Karin terbangun dari tidurnya. Ia melirik jam di dinding kamar. Jarum pendek sudah menunjuk ke angka enam, dan jarum panjang sudah menunjuk ke angka empat.
Saat hendak memejamkan mata kembali, Karin teringat sesuatu. Ia langsung membuka matanya lebar-lebar.
Mampus gue!
Karin langsung melompat menuju ke lemari pakaiannya. Setelah mengambil baju ganti, ia segera berlari menuju kamar mandi.
Sepuluh menit.
Karin ingat, seragamnya belum ia setrika. Cepat-cepat ia mengambil seragam putih abu-abu miliknya, lalu memanaskan setrika dan mulai mengoperasikannya.
Sebenarnya, Karin santai saja jika dihukum membersihkan ruang guru atau apapun karena dirinya terlambat. Namun, kali ini berbeda.
Jam pelajaran pertama adalah mapel geografi. Minggu lalu, anak-anak kelas sudah sepakat dengan guru geografi bahwa siswa atau siswi kelasnya yang terlambat harus dihukum memutari halaman tengah sekolah sebanyak tiga kali.
Delapan menit.
Setelah selesai menyetrika, Karin langsung memakai seragamnya.
Karin sudah bersiap berangkat, hingga ia tersadar satu hal. Kunci motornya. Kunci itu selalu dipegang oleh ibunya. Tidak peduli di manapun Karin menyembunyikan, pasti ibunya akan menemukannya.
Peraturannya, Karin harus sarapan terlebih dahulu, baru kunci itu akan dikembalikan.
Karin mencoba bernegosiasi dengan ibunya. "Bu, kasihin kuncinya dong. Ini udah siang, nanti aku telat."
"Salah kamu sendiri bangun kesiangan. Makan dulu, baru ibu balikin kunci motornya," ujar ibunya acuh.
Karin mendengus. Ia malas berdebat. Akhirnya ia memutuskan untuk sarapan meski hanya sedikit. Setelah itu, ia langsung berangkat.
Naasnya, di tengah jalan, tiba-tiba motor Karin mati.
"Anjir. Sialan. Mati segala lo bangke." Berbagai umpatan keluar dari mulut Karin.
Ia turun dari motornya dan memarkirkannya asal. Matanya menelusuri jalanan. Menunggu kendaraan umum yang melintas. Namun, tidak ada satu pun yang melintas.
Karin menengok jam tangan sport di tangannya. Satu menit lagi, gerbang sekolah sudah ditutup.
"Masa iya gue harus lari?" kesal Karin. Sayangnya, ia tidak punya pilihan lain.
Baru saja hendak berlari, Karin mendengar suara klakson motor. Ia menoleh. Ia sedikit tidak percaya saat melihat siapa pengendara motor itu.
"Vano?" gumam Karin.
"Naik, Rin. Bentar lagi gerbang bakalan ditutup," ajak Vano.
"Gue punya temen yang kerja di bengkel. Nanti gue minta bantuan ke dia buat benerin motor lo. Sekarang, lo berangkat sama gue dulu." Vano menjelaskan karena belum mendapat tanggapan apapun.
Karin pun menurut saja. Jika ada yang memberinya tumpangan gratis, mengapa ia harus lari?
Beruntung sekali gerbang masih terbuka lebar saat mereka tiba. Padahal sudah lewat sekitar dua menit setelah bel berbunyi.
"Makasih," ujar Karin saat motor Vano tiba di parkiran.
Tanpa menunggu jawaban Vano, Karin bergegas menuju ke ruang kelasnya. 11 IPS 3.
Di depan pintu kelas, Karin mengintip ke dalam. Guru geografinya sudah duduk manis di meja guru.
Karin berdecak kesal. "Tuh guru rajin amat, sih? Telat dikit kek. Banyak juga gak apa-apa."
"Mending sekarang lo masuk. Mau sampe kapan lo berdiri di sini?" tanya Vano.
Karin terkejut. Ia menolehkan kepalanya ke arah Vano.
"Sejak kapan lo ada di sini? Lo aja sana yang masuk!"
"Trus lo mau ke mana?"
"Kepo. Terserah gue lah."
"Sebenernya lo niat ke sekolah apa gak, sih?"
"Kepo banget lo!"
"Ekhm."
Lagi-lagi Karin dibuat terkejut. Pak Adi, sang Guru Geografi, sudah berdiri di sampingnya.
Karin tersenyum ramah. "Eh, Bapak."
"Taruh tas kalian, lalu lari keliling halaman tengah tiga kali!" perintah Pak Adi.
"Pak—" Baru saja hendak protes, Pak Adi sudah memotongnya.
"Kerjakan sekarang, atau bapak tambah." Singkat, padat, dan jelas.
Karin menurut. Ia melempar tasnya asal, lalu bergegas menyusul Vano yang sudah berlari lebih dulu.
Sepanjang berlari, siswa-siswi yang berpapasan dengannya menatap bingung.
Yang paling parah adalah saat berlari di depan 12 IPA 6. Banyak siswa yang menatap Karin kurang ajar.
Salah seorang siswa bersiul.
"Pagi, Cantik," sapa seorang siswa bertubuh tinggi besar.
"Waduh, pagi-pagi udah lari-lari aja. Duduk sini dulu, Neng," ujar seorang siswa yang kemejanya dikeluarkan, "abang pangku," lanjutnya.
Teman-temannya tertawa keras. Karin hanya menatap sinis dan melanjutkan larinya.
Di putaran kedua, Vano sengaja memperlambat kecepatan larinya.
"Rin, lo mau tau gak, kenapa gue bisa telat?" tanya Vano saat Karin sudah ada di sebelahnya.
"Gak," jawab Karin cuek.
"Lo sendiri kenapa bisa telat?" Vano kembali melempar pertanyaan.
"Gue bangun kesiangan." Karin menjawab seadanya.
Vano tersenyum. "Berarti kita sama."
Karin tidak peduli. Ia diam saja tanpa menanggapi perkataan Vano yang menurutnya tidak berfaedah.
Saat tiba di depan kelas 12 IPA 6, lagi-lagi terdengar siulan.
Dengan bangganya Vano berkata, "jangan diliatin, Bang. Cewek gue nih."
Karin menoleh. Ia menatap Vano tidak percaya.
Para siswa itu tertawa.
"Cewek lo cakep juga, Van," ujar siswa yang kemejanya keluar tadi.
Vano ikut tertawa. "Jelas lah, Bang."
Karin muak. Ia mempercepat langkahnya hingga tak terdengar lagi suara gerombolan kakak kelasnya.
"Gabut banget, sih. Udah tua bukannya insaf," gerutunya.
Putaran ketiga berjalan lancar. Tidak ada lagi gangguan dari para siswa kelas 12 IPA 6, karena guru yang bertugas telah tiba.
Sesampainya di depan kelas, Karin mengambil oksigen banyak-banyak.
"Akhirnya selesai juga," ujarnya.
Setelah dirasa napasnya sudah lebih teratur, Karin bergegas masuk ke dalam kelas. Vano mengekor di belakangnya.
Keduanya membayar denda ke bendahara kelas sebanyak lima ribu rupiah. Gina, bendahara kelas, tersenyum puas.
"Besok diulangi lagi, ya," celetuk Pak Adi.
Teman-teman sekelasnya menahan tawa, sementara Karin dan Vano hanya menunjukkan wajah datar.
Tepat sebelum Karin duduk di tempat duduknya, Vano membisikkan sesuatu di telinga Karin.
"Lo kalo mau telat, jangan pas mapelnya Pak Adi. Gue gak suka liat lo digangguin kakak kelas kayak tadi." Ekspresi Vano masih datar saat mengatakan hal itu.
Karin mengernyit, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST BEING ALONE
Teen FictionIni tentang Karin, seorang siswi SMA yang sudah muak dengan semua orang, terutama keluarganya sendiri. Ia hanya ingin hidup tenang dengan jalan hidup yang dipilihnya. Tanpa gangguan dan kekangan. Bukan. Karin bukan gadis cantik dan baik hati yang di...