"Rin, tunggu!" Rian berlarian menyusul Karin dengan heboh.
Karin yang berada di atas motor mengangkat kepala. "Apaan?"
"Itu, kadonya mau lo bawa pulang lagi?" Rian menunjuk kantong plastik berwarna hitam yang tertaut di motor Karin.
Karin mengikuti arah telunjuk Rian. Ia menepuk jidat dan merutuki dirinya sendiri.
"Iya, ya. Astaga, bisa-bisanya kelupaan."
Karin menyambar plastik itu, lalu mengeluarkan isinya.
"Mar, tunggu bentar, ya. Bisa-bisanya kado buat Vano kelupaan," ujar Karin. Ia langsung turun dari motor.
"Iyaa," balas Damar sembari tertawa kecil.
Karin bersama Rian mendekati Vano yang masih sibuk melambai-lambaikan tangan.
"Van," panggil Rian.
"Iya, kenapa?" sahut Vano. "Lah, gue kira lo udah pulang, Rin."
"Hehe, belum. Ada yang ketinggalan. Nih." Karin menyodorkan sebuah bingkisan pada Vano.
Vano tersenyum sumringah. "Makasih banyak, Rin."
Karin mengangguk. "Gue pamit, Van. Pamit beneran ini."
Vano mengangguk. Ia mengantarkan Karin menuju motornya, diikuti oleh Rian.
"Saya pamit untuk kembali, bukan untuk pergi—"
"Udah, udah. Lanjut di sekolah aja ambyarnya." Karin memotong Rian sebelum lelaki itu menyelesaikan lagunya.
"Iya deh. Tungguin konser gue pas sekolah nanti, ya, Fans." Rian menunjuk dada bidangnya.
Kedua temannya melengos. Hanya Damar yang tertawa menanggapi.
"Pulang lo, Ri. Jangan berduaan sama Vano. Nanti kalo datang yang ketiga, 'kan gak lucu." Karin memeringatkan dua lelaki di depannya, sebelum benar-benar menancap gas.
"Iya, iya. Gue masih lurus kok," ujar Rian yang merasa terhina.
"Ati-ati, Rin," teriak Vano seraya menatap kepergian gadis pujaan hatinya.
Ia tersenyum mengingat kejadian tidak terduga yang terjadi beberapa saat yang lalu. Membuat Rian bergidik ngeri.
Di sisi lain, perjalanan pulang Karin berjalan biasa saja. Sampai tiba-tiba ia melihat Zaza dan Mona sedang berdiri di tepi jalan, dengan tiga orang pria mengelilingi mereka.
Karin segera menepikan motornya. Ia hendak berlari menuju Mona dan Zaza, tetapi tangan Damar menahannya lebih dulu.
"Rin, jangan deh. Bahaya." Damar menatap Karin cemas.
"Trus gue harus diem aja gitu? Udah, tenang. Lo tunggu aja di sini. Gue mau bantuin mereka dulu." Tanpa menunggu persetujuan Damar, gadis itu sudah berlari menjauh.
"Woy, Om! Udah tua bukannya tobat, masih aja jadi begal." Karin menatap ketiga pria di depannya dengan kesal.
"Siapa nih, dateng-dateng ngatain?" Pria yang memiliki tubuh paling besar menoleh ke arah Karin. Disusul dua temannya yang lain.
"Anak kecil tau apa? Mendingan pulang, sebelum nangis kayak anak itu." Salah satu pria itu menunjuk Mona yang memang sudah menitikkan air mata.
"Bos, cakep juga tuh. Boleh lah, buat main bentar." Pria yang lain menatap Karin kurang ajar.
Tanpa menunggu apa-apa lagi, Karin merangsek maju. Ia sudah muak dengan ketiga pria ini.
Mengalahkan ketiganya bukanlah hal yang sulit bagi Karin. Ilmu bela diri yang sudah sejak lama ia pelajari benar-benar membantunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST BEING ALONE
Roman pour AdolescentsIni tentang Karin, seorang siswi SMA yang sudah muak dengan semua orang, terutama keluarganya sendiri. Ia hanya ingin hidup tenang dengan jalan hidup yang dipilihnya. Tanpa gangguan dan kekangan. Bukan. Karin bukan gadis cantik dan baik hati yang di...