Happy Reading"Tang ning, ning nang ning nung, tang ning, ning nang ning nung. Chikaaa banguun dooong. Main cepeda yuuuk..." gumam Mira. Ia terduduk di lantai, dagunya disangga di tepi tempat tidur. Tangannya mengelus rambut Chika. Air matanya menetes membasahi seprai.
Pintu kamar terbuka, Vivi masuk bersama seorang dokter pria. Bu Sum menyusul masuk belakangan mendampingi. Mira bangkit mempersilahkan dokter itu duduk di sebelah Chika. Dokter mengeluarkan stetoskop dan mengecek tensi darah Chika. Bola mata Chika juga di cek.
"Tensinya normal. Suhu badannya agak tinggi."
"Jadi gimana dok?"
"Ini memar kenapa?"
Lima belas menitan dokter memeriksa seluruh tubuh Chika termasuk memar yang Mira ceritakan. Walau baru sebatas dugaan akan tetapi Mira meyakinkan itu sebuah kebenaran. Yang paling terkejut adalah Bu Sum. Ia yang sehari - hari mengurusi Chika. ART yang sudah bekerja sejak Chika kecil itu menangis. Dey merangkul dan berusaha menenangkannya.
"Saya buatkan surat rujukan ke rumah sakit. Harap di bawa malam ini juga. Chika juga harus dibawa ke rumah sakit sesegera mungkin. Sepertinya Chika mengalami trauma psikis dan mental," papar dokter.
"Saya tadi sudah telepon Ibu, Dok. Katanya malam ini juga Ibu pulang dengan penerbangan terakhir," tutur Bu Sum.
"Terima kasih, Bu Sum. Nanti kalian ikut saya ke rumah sakit," pinta Dokter ke Mira dan kawan - kawan, "...biar Ibu Sum jaga rumah. Soal urusan hukum, biar Ibu Richard yang menghubungi Bang Hatmon."
"Biar saya siapkan pakaian untuk Mbak Chika dulu, Dok," sahut Ibu Sum yang langsung membuka lemari dan mengambil pakaian untuk Chika di rumah sakit.
Dokter lalu menuliskan surat rujukan di atas meja belajar. Mira mendekat sambil terisak.
"Dok, temen saya bisa sembuh kan?" tanya Mira memelas.
"Kita doakan. Lebih cepat ditangani, akan lebih baik. Dokter di rumah sakit akan melakukan yang terbaik. Trauma memang membutuhkan perawatan yang intensif, jadi Chika juga membutuhkan dukungan dari orang - orang di sekitarnya untuk pulih."
"Kami harus lakukan apa, Dok?" tanya Vivi yang juga mendekat. Merangkul Mira yang tak henti menangis.
"Chika butuh ketenangan. Tidak boleh stress itu pasti. Suasana di sekitarnya harus menyenangkan, positif, termasuk pembicaraan. Hindari berbicara mengenai apa yang sudah Chika alami hari ini. Itu akan mempercepat pemulihan pasca traumatiknya."
"Kami siap dok," respon Vivi. Ia terus tegar. Menahan air matanya agar tidak tumpah juga. Gengsi.
"Kalau Chika yang ngomong gimana, Dok?" tanya Mira.
"Tenangkan, alihkan pembicaraan. Saya kenal Chika dari kecil. Ceritain aja hal yang receh. Perhatiannya akan teralih."
"Gitu ya, Dok?"
Dokter mengangguk, "Kita berangkat sekarang!" Dokter sudah menyelesaikan surat rujukannya.
Bu Sum memakaikan Chika pakaian terlebih dahulu, baru mereka memapah Chika lagi ke bawah. Tak henti - hentinya ia meneteskan air mata. Setiap Chika pulang lewat tengah malam, paling hanya tipsy atau jam lima pagi baru sampai rumah. Belum pernah Chika mengalami hal seperti ini. Cukup memukul perasaannya.
Dibantu dokter pribadi keluarga Chika, mereka membawa Chika ke mobil. Dokter yang menyetir mobil bersama Dey di depan. Mira dan Vivi di belakang mengapit Chika. Dua orang yang sayang sama Chika seakan saling memberi perhatian.
Chika membuka matanya, samar - samar melihat sekeliling. Ada Vivi dan Mira di sebelahnya. Yang dipeluk Chika? Mira. Badrun? Cemburu.
"Miiir...Chika takut." Chika mendekap Mira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia [ChiMi] [END]
FanfictionDia yang mencari teman, cinta, dan keluarga. Bisakah dia menemukan ketiganya? Start : Wed, Feb 17, 2021