Chapter 17

981 151 25
                                    

┏━━━━━✦❘༻༺❘✦━━━━━┓
A Place To Rest
┗━━━━━✦❘༻༺❘✦━━━━━┛

Mata Lyane tersentak membuka, dia ketiduran. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah wajah Edmund, tersorot sinar bulan. Dia ketiduran juga? Pikir Lyane. Napasnya tertahan, jarak wajahnya dan wajah Edmund sangat dekat, cukup dekat bagi Lyane untuk mendengar deru napas Edmund.

Menyadari lereng yang hanya diterangi cahaya bulan membuat Lyane tersadar dan segera bangun. Mereka tidak berencana untuk bermalam di oase. Tadinya mereka hanya akan bersinggah sebentar lalu melanjutkan perjalanan saat senja. Dengan perasaan panik, Lyane merogoh saku gaunnya dan memeriksa pukul berapa sekarang. Jantung Lyane berdegup, panik. Sekarang sudah pukul tujuh.

Lyane mengguncang tubuh Edmund, berusaha membangunkannya. Edmund melenguh sebelum bergumam sesuatu yang tidak Lyane pahami, lalu mengucek matanya. Namun dia kembali terlelap.

Lyane mendecak sebal, "Edmund bangun! Kita seharusnya tidak bermalam disini, ayo cepat!"

Edmund mengerang, kesal karena Lyane mengganggu tidurnya. Memang rumput empuk dan lembut di oase ini sangat nyaman untuk ditiduri, tapi mereka harus bergegas. Ada hal yang lebih penting dari tidur.

Lyane mengguncang Edmund lagi, "cepat bangun! Dasar raja pemalas."

Meski Lyane sudah menurunkan nada suaranya di tiga kata terakhir, Edmund masih bisa mendengar Lyane. Edmund langsung membuka matanya, lalu bangkit terduduk, "apa kau bilang?"

"Bangun. Aku bilang cepat bangun, budek." Lyane berdiri.

Mata Edmund melotot saat mendengar Lyane menghinanya lagi, "oh jadi sudah berani menghinaku sekarang? Sudah lupa aku siapa?" Edmund ikut berdiri.

"Tentu saja tidak, kau raja arogan yang pemalas dan sepertinya budek, Edmund."

Mulut Edmund sedikit terbuka, alisnya bertaut. Dia tidak biasa mendengar orang menghinanya di depan wajahnya sendiri. Edmund heran, kebanyakan orang tunduk padanya, dan kebanyakan wanita memujanya. Tapi Lyane beda, dia tidak terpesona pada Edmund sedikitpun, setidaknya itu yang Edmund simpulkan.

Edmund tidak bisa berkata-kata. Ekspresi terkejutnya terlihat jelas di bawah cahaya bulan, cahaya yang membuat kulitnya terlihat lebih pucat. Apakah bulan tidak punya hal lain yang lebih baik untuk disorot? Pikir Lyane.

Beberapa menit berlalu, Edmund dan Lyane masih menatap satu sama lain. Manik cokelat madu beradu dengan manik ungu violet. Lyane tahu dirinya bersikap kurang ajar, namun dia terlalu kesal untuk memikirkannya. Kesal pada diri sendiri yang terlalu nyaman sampai tertidur, juga pada Edmund yang semakin membuatnya jengkel.

Dengan satu dengusan, Lyane beranjak menuju para kuda yang tertidur di pojok oase. Tidak ada cahaya bulan yang menyorot ke arah sana, membuat penglihatan Lyane kurang jelas, hanya siluet yang terlihat.

Lyane meraba-raba sekitarnya, takut akan tersandung. Semuanya berjalan lancar pada awalnya, Lyane dapat melangkah tanpa tersandung. Namun Lyane merasa tangannya ditangkap tiba-tiba, membuat jantungnya melewati satu degupan.

"Tidak lucu jika kau menabrak pohon dan mengalami geger otak." Satu tangan Edmund menggenggam Lyane dan satunya lagi memegang lentera.

"Aku bisa sendiri." Lyane menyentak tangannya, lepas dari genggaman Edmund. Dia masih jengkel.

"Kapan kau mengambil lentera?" Tanya Lyane sambil beranjak mendekati para kuda. Lentera Edmund cukup untuk menerangi langkahnya menuju Snow dan Phillip.

𝐀𝐫𝐫𝐨𝐠𝐚𝐧𝐭 -𝘌𝘥𝘮𝘶𝘯𝘥 𝘗𝘦𝘷𝘦𝘯𝘴𝘪𝘦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang