•Tenang•

10 3 0
                                    

Karin mondar-mandir di depan gerbang sekolah. Ia menyesal ikut piket setelah pulang sekolah. Sekarang ia kebingungan mencari angkutan untuk pulang.

Tiba-tiba terdengar suara klakson motor di depan Karin. Ia menoleh.

"Ri?" tanya Karin.

"Kok lo belum pulang, Rin?" tanya Rian balik.

Karin tidak menjawab, membuat Rian tertawa karenanya.

"Lo masih aja irit ngomong. Mau gue anterin gak?" Rian menunjuk jok belakang yang memang kosong.

Karin bergeming.

Rian menghela napas. "Gue gak bakal aneh-aneh, Rin. Kalo lo gak mau juga gak apa-apa, sih. Tapi lo masih harus nungguin lama di sini. Jam segini udah jarang banget ada angkot."

Karin tahu itu. Ia menghela napas pasrah. Ia tidak punya pilihan lain. Ia juga sudah bosan menunggu di sini selama setengah jam.

Karin mendekati motor Rian, lalu bergegas naik. Rian segera melajukan motornya.

"Gue jadi inget waktu kita masih pacaran dulu," ujar Rian memecah keheningan.

"Gue gak pernah sudi ngakuin lo sebagai mantan gue," ketus Karin.

Rian tertawa. "Kalo bukan karena kemah waktu itu, gue gak akan pernah bener-bener kenal sama lo."

"Waktu Diana ngasih lo dare, lo nolak habis-habisan, tapi akhirnya mau juga. Malemnya kita keliling hutan berdua." Rian mulai bernostalgia. "Gue pikir lo orangnya galak, eh ternyata emang galak. Sekarang makin galak lagi."

Lagi-lagi Rian tertawa saat mendapatkan pukulan di punggungnya. Meski begitu, ia tetap melanjutkan nostalgianya.

"Gue tau banget lo aslinya baik. Kalo gak, gak mungkin lo nolongin gue waktu kaki gue gak sengaja kena akar pohon. Lo bahkan ngerobek seragam lo sendiri demi luka gue. Terus—"

"Mending lo diem. Bau lo tuh urusin!" Karin menghentikan Rian, sebelum Rian bercerita lebih banyak lagi.

"Sembarangan lo kalo ngomong. Walaupun keringetan gini, gue tetep wangi kok." Rian menghirup aroma kaos volinya.

Karin memutar bola mata malas.

Padahal yang denger cuma kita berdua. Toh, gak ada yang aneh dari cerita itu. Rian menggeleng.

Setelah itu, suasana hening sampai mereka tiba di depan rumah Karin.

Karin turun dari motor. "Makasih."

Tanpa menunggu balasan dari Rian, Karin segera masuk ke dalam rumahnya.

Siapapun yang bisa dapetin hati lo, dia pasti beruntung banget. Rian menatap rumah Karin lama, lalu mulai melajukan motornya.

***

Karin menghela napas. Ia sedang melanjutkan membaca komik di ponselnya. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa sekumpulan anak berumur dua belas tahun ke bawah bisa bertahan hidup di alam liar. Di bawah tekanan para monster jelek pula.

Saat Karin masih sibuk dengan pikiran fantasinya, terdengar suara seseorang yang memanggil.

"Rin." Reza, abangnya, sudah berada di dekatnya.

Karin menoleh tanpa berbicara apapun.

"Barusan ada yang nganterin motor lo. Emang motor lo kenapa?" tanya Reza.

"Tadi pagi mati," balas Karin dengan wajah datar. "Udah dibayar belum?"

"Mana gue tau. Tapi dia gak minta bayaran, sih." Reza mengedikkan bahu.

Setelah mengatakan hal itu, Reza keluar kamar tanpa menutup pintu.

"Kebiasaan!" Karin berdecak kesal.

Karin berdiri. Ia memutuskan untuk menata jadwal pelajaran dan mengerjakan tugas rumah.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat Karin menutup bukunya.

"Ini guru gak bosen-bosen ngasih tugas. Heran gue. Mana tugasnya gak pernah kurang dari tiga lembar," gerutu Karin saat menutup buku tulis sejarah peminatannya.

Karin keluar kamar untuk makan malam. Setelah selesai, ia ikut duduk di depan televisi bersama Reza.

Karin mendengar suara pintu depan dibuka. Terlihatlah sang Kakak yang baru saja pulang dari kuliah.

"Aku pulang," ujar Tira sembari berjalan menuju kamarnya.

Tepat saat Tira melintas di depannya, Karin berkata dengan nada sinis.

"Kayaknya emang gue doang yang selalu salah di rumah ini. Tuh, dia yang baru pulang jam segini aja gak ada yang komentar." Karin tertawa sinis.

Tira menoleh. Ia menatap Karin sengit.

"Gue dari kampus. Belajar. Emangnya lo, pulang malem gara-gara main sama cowok?" Tira membalas tak kalah sinis.

Karin mulai tersulut emosi. "Tau apa lo tentang hidup gue?"

"Emang nyatanya gitu, 'kan?" Tira mengangkat bahu acuh.

Karin berdiri dan berhadapan langsung dengan sang Kakak.

"Kalo lo gak tau apa-apa tentang hidup gue, mending lo diem." Karin menekankan setiap kata.

Tira tertawa sinis. "Gue cuma ngomong kenyataannya."

"Lo—" Karin sudah bersiap memukul mulut kurang ajar Tira, saat tiba-tiba tangan Reza menahannya.

"Karin, jangan bikin gaduh malem-malem!" gertak Reza. "Satu lagi, jaga sikap lo!"

Karin menghempaskan tangan Reza. "Iya, gue diem!"

Karin membalik badan, lalu melangkahkan kaki menuju teras rumah.

"Mau ke mana lo jam segini?" tanya Reza, tetapi diacuhkan oleh Karin.

Reza menggelengkan kepala saat Karin menutup pintu dengan kasar.

"Gak ada adabnya sama sekali," gumam Reza.

Sementara di teras rumah, Karin berkali-kali menghela napas kasar.

Dengerin keramaian lalu lalang kendaraan tuh jauh lebih baik daripada dengerin ocehan yang gak ada akhirnya.

Karin sudah sering melakukan ini. Sekadar untuk mencari ketenangan.

Ia merasa sedikit tenang daripada terus berada di dalam rumah dan membuat suasana hatinya semakin buruk.

Terkadang, Karin juga berjalan-jalan di sekitar rumah. Sekadar untuk mencari angin segar.

Cukup lama Karin berada di teras. Setelah dirasa suasana jalan raya sudah benar-benar sepi, Karin memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan tidur.

Lampu-lampu di dalam rumah sudah dimatikan. Tersisa penerangan yang remang. Karin mengambil segelas air putih sebelum menuju kamarnya untuk tidur.

"Karin, kamu belum tidur? Habis dari mana?" tanya sang Ibu yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Cuma habis duduk di depan. Ini juga mau tidur." Setelah mengatakan itu, Karin meninggalkan ibunya. Ia tidak mau percakapan menjalar ke mana-mana.

JUST BEING ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang