kesal, bingung harus bertindak apa lagi terhadap bocah menyebalkan ini, "Kerjakan soal yang ada di papan tulis sekarang!" tangkas Bu Dayu dingin.

Saat gue berjalan menuju kedepan dengan tubuh yang masih sempoyongan seperti orang linglung, bel istirahat tiba-tiba berbunyi. Itu artinya gue gak jadi mengerjakan soal di papan tulis. Emang dasarnya anak manusia, selalu beruntung. Bu Dayu menutup pembelajaran hari ini dengan wajah sedikit kecewa karena tidak jadi melihat wajah bego gue waktu disuruh mengerjakan soal. Anak sekelas tertawa mengucapkan selamat.

Cungip tiba-tiba berseru, "Lo emang jago bikin guru-guru naik ombak banyu ya."

"Naik pitam goblok!" Riski menyentil kening Cungip, cowok itu mengaduh.

"Woy! Ini juga gara-gara lo tau, lo yang ngasih tau gue tidur kan." Gue mengepalkan tinju jarak jauh.

"Gue malah berharap lo dihukum kayak kemarin lagi sama Bu Dayu, biar gue makan gratis lagi." Tian tertawa.

"Enak aja lo!" Gue menggeram. Tiba-tiba gue teringat, waduh, gue gak bawa duit buat bayar utang sama Kevin. Gawat!

Tadi pagi gue buru-buru karena kesiangan, lah bukannya biasa gue berangkat siang? Jadi gue gak sempat minta duit buat bayar utang.

"Ya ampun, Siska!" Shafira mengguncang-guncang lengan gue panik.

"Mampus! Uang saku gue ketinggalan." Shafira berteriak panik.

"Lah? Kok bisa?" Gue ikut terkejut.

"Sukurin lo, gak bisa jajan!" teriak Riski lalu tertawa mengejek, "Makannya jadi orang gak usah nyebelin."

"Eh lo kali yang nyebelin!" sanggah Shafira tak terima.

"Jangan utang ke gue ya, lagi bokek nih."

"Dih! Gak sudi! amit-amit." Shafira bertambah kesal, "Sana lo pergi!"

Memang, mereka berdua yang paling sering berantem diantara pertemanan kita. Riski yang berulah, membuat Shafira seringkali kesal olehnya. Ketiga cowok itu pun pergi bersama tawa Riski yang masih tersisa didalam kelas.

"Yaudah, lo pake duit gue dulu aja." ucap gue.

"Gak usah kali Sis, gue kan tau uang saku lo pas-pasan." tolak Shafira halus.

"Udah gapapa, ayo." Gue menarik lengan Shafira keluar kelas.

Namun, saat itu juga gue melihat siluet cowok jangkung sedang berjalan kearah kita, Dia Kevin. Jangan-jangan dia mau nagih utang sama gue.

"Mendingan kita lewat sana aja yuk." ajak gue berbalik arah.

Dahi Shafira mengernyit, "Kenapa?"

"Kalo lewat sini nanti kecepetan sampai kantin." dalih gue.

"Lah biasanya orang-orang lebih suka lewat jalan yang cepat sampai, kenapa lo malah kebalikan?"

"Gapapa, pengen ngerasain capek aja."

"Hei--." suara bariton itu menghentikan rajukan gue.

"Ya ampun Vin, maaf hari ini belum bisa bayar utang. Pleasee.. besok ya? ya?" Shafira tertawa geli melihat gelagat aneh gue.

"Gue gak lagi nagih utang, kenapa lo mohon-mohon gitu?"

Sial. Jadi, apa tujuan cowok itu kesini kalau bukan menagih hutang? Gue cuma salah sangka.

Menyebalkan.

🍃☕️🍁

Vomment

Salam Sayang,

firzariva

SISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang