•Jauh Berbeda•

5 2 0
                                    

Seperti biasa, suasana di meja makan begitu hening. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring.

Karin baru saja menyelesaikan makan malamnya. Saat hendak meninggalkan meja makan, suara ibunya menghentikannya.

"Duduk dulu, Rin. Ada yang mau ibu omongin," ujar sang Ibu.

Karin mengurungkan niatnya dan menatap ke arah ibunya. Menunggu apapun kalimat yang akan ia dapatkan.

"Gimana sekolah kamu?" tanya Ibu.

"Gak gimana-gimana," jawab Karin datar.

Ibu menatap Karin tajam. "Kamu sering bikin masalah sama BK?"

Karin mengernyit. "Kata siapa?"

"Karin, guru-guru kamu itu, kebanyakan temen ibu. Kemarin ibu dapet laporan, katanya kamu sempet berantem sama temen sekelas kamu?" Tatapan Ibu semakin tajam.

Karin menghela napas kasar. "Dia yang mulai duluan. Aku udah bilang itu gak sengaja. Lagian, masalahnya udah selesai kok."

"Ya udah kalo emang gak sengaja, tapi ibu juga dapet laporan kalo kamu gak suka sama guru bahasa Inggris dan kamu bersikap gak sopan ke dia. Bener?" tanya sang Ibu memastikan.

"Dia gak pantes disebut guru. Masa iya, pilih-pilih sama muridnya sendiri?"

"Karin, jaga omongan kamu! Gimanapun dia di mata kamu, dia tetep berstatus guru."

"Status doang buat apa?"

"Karin!"

Karin mendengus.

Tatapan Ibu semakin garang. "Jaga omongan kamu! Gak ada sopan santunnya sama sekali."

"Maaf," ucap Karin pada akhirnya.

Ibu menarik napas panjang sebelum kembali berbicara. "Karin, ibu cuma pengen kamu jadi anak yang baik. Bukan yang suka bikin masalah. Itu aja."

"Aku gak akan bikin masalah kok," ujar Karin, "kalo orang lain gak mancing duluan," lanjutnya.

Karin berdiri sembari membawa piring kotornya.

"Aku mau ngerjain tugas dulu." Karin berbohong. Lagi-lagi, ia tidak ingin percakapan semakin melebar.

"Belajar yang bener, jangan pacaran mulu," celetuk Tira.

Karin tidak peduli. Apapun yang dikatakan kakaknya saat ini, ia benar-benar tidak peduli.

***

Karin memainkan ponselnya tanpa minat. Komik yang kemarin ia baca, kini sudah ia selesaikan.

Sekarang, ia hanya membuka satu per satu story WhatsApp teman-temannya. Tangannya terhenti pada story milik Raya.

Bukan sesuatu yang menarik sebenarnya. Hanya sebuah gambar yang berisikan sebuah keluarga bahagia. Namun, hal itu berhasil membuat pikiran Karin kembali ke kejadian kemarin siang.

"Rin, kenapa lo bohong?" Vano berdiri di hadapan Karin.

Karin tidak menjawab.

Vano menghela napas. "Lo gak betah di sana?"

Karin menggeleng. "Gue iri."

"Iri?" Vano membeo.

"Kenapa mereka semua bisa seakrab itu, sedangkan mereka gak punya hubungan darah? Kenapa mereka semua bisa ketawa selepas itu, sedangkan mereka tau, orang tua mereka udah gak ada? Mereka pasti sering diejek sama temen-temennya," ujar Karin.

"Kalo soal diejek temen-temen, Bu Caca selalu bilang ke mereka, kalo ada yang ngejek mereka, itu tandanya orang yang ngejek iri sama mereka," jelas Vano.

Vano tersenyum. "Kalo soal keakraban mereka, sedangkan mereka gak punya hubungan darah, kenapa gak? Ya, walaupun mereka emang gak kayak anak-anak lain yang punya orang tua lengkap, seenggaknya mereka punya Bu Caca yang udah mereka anggep dan panggil ibu."

"Mereka juga punya banyak saudara yang selalu ngedukung dan nguatin waktu ada yang lagi sedih. Mereka selalu punya tempat pulang yang aman dan nyaman. Keluarga mereka."

Karin tertawa hambar. "Itu, ya, fungsinya keluarga? Gue gak tau. Gue gak pernah ngerasain bahagia di keluarga gue soalnya. Boro-boro bahagia, nyaman aja gak pernah ngerasain. Di rumah gue, kalo gak hening, ya, rame karena berantem."

Vano mengernyit. Ia ingin menanggapi, tetapi saat mendengar Karin kembali membuka suara, ia mengurungkan niatnya.

"Gue udah bosen dikekang. Gue milih jalan hidup gue sendiri, tapi waktu gue ngelakuin hal yang sebenernya gak salah, gue selalu aja dapet kata-kata sarkas. Jadi, jangan heran kalo omongan gue sering sarkas, keluarga gue sendiri yang ngajarin."

Vano mengerti sekarang. Kalimat Karin barusan sudah menjelaskan banyak hal.

Lagi-lagi Karin tertawa hambar. "Makanya gue iri waktu liat anak-anak panti. Gue tuh mikir, kapan keluarga gue bisa kayak gitu juga?"

Tanpa disadari, satu tetes air mata Karin lolos dari pelupuk matanya. Cepat-cepat Karin menghapusnya. Ia tidak ingin terlihat lemah, apalagi di hadapan seorang lelaki.

"Kalo lo mau nangis, nangis aja. Nangis bukan berarti lo cengeng ataupun lemah," ucap Vano.

Karin mengelak. "Siapa juga yang nangis?"

Vano menghela napas. Perempuan di depannya ini selalu saja ingin terlihat kuat.

"Lupain aja apa yang gue bilang barusan. Ngapain juga gue ngomong ke lo?" kesal Karin.

"Gak bisa gitu," ujar Vano.

Karin memutar bola mata malas. "Terserah lo!"

Karin berbalik badan, lalu bergegas menuju motornya.

"Inget, lo bukan superhero!" teriak Vano.

Karin menjalankan motor tanpa memedulikan ucapan Vano.

"Segala sesuatu pasti ada penyebabnya, 'kan? Gak apa-apa, gue tau lo kuat, Rin. Gue bakalan selalu ada di belakang lo kalo lo lagi butuh kekuatan." Vano tersenyum tulus.

"Anjir, kok gak keluar suaranya?" gerutu Tira.

Suara itu berhasil menyadarkan Karin. Matanya kembali terfokuskan pada ponsel miliknya.

Tira menoleh pada Karin. "Rin."

Karin hanya menggumam.

"Beliin earphone di konter deket sekolah lo dong," pinta Tira.

Karin menoleh. "Beli aja sendiri."

"Ayolah, Rin. Beliin, please." Tira mengerjap-ngerjapkan mata.

"Beli aja sendiri. Punya kaki, 'kan? Lagian, di deket sini juga ada konter." Karin kembali menatap ponselnya.

"Ish, di konter deket sekolah lo tuh lebih murah. Udah murah, bagus lagi kualitasnya. Besok gue ada kuliah dari pagi sampe siang. Sorenya beli peralatan, trus rapat. Keburu tutup nanti. Ayo dong, beliin, ya? Nanti gue kasih duit lebih deh." Tira masih mencoba bernegosiasi.

"Duit gue masih banyak," ketus Karin.

Tira mendengus. "Lo tuh, dibaikin juga! Ayo dong, minta beliin gitu aja masa gak mau?"

Karin mengacak rambutnya frustrasi. "Berisik lo, ah! Sini, mana duitnya?"

Tira tersenyum puas. "Nah, gitu dong. Adik yang baik."

Tira mengambil satu lembar uang lima puluh ribuan dari dompetnya, lalu menyerahkannya pada sang Adik.

JUST BEING ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang