Chapter 19

1.6K 158 80
                                    

┏━━━━━✦❘༻༺❘✦━━━━━┓
Draw Up The Plan
┗━━━━━✦❘༻༺❘✦━━━━━┛

Sinar matahari menyorot mata, menerobos retakan jendela dan melalui celah di antara bulu mata Lyane. Dia mengerjap, tirai jendela sudah tersingkap, membuat bayang-bayang retakan dari jendela memantul di wajahnya.

Lyane mengernyit, kepalanya berdenyut sebentar, kilasan memori semalam terpintas. Suara badai bergemeletuk di jendela dan udara dingin yang menusuk, membuat tubuhnya gemetar di dalam rengkupan tangan seseorang. Tidak banyak yang dia ingat. Namun ada satu hal yang sepertinya tidak mau lepas dari ingatan Lyane, mimpi buruknya. Setiap detail dari bunga tidur itu masih dia ingat. Aneh, batinnya. Mimpi buruknya terasa lebih nyata dibandingkan badai, udara dingin atau rengkupan lengan yang melingkari tubuhnya.

Atau memang dekapan itu hanyalah ilusi? Bagian dari mimpi buruk yang aku alami? Salah satu cara kerja otak yang membutuhkan penenang dari mimpi sebelumnya? Teori Lyane, bertanya-tanya.

Tapi sebuah suara menyangkal teorinya, "i bet my chest is the best pillow you've ever slept on," ujar Edmund tanpa melirik Lyane.

Lyane mengerjapkan mata, seolah syaraf-syaraf otaknya baru tersambung dan ingatannya kembali. Dia lupa dia sedang menjalankan misi bersama raja arogan nan besar mulut dari negeri tetangga. Lyane bangkit terduduk, mata sembabnya langsung membentuk tatapan tajam, tertuju pada Edmund yang sedang duduk di sofa beladus sambil menatap sebuah peta. Peta yang tergelar di tengah meja, Lyane tidak mengenali peta tersebut jadi Lyane berasumsi bahwa itu peta Calormen. Di sekeliling peta ada berbagai benda yang Lyane yakini tidak mereka bawa dari Archenland.

"Kau pergi keluar?" Tanya Lyane.

Edmund bergumam lalu menggigit makanan yang dia genggam. Lyane tidak menyadari ada makanan sebelumnya.

"Kau tahu itu berbahaya, orang-orang bisa saja mengenalimu." Suara Lyane dingin.

"Exactly, danger makes it more fun," Ujar Edmund datar sebelum menyantap makanannya kembali.

Lyane menghela napas pasrah, tidak akan ada habisnya berdebat dengan Edmund. Bukannya suara cuitan burung, paginya lagi-lagi dikacaukan oleh cuitan Edmund. Pagi? Lyane menoleh ke arah jendela, sadar akan cahaya matahari yang sangat terik.

Ini bukan matahari pagi.

"Pukul berapa sekarang?" Nada panik timbul di suara Lyane.

"Dua belas," jawab Edmund santai.

Lyane terbelalak, "kenapa kau tidak membangunkanku?!"

"Kau pikir aku tidak mencoba? Berkali-kali aku mengguncang tubuhmu kau tak bereaksi. Bahkan aku bangun dan mengganti tubuhku dengan bantalpun kau tidak terusik, apa dadaku senyaman itu?" Bibir Edmund berkedut, seringaian menyebalkannya mulai muncul.

"Shut up! I was having a nightmare." Lyane melempar bantal ke arah Edmund, yang berhasil dia tangkap sebelum mengenai wajahnya.

"Ah, the nightmare... yang membuatmu teriak- teriak seperti kesetanan?"

Lyane menutup matanya dengan geli. Sial, apa saja yang aku lakukan saat tidak sadar? Dilemparkannya lagi bantal yang kali ini mengenai Edmund tepat di wajahnya. Lyane menahan tawa lalu bangkit, merogoh kantong sadel untuk mencari baju ganti sebelum masuk ke kamar mandi.

𝐀𝐫𝐫𝐨𝐠𝐚𝐧𝐭 -𝘌𝘥𝘮𝘶𝘯𝘥 𝘗𝘦𝘷𝘦𝘯𝘴𝘪𝘦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang