Part 25

1.9K 234 26
                                    


Part ini ditulis pagi abis subuh tanggal 1 Maret. Sebelumnya pas sore habis liat pembalakan liar 26 pohon. Liat foto Vivi Chika, Vivi Mira rasanya ambyar :( Nulis jadi ngga bertenaga lagi. (╥﹏╥)

Happy Reading

Di rumah sakit, Chika diinapkan terlebih dahulu di ruang rawat VIP sambil menunggu kedatangan Mamanya dari bandara. Sebab visum membutuhkan persetujuan dari orang tua Chika.

Vivi diantar pulang Dey, sementara Mira menunggui Chika di kamar. Dokter pribadi keluarga Chika sudah berkoordinasi dengan pihak rumah sakit dan pihak lain yang akan mengurus kasus Chika ke jalur hukum.

"Mir..." panggil Chika lemah.

"Iya, aku di sini, Chik," jawab Mira, membelai rambut Chika yang awut - awutan.

"Aku di hatimu. Hehe..." canda Chika lalu terbatuk.

"Ihh, sakit juga masih ngebodor." Mira menowel hidung Chika.

"Chika minta maaf...sama Mira," bisik Chika.

"Maaf soal apa?" Mira menarik bangkunya mendekat ke Chika. Gadis itu tidak bisa berbicara keras. Kadang ketika hendak bicara, ekor matanya melirik arah lain. Seperti ketakutan. Mungkin bayang - bayang kekerasan seksual dan ancaman verbal Beby masih menghantui Chika.

"Ikut campur. Mira sama-" Kepala Chika menoleh lagi ke sudut ruangan. Suaranya diperkecil.

"-Chik, cuma kita berdua di sini. Ngga ada siapa - siapa lagi." Mira menggenggam kedua tangan Chika. Memastikan ia aman bersama Mira.

"Ooh..." Mata Chika tetap melirik lagi. Dalam pikirannya, Beby sedang mengawasi mereka.

"Chika ikut campur soal apa?" tanya Mira sabar dan lembut.

Suara Chika cenderung berbisik dan bergumam, Mira sampai mendekatkan telinganya ke bibir Chika, "Chika udah bayarin uang Kak Beby dua puluh juta." Mira terkejut bukan main mendengar hal itu. Ia menahan titik air mata yang hendak jatuh, Chika masih meneruskan kalimatnya, "...Kak Beby minta syarat Chika seks semalem. Chika turutin. Demi Mira. Tapi Chika udah dibawa pulang. Chika takut Kak Beby ganggu Mira lagi. Chika belum menuhin janji Kak Beby. Gimana, Mir?"

"Ya Tuhan, Chikaaa..." Mira menangkupkan mulutnya. Tangannya gemetar hebat mendengar pengakuan Chika.

"Aku keluar sebentar ya, Chik. Sebentar aja," ucap Mira. Suaranya sudah bergetar. Tidak tahan.

"Kemana? Temenin Chika," Chika merengek, menarik - narik jemari Mira seperti bocah kecil memohon atensi penuh.

"Sebentar. Satu detik. Di depan pintu." Mira mencium kening Chika lalu keluar dari kamar. Ia tak sanggup lagi meredam emosinya.

Begitu menutup pintu kamar, Mira tumpahkan semua air matanya di lorong rumah sakit yang sepi. Menangis sejadi - jadinya. Ia jatuh terduduk di lantai menangkupkan wajahnya, menunduk. Tangisnya pilu menjadi perhatian perawat yang bertugas. Tak pernah Mira menangis sehebat ini. Dadanya terasa sakit mendengar Chika berkorban untuk dirinya. Gadis yang hobi menyambangi bar tempatnya bekerja, gadis yang ia benci tanpa dasar dan sepele sekaligus yang ia suka diam - diam karena kerecehannya.

"Mbak ngga apa - apa?" seorang perawat menegur Mira. Merasa iba. Ia membantu mengangkat Mira ke kursi. Tetap saja Mira melanjutkan tangisannya. Tidak menjawab pertanyaan si perawat. Matanya bengkak dan sembab.

Suara langkah sepatu hak tinggi pria dan wanita memecah kesunyian lorong rumah sakit. Mira menoleh ke belakang. Ada seorang wanita yang ia kenal, Mamanya Chika. Di sebelahnya seorang pria berbadan gempal berkacamata, memakai jas, di jemarinya penuh cincin berlian. Dan satu lagi memakai baju dokter. Mereka mendekat ke kamar rawat Chika.

Dia [ChiMi] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang