•Tempat Sampah•

3 0 0
                                    

"Rin, lo mau ke mana?" tanya Tira sembari menyandarkan tubuh pada pintu kamar.

Di dalam kamar ada Karin yang sudah rapi dengan setelan kemeja denim abu-abu dan celana jeans hitam. Tidak lupa juga ransel di punggungnya.

Karin masih setia memainkan ponselnya. "Gue mau jalan-jalan. Kerjaan rumah udah gue beresin kok, lo tenang aja. Oh iya, kayaknya gue bakalan pulang malem deh."

"Lo jalan-jalan mulu," cibir Tira.

Karin melirik kakaknya sekilas. "Iri? Bilang, Tante."

"Tante, Tante, pala lo," kesal Tira. Ia berlalu dari hadapan Karin.

Beberapa saat kemudian, Tira kembali berdiri di depan pintu kamar.

"Ditungguin tuh, di depan." Tira menunjuk ruang tamu dengan dagunya.

Karin mengangguk. "Oke. Gue pergi dulu, ya."

Tira bergumam singkat sebagai balasan. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, tetapi ia urungkan.

Karin berjalan santai menuju ruang tamu. Dilihatnya Vano yang sedang sedang menatap ke arahnya sembari tersenyum.

"Berangkat sekarang?" tanya Vano.

Karin mengangguk. Vano pun ikut mengangguk, lalu keduanya bergegas keluar rumah.

Karin menatap jalanan yang ramai oleh motor-motor besar. Sepertinya mereka sedang melakukan sunmori atau Sunday morning ride. Deru mesin motor terdengar memenuhi jalan raya.

Setelah dirasa rombongan motor tadi sudah melintas semua, Vano baru melajukan motornya menuju panti asuhan.

Seperti rencana yang sudah disepakati kemarin, mereka akan ber-camping bersama anak-anak panti.

Bukan tempat yang jauh. Hanya sebuah bukit yang berada cukup dekat dengan posisi panti asuhan. Cukup ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih tujuh menit untuk sampai ke sana.

Perjalanan kali ini berlangsung hening sampai mereka tiba di tempat tujuan.

Saat keduanya turun dari motor, semua anak panti asuhan sudah bersiap di halaman depan. Wajah-wajah mereka tampak berseri. Ada Bu Caca juga tentunya.

"Akhirnya kalian dateng juga," sambut Bu Caca.

Baik Karin maupun Vano hanya tersenyum sebagai balasan.

Tini yang tadinya berdiri di samping Bu Caca, langsung menghambur ke tengah-tengah keduanya.

"Kak Karin, Kak Vano, kalian lama banget sih. Aku 'kan udah nungguin dari tadi!" seru Tini.

Vano mengusap kepala Tini lembut. "Maaf, tadi kakak harus ngurus sesuatu dulu sebelum ke sini."

"Ya udah, kita berangkat sekarang aja, ya, Bu?" Tini menoleh ke arah Bu Caca. Bu Caca mengangguk sembari tersenyum.

Tanpa basa-basi lagi, Tini langsung menggandeng tangan kiri Karin dan tangan kanan Vano. Ia mulai berceloteh saat berpapasan dengan orang-orang di perjalanan.

Sementara itu, Bu Caca mulai cekikikan bersama Bila. Bagaimana tidak, posisi Karin dan Vano saat ini seperti pasangan suami istri yang sedang mengajak anaknya jalan-jalan.

"Bil, mereka cocok banget, 'kan?" Bu Caca memandang dua remaja yang berada lumayan jauh di depannya.

Bila yang berjalan di samping Bu Caca tertawa. "Banget, Bu."

"Semoga aja mereka cepet jadian. Seneng ibu liatnya," celetuk Bu Caca.

Bila kembali tertawa. "Aamiin."

***

Anak-anak panti asuhan sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Di bukit ini, disediakan sebuah teman bermain untuk anak-anak. Mereka terlihat sangat bersenang-senang.

Anak-anak yang mulai beranjak remaja memilih untuk membaca buku. Beberapa yang lain mengabadikan momen yang dilakukan satu bulan sekali ini. Beberapa yang lain bahkan ikut bermain.

Karin tersenyum memandangi raut wajah anak-anak itu. Antara turut bahagia, iri, dan entah lah. Semua perasaan bercampur menjadi satu.

Gadis itu memutuskan untuk merebahkan diri di atas rerumputan. Tiba-tiba Vano sudah berada di sampingnya dengan posisi yang sama.

"Ngikut gue mulu lo," sindir Karin.

"Gue bingung harus ngapain," sahut Vano santai.

Hening. Hanya terdengar suara keramaian di kejauhan.

"Rin," panggil Vano.

Karin memejamkan mata. "Apa?"

"Anak-anak itu bahagia banget, ya? Mereka cuma tau main. Nyenengin diri sendiri tanpa harus pusing mikirin masalah hidupnya," ujar Vano.

"Udah sepantesnya mereka gitu," balas Karin.

"Walaupun mereka dapet nasib yang bisa dibilang buruk, tapi kayak yang lo bilang waktu itu. Mereka masih punya Bu Caca yang bakalan selalu ada. Kalo gak, jadinya bakalan kayak gue gini." Karin membuka matanya dan menatap langit biru di atasnya.

Vano menoleh pada Karin. "Kayak lo gimana maksudnya? Galak?"

Karin menggeleng. "Lebih dari itu. Lo tau sendiri gue susah banget ngebaur sama orang."

"Bukan susah ngebaur, tapi lo pilih-pilih banget sama siapa lo harus bersikap baik." Vano membenahi kalimat Karin.

Gadis berambut sebahu itu menghela napas. "Lo tau? Gue dulu ngalamin hal yang menjijikkan waktu gue sd. Itu yang jadi alasan kenapa gue pilih-pilih banget."

"Karena itu juga, gue jadi gak bisa nerima cowok di hidup gue. Padahal, dulu gue juga pecicilan banget. Sebelas dua belas sama Tini. Tapi setelah kejadian itu, gue malah jadi kayak gini."

Vano terdiam. Mungkin ini yang dimaksud sama Bang Reza waktu itu, batinnya.

Vano berusaha merangkai kata agar tidak terkesan menyinggung ataupun menggurui Karin.

"Semua orang punya masa lalu. Gak peduli sekelam apa pun masa lalu yang lo alamin, dengan adanya lo di sini sekarang, itu nunjukin kalo lo kuat. Gak semua orang bisa sekuat lo," ujar Vano pada akhirnya.

"Soal perubahan lo, menurut gue itu wajar. Itu bentuk pertahanan diri lo biar gak ngalamin hal yang sama nantinya. Gue cuma mau ngingetin, gak semua sisi dunia itu kejam." Vano turut memandang langit biru di atasnya.

Lelaki itu mengangkat sebelas alis. "Ada yang mau lo ceritain lagi? Gue selalu siap jadi tempat sampah lo kok."

Karin tertawa singkat. "Lo manusia, bukan tempat sampah. Tapi makasih banyak udah mau denger. Gue heran, kenapa gue selalu banyak omong ke lo."

Vano tersenyum. "Gak perlu ada alesannya."

Suasana kembali hening. Sampai akhirnya Vano kembali membuka suara.

"Rin, kalo lo mau, gue siap—"

"Gue mau bantu nyiapin makan siang dulu." Karin bangkit dari posisinya, lalu berjalan menuju Bu Caca dan Bila yang sedang menyiapkan makan siang.

Vano tersenyum. Karin bahkan tidak meliriknya sama sekali.

JUST BEING ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang