•Kebimbangan•

4 0 0
                                    

Jarum pendek pada jam dinding sudah menunjuk ke angka tujuh. Karin hendak menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. Namun, ia mengernyit saat mendapati seseorang yang duduk di meja makan.

"Lo baru balik?" Karin menatap Reza heran.

"Dari tadi. Sekitar setengah jam yang lalu," balas Reza dengan santai.

"Ya, itu namanya barusan." Karin melengos.

"Terserah. Makan dulu nih, tadi gue beliin pas pulang." Reza menunjuk sebungkus sate ayam yang ada di depannya.

Adiknya itu hanya bergumam sebagai balasan. Kemudian, ia lekas mengambil nasi dan makan dengan santai bersama Reza yang sudah makan lebih dulu.

Baru saja menyendokkan suapan pertama ke dalam mulut, Karin mendapati Tira yang hendak bergabung ke meja makan.

"Lah, Bang Vano udah pulang?" tanya Tira.

Reza tersenyum singkat. "Iya, barusan."

"Makan, Tir. Sate ayam favorit lo nih," ujar Reza.

Tira nyengir. "Wah, makasih, Bang."

Karin menatap kedua saudaranya, terutama abangnya. dengan raut wajah datar.

"Lo durhaka banget jadi abang. Adiknya sakit, eh, malah ditinggal seneng-seneng di puncak."

Reza mengernyit. "Lo sakit?"

"Bukan gue. Dia tuh." Karin menunjuk Tira dengan dagunya.

Mendadak, jantung Reza berdetak lebih kencang. "Lo sakit apa, Tir? Sekarang udah gak apa-apa, 'kan?"

Tira tersenyum. "Cuma kecapekan kok, Bang. Santai aja, gue 'kan kuat."

"Kuat apaan? Seharian tepar di kasur, lo bilang kuat?" sarkas Karin.

Tira hampir tersedak mendengarnya. Sesegera mungkin, ia mengambil air dan meneguknya.

"Ya, namanya juga orang sakit. Wajar lah. Btw makasih, Rin, lo udah mau jagain gue," ujar Tira.

Karin tidak menjawab. Ia masih menatap Reza datar.

"Gimana rasanya seneng-seneng di atas penderitaan orang?"

"Seneng-seneng apaan? Nih, ya, di sana gue hampir aja jatuh ke jurang gara-gara hujan deres banget." Reza mencoba membela diri, karena memang ia tidak bersalah.

"Itu lah, azab buat abang yang durhaka sama adiknya," ucap Karin.

"Gue gak ng—"

Melihat pertengkaran dua saudaranya yang disebabkan olehnya, Tira tidak tahan untuk segera melerai.

"Udah, udah. Gak apa-apa lah, Rin. Toh sekarang gue udah sehat," sela Tira.

"Mendingan kita lanjut makan aja deh. Makan sambil ngobrol gak baik. Nanti keselek," lanjutnya.

Suasana menjadi hening, sampai tiga bersaudara itu selesai dengan makan malamnya masing-masing.

***

"Guys, kalian yang belum bayar kas, buruan bayar dong! Mau nunggak berapa lama lagi?" Gina, bendahara kelas, tidak henti-hentinya berkoar-koar.

"Rian, buruan bayar! Lo udah nunggak tiga minggu loh." Gina menatap Rian kesal.

"Yaelah, Gin. Gak usah disebutin jumlahnya dong. 'Kan jadi malu gue," gerutu Rian.

"Gik isih disibitin jimlihnyi ding. 'Kin gii jidi mili."

"Gin, lo jahat banget sama gue sumpah." Rian menunjukkan raut wajah memelas, agar Gina barangkali mau mengasihaninya.

"Li jihit bingit simi gii simpih."

JUST BEING ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang