29. Angin Mulai Berhembus (1)

494 89 23
                                    

A/n: Sesungguhnya aku masih baru dalam genre semacam ini, jadi aku benar-benar berharap akan ada masukan dan komentar dari kalian untuk improvisasi cerita ini.

.
.
.
.
.

- Azalea -



Suara tapak sepatu menggema memenuhi lorong gelap. Lima orang berseragam penjaga melangkah kompak menuruni tangga, menuntun sang pangkat tinggi menuju tempat yang selama ini dikenal sebagai Red Room. Banyak masyarakat yang mengenal ruangan itu dengan sebutan dimensi kematian, ini semua karena setiap orang yang masuk kesana takkan pernah kembali hidup-hidup atau lebih buruknya tidak utuh. Sama seperti nama Red yang tersemat, ruangan itu benar-benar berwarna merah akibat darah kematian para tahanan terciprat memenuhi dinding itu.

Aroma busuk yang begitu pekat semakin menguar kental tatkala langkah ketujuh orang itu menapaki tangga terakhir. Seorang prajurit memberi hormat, kemudian dengan sigap membuka pintu yang menjadi pembatas antara Red Room dengan dunia luar. Sosok wanita bergaun hijau nampak terduduk berlutut dengan tangan dirantai ke dinding. Penampilannya yang semula nampak elegan kini sudah berubah drastis; gaun yang ia kenakan sobek, juga rambut yang tak lagi tertata rapi akibat pukulan yang ia terima -terlihat dari kulit wajahnya yang nampak memar juga ujung bibirnya yang sobek.

"Lepaskan aku!!" Wanita itu kembali berteriak histeris tatkala dirinya melihat pintu terbuka. Tak lama teriaknya menggema karena pada akhirnya bibir tipis itu kembali tertutup tatkala melihat siapa sekiranya yang datang mengunjunginya.

"P-putra mahkota..." Cicitnya parau. Lebih terkejut lagi kala mendapati seorang gadis bermata biru berlian juga turut masuk sembari membuka tudung yang sedari tadi menutup rambut pirang keemasannya yang berkilau.

"Sayang sekali kita hanya mendapatkan seekor semut disini." Mata biru berlian Azalea menatap mengejek sang wanita yang kini tengah menatapnya dengan mengangkat dagu begitu tinggi, berusaha mempertahankan harga dirinya.

"Bukankah itu memalukan?" Wanita itu tersenyum remeh. Berusaha membuat dirinya nampak memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan putri dari negeri sebrang dihadapannya.

Azalea tak membalas ucapan wanita itu, hanya tersenyum tipis lalu melangkah maju sembari menyingkirkan jubah yang menutupi tubuh mungilnya. "Maksudmu ini?"

Wanita itu membelalak terkejut tatkala dua buah kelopak mawar merah keluar dari sisi leher Azalea yang sebelumnya terdapat tanda -oh tidak! Apa dirinya sudah tertipu dan bertindak gegabah?

"Bagaimana-"

"Ini hanya tipuan anak kecil." Azalea meremas kelopak mawar itu hingga menjadi kehitaman, setelahnya menjatuhkan kelopak tak berbentuk itu ke atas tanah dengan pandangan tak kalah mencemooh dari yang diberikan wanita itu.

"Sayang sekali ya. Ku dengar siapapun yang masuk ke ruangan ini takkan pernah kembali, padahal aku ingin sekali mengundang anda ke pesta teh-ku, nona Heylwood." Azalea tersenyum manis. Tubuh mungilnya kini berbalik menuju Axle yang sedari tadi memilih diam mengamati.

"Putra mahkota-" Wanita itu bercicit, tubuhnya yang penuh legam berusaha bergerak sementara tangannya terus berusaha memberontak -seakan kekuatannya mampu menghancurkan rantai yang membelenggunya. "Saya mohon. Bukankah keluarga Heylwood selama ini selalu setia mendukung Karsten?"

Tatapan wanita itu nampak sendu, berusaha memohon pada sang calon penerus takhta untuk terbebas hingga dirinya lupa siapa sebenarnya lelaki yang berada dihadapannya sekarang.

"Saya- saya bisa memberitahu anda siapa dibalik insiden ini yang mulia!" Serunya frustasi dengan air mata yang berderai membasahi pipinya yang kumuh. "Saya mohon lepaskan saya. Saya akan-"

AzaleaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang