"Anak-anak, hari ini materi kita literasi, ya," ujar Bu Nera mengawali pelajaran bahasa Indonesia.
Bu Nera menatap anak kelas 11 IPS 3 satu per satu. "Karena kita sudah ada di perpustakaan, kalian boleh baca satu buku, lalu buat ringkasannya. Tidak harus mencakup semua isinya, yang penting kalian paham dengan apa yang kalian baca dan tulis. Ingat, jangan ada yang ribut di sini."
"Baik, Bu," jawab semua anak secara bersamaan. Setelah itu, Bu Nera pamit untuk ke ruang guru. Ingin menyelesaikan laporan, katanya.
Mereka mulai berhamburan mencari buku yang akan dibaca. Di pojok perpustakaan, ada Karin dengan buku berjudul "Pengurus MOS Harus Mati" di tangannya.
Tiga puluh menit berjalan dengan lancar. Suasana benar-benar kondusif karena semuanya terfokus dengan buku masing-masing.
Namun, tiba-tiba Karin mendengar suara tawa yang sangat memuakkan telinganya. Karin menoleh. Ada Zaza, Mona, Feli, dan Damar. Lagi. Ia menghela napas kasar.
Zaza, Mona, dan Feli tertawa-tawa sementara Damar menulis dengan gusar. Ada empat buah buku di dekatnya.
Karin menutup bukunya, lalu mendekati Zaza, Mona, dan Feli. "Woi, berisik kalian bertiga!"
Ketiganya menoleh. Damar juga ikutan menoleh.
"Di perpustakaan bukannya baca buku, malah cekikikan kayak kunti," sarkas Karin.
"Kunti mata lo!" kesal Feli.
"Bukannya lo yang kayak kunti, ya? Diem di pojokan. Ih, serem," ujar Mona dengan wajah polosnya.
Zaza tertawa sinis.
Karin balik tertawa sinis. "Kalo gue jadi kunti, gue gentayangin kalian bertiga tiap hari."
Tanpa basa-basi lagi, Karin menarik Damar dari tempat duduknya.
"Rin-" Belum selesai Damar berbicara, Karin sudah memotongnya.
"Kenapa lo mau-mau aja, sih, disuruh mereka bertiga?" kesal Karin.
"Si Damar aja mau kok, kenapa jadi lo yang sewot?" Feli hendak menarik Damar, tetapi Karin langsung menjauhkan.
"Dia bukan babu kalian!" ujar Karin. "Mending lo bertiga baca buku biar pinter. Daripada ngerusuh mulu kerjaannya."
Karin mengambil tiga buku di atas meja, lalu menaruhnya di depan Zaza, Mona, dan Feli. Setelah itu, ia langsung membawa Damar menjauh.
"Karin!"
Karin tidak peduli dengan panggilan Zaza, ataupun sumpah serapah yang ditujukan padanya.
"Lo bukan babu! Jangan mau terus-terusan digituin sama mereka!" Karin menekankan setiap kata dalam ucapannya itu. Lalu, ia kembali ke tempat duduknya semula.
Di sisi lain perpustakaan, ada seorang siswa yang sedari tadi memerhatikan Karin. Pandangannya tak pernah lepas dari perempuan itu, hingga ia lupa belum ada satu huruf pun di buku tulisnya. Dia adalah Vano.
"Lo kalem kalo lagi baca buku, Rin," gumamnya tanpa sadar.
Rian yang berada di sebelahnya terbatuk-batuk. "Karin kalem? Gak salah lo, Van?"
Vano tersadar dari lamunannya. "Seriusan deh, dia kalem kalo lagi baca buku."
"Terpesona, aku terpesonaa. Memandang memandang wajahmu, kamu." Rian tertawa.
Vano menggeleng tidak habis pikir. "Gabut lo."
Vano melirik jam di tangannya. Sepuluh menit lagi jam pelajaran bahasa Indonesia berakhir. Setelah teringat bahwa ia belum menulis apapun di bukunya, Vano langsung membaca buku di tangannya secara acak, lalu menuliskan ringkasannya di buku tulis secepat kilat.
***
Di perjalanan kembali ke kelasnya, Karin berpapasan dengan seorang siswi yang berjalan dengan susah payah. Di tangan kanannya ada sebuah tas laptop, serta dua buah kantong plastik. Di tangan kirinya ada setumpuk buku tulis.
Karin menghentikan langkahnya, lalu berdecak pinggang.
"Mar," panggil Karin.
Damar yang berada tak jauh darinya menoleh. "Iya?"
"Bawain buku gue ke kelas." Karin menyodorkan sebuah buku tulis lengkap dengan kitabnya.
Damar mengiyakan saja. Ia ingin bertanya, tetapi Karin sudah berjalan menjauh. Akhirnya, ia kembali meneruskan langkahnya menuju kelas.
"Woi!" panggil Karin.
Karin menghampiri siswi tadi. Rupanya adik kelas. Terlihat dari badge kelasnya.
Bila, Adik kelas itu, menatap Karin dengan raut wajah takut. Hingga buku-buku di tangannya hampir berjatuhan. Untung saja Karin mengambilnya dengan sigap.
"Gak usah maksain kalo emang lo gak sanggup bawa sendiri. Sini gue bantuin," ujar Karin.
Tatapan Bila berubah bingung. Karin memutar bola matanya malas.
"Mau sampe kapan lo matung di situ terus?" Karin menoleh ke arah Bila yang tertinggal beberapa langkah darinya.
Bila mengerjap. Ia segera menyusul Karin, meskipun masih banyak pertanyaan di kepalanya.
Saat sudah berada di depan ruang guru, Karin bertanya, "Mau ditaruh di meja siapa?"
"Mejanya Bu Virdi, Kak," jawab sang Adik Kelas.
Karin sempat berhenti sejenak, tetapi ia langsung mengendalikan diri.
Dari awal, Karin sudah tidak suka dengan sosok Bu Virdi. Di matanya, guru bahasa Inggris itu terlalu pilih kasih pada siswa siswinya.
Di dalam, ternyata ada Bu Virdi yang sedang duduk di tempatnya sembari memainkan ponsel dengan santai.
"Ini, Bu." Bila menaruh tas dan dua kantong plastik di atas meja dengan hati-hati. Ada sebuah senyuman di wajahnya.
Karin juga menaruh tumpukan buku di atas meja. Wajahnya datar sedatar-datarnya.
Bu Virdi tersenyum. "Makasih, Nak."
Karin membalikkan badan dan bergegas meninggalkan ruang guru lebih dulu, disusul dengan adik kelasnya.
"Kenapa lo yang bawa semuanya?" tanya Karin memecah keheningan.
Bila menoleh.
"Tadi Bu Virdi pamit duluan. Dia minta bawain barang-barangnya ke kantor kalo jam pelajarannya udah habis. Karena gak ada yang mau, ya udah Bila aja yang bawa semuanya," jelasnya.
"Oo," balas Karin.
Udah pilih kasih, manja banget lagi.
"Makasih banyak, ya, Kak." Adik kelas yang memanggil dirinya sendiri "Bila" itu tersenyum.
"Iya, santai aja." Karin menjawab acuh.
"Oh iya, nama kakak siapa?" Bila bertanya dengan ragu-ragu.
Karin menoleh, tetapi ia tidak menjawab.
Aduh, salah ngomong deh kayaknya, batin sang Adik Kelas.
Hening lagi, sampai keduanya tiba di barisan kelas 10 IPA.
"Kak, Bila duluan, ya," pamit Bila.
Karin mengangguk.
Tepat saat Bila berada di pintu kelas, Karin menyebutkan namanya.
"Gue Karin."
Bila menoleh. Dilihatnya sang Kakak Kelas sudah menjauh. Ia tersenyum senang.
"Ah, oke, Kak Karin," gumamnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/260022826-288-k147022.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST BEING ALONE
Novela JuvenilIni tentang Karin, seorang siswi SMA yang sudah muak dengan semua orang, terutama keluarganya sendiri. Ia hanya ingin hidup tenang dengan jalan hidup yang dipilihnya. Tanpa gangguan dan kekangan. Bukan. Karin bukan gadis cantik dan baik hati yang di...