Motor Karin baru saja memasuki halaman rumah Vano. Halaman yang cukup luas itu sudah dipenuhi dengan kendaraan teman-teman sekelasnya.
Karin memarkirkan motor miliknya di sela-sela tempat parkir. Selepas itu, ia bergegas masuk ke dalam rumah bersama Damar.
Namun, saat berada di depan pintu masuk, Karin menghentikan langkahnya. Damar yang menyadari hal itu langsung menegur.
"Kenapa, Rin? Kata Vano, kita disuruh langsung masuk aja, 'kan?"
Karin mengerjapkan mata, berusaha mengendalikan diri. "Eh, iya bener. Ayo, langsung masuk aja! Lo duluan gih."
Damar mengangguk. Ia berjalan santai menuju ruang tamu, disusul oleh Karin.
Karin berjalan dengan penuh kehati-hatian saat melintasi seekor kucing anggora berwarna putih.
"Yo, dateng juga kalian berdua." Rian yang pertama kali menyadari kedatangan mereka berdua, menyapa lebih dulu.
"Hehe, iya, maaf. Kita datengnya paling akhir, ya?" Damar menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.
"Santai aja, Mar. Toh acaranya juga belum mulai. Sini, duduk dulu. Ayo, Rin." Sang Tuan Rumah mempersilakan.
Baik Damar maupun Karin mengangguk sebagai balasan. Keduanya duduk di tempat yang telah disediakan.
Acara dimulai dengan doa bersama, lalu dilanjutkan dengan makan bersama.
Tidak jauh berbeda dengan suasana di kelas, suasana di rumah Vano saat ini juga ramai dengan candaan dan percakapan anak-anak kelas 11 IPS 3.
Selain anak-anak, ada juga beberapa guru yang datang. Ada Bu Virdi, Pak Adi, Pak Rio, dan Bu Nera.
Vano tersenyum haru sembari memandang sekelilingnya. Sudah lama ia tidak merasakan kehangatan di rumah ini.
***
Karin termenung menatap pigura-pigura yang berisi foto keluarga Vano. Banyak di antaranya yang berisikan foto Vano saat masih kecil.
Tadi, Karin pamit ke kamar mandi. Namun, sudah lima belas menit berlalu dan gadis itu tidak kunjung kembali. Karena itu, Vano berniat menyusulnya.
Vano menepuk bahu Karin saat dilihatnya gadis itu berdiri mematung di depan meja yang di atasnya terdapat banyak foto keluarga.
"Rin," panggil Vano.
Karin menoleh.
"Itu foto-foto lo waktu kecil?" Karin menunjuk salah satu pigura.
Vano menatap arah yang ditunjuk Karin, lalu mengangguk singkat.
"Kok lo gendut banget? Beda jauh sama yang sekarang." Karin menatap pigura dan wajah Vano secara bergantian.
"Yang sekarang jauh lebih ganteng, 'kan?" Vano mengangkat sebelah alis.
Lelaki itu tertawa saat mendapat tatapan tajam dari Karin.
"Iya, itu gue. Lagian gue anak tunggal." Vano memperbaiki kalimatnya.
Karin mengangguk paham. "Tapi ortu lo ke mana? Kok dari tadi gak keliatan?"
Vano terdiam cukup lama. Menyadari hal itu, Karin sedikit merasa bersalah.
"Gue terlalu kepo, ya? Sorry, Van," ujar Karin.
Vano tersadar dari lamunannya. Ia menggeleng seraya tersenyum.
"Gak salah kok. Ortu gue kerja gak kenal waktu. Kalo beruntung, gue bisa ketemu mereka dua minggu sekali. Kalo gak, ya, sebulan penuh pun gak bakalan ketemu."
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST BEING ALONE
Ficção AdolescenteIni tentang Karin, seorang siswi SMA yang sudah muak dengan semua orang, terutama keluarganya sendiri. Ia hanya ingin hidup tenang dengan jalan hidup yang dipilihnya. Tanpa gangguan dan kekangan. Bukan. Karin bukan gadis cantik dan baik hati yang di...