•Bubur Ayam•

4 0 0
                                    

Karin menguap lebar. Suasana kamarnya masih gelap saat ia membuka mata. Ia memutuskan untuk keluar kamar. Dilihatnya jam dinding yang ada di ruang makan.

Oo, masih jam setengah lima.

Gadis itu pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah itu, ia shalat subuh dengan tenang.

Karin mengambil sapu, lalu membersihkan rumah sekaligus pekarangan rumahnya. Entah mengapa, kenangan masa lalunya tiba-tiba terlintas di kepala.

Pintu kamar dibuka dengan sedikit keras. Nampak wajah ketus Ibu di sana.

"Karin, kamu itu cewek. Masa kerjaannya tiduran terus? Jadi cewek itu gak boleh males!" gertak Ibu saat melihat putrinya sedang bermalas-malasan di atas kasur.

"Tadi 'kan udah nyapu." Karin berusaha membela diri.

"Kamu pikir habis nyapu terus udah gitu? Liat abang kamu tuh. Pagi-pagi udah nyuci baju. Kakak kamu juga, pagi-pagi udah bantuin ibu masak." Ibu berkacak pinggang.

Karin menghela napas setelah melihat ibunya kembali menutup pintu kamar.

"Waktu aku gak ngapa-ngapain, ibu selalu aja liat terus ngomel-ngomel. Waktu aku ngerjain kerjaan rumah, ibu gak pernah liat," gerutu Karin.

Karin tersenyum mengingat kalimat yang sering dilontarkan oleh ibunya dulu.

Selepas membersihkan rumah, Karin bersiap untuk lari pagi. Salah satu kebiasaannya saat akhir pekan adalah lari pagi selama kurang lebih tiga puluh menit.

Saat menutup pintu kamar, Karin bertemu dengan Reza yang baru saja bangun.

"Lo mau jogging?" tanya Reza sembari mengucek mata.

Karin bergumam singkat.

"Pas pulang beliin bubur ayam di depan koperasi desa, ya? Pasti lo berdua bosen sarapan nasi goreng mulu," ujar Reza.

Karin mengangguk. "Oke."

Reza melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi. Sementara Karin kembali ke kamar untuk mengambil uang, lalu bergegas keluar rumah untuk memulai pemanasan.

Lima menit pemanasan. Dilanjutkan dengan berlari.

Udara pagi hari masih segar. Meskipun tidak sesegar udara di pedesaan, tetapi itu sudah lebih dari cukup untuk menemani pagi hari Karin.

Karin mengamati lingkungan tempat tinggalnya. Belum ada kegiatan yang berarti. Hanya ada satu-dua tetangga yang sudah bersiap pergi. Entah berangkat kerja atau ke mana.

Karin tersenyum tipis sembari mengangguk singkat saat berpapasan dengan tetangganya.

Tiga puluh menit berlalu.

Karin menatap jam tangan sport di tangannya. Ia memutuskan untuk berhenti di taman sembari mengatur napas.

Di kejauhan, gadis itu bisa melihat seorang anak yang sedang belajar bersepeda ditemani sang Ayah. Karin tersenyum saat melihatnya. Ia tidak ingat, apakah ia pernah melakukan hal yang sama atau tidak.

Tiba-tiba telinga Karin mendengar suara krasak krusuk. Ternyata suara gerobak bubur ayam di seberang sana yang baru saja buka. Ia menunggu sebentar lagi sebelum menuju ke sana.

"Bu, beli 3 bungkus, ya," ujar Karin pada wanita paruh baya yang menjual bubur ayam.

Wanita itu tersenyum. "Eh, iya, Neng. Tunggu sebentar, ya."

"Iya," balas Karin singkat.

Pandangannya kembali tertuju pada seorang anak di taman tadi. Anak itu terjatuh karena sang Ayah melepaskan pegangannya.

Karin menghela napas. Mungkin ia pernah mengalami hal yang sama. Latihan bersepeda ini memiliki makna tersembunyi.

Hidup ini mengajarkan kita untuk berjuang sendiri tanpa bantuan orang lain. Karena sejatinya, kita tidak bisa terus menerus menggantungkan diri pada orang lain. Saat kita jatuh, sesakit apapun itu, kita sendirilah yang harus menuntun diri kita untuk bangkit.

Karin tersenyum mengingat quotes yang pernah ia baca di salah satu buku di perpustakaan sekolahnya.

Setelah beberapa saat menunggu pesanan, Karin mendapatkan juga pesanannya. Ia melangkah dengan santai, hendak pulang ke rumah.

Namun, baru sekitar lima meter menjauh dari gerobak bubur ayam, seorang lelaki mengambil paksa satu plastik bubur ayam yang ia bawa.

"Hei!" jerit Karin saat melihat lelaki itu berlari menjauh darinya.

Perlahan, Karin mengikuti langkah lelaki yang mencuri makanannya barusan. Langkah kakinya membawanya pada sebuah pohon besar.

Di bawah pohon itu, terdapat 2 perempuan yang sepertinya umurnya tidak jauh darinya, dan juga seorang balita yang masih tertidur pulas beralaskan karung goni. Ada juga lelaki yang sedang diikutinya.

Ketika Karin hendak mendekati mereka, si Lelaki tadi mendekat ke arahnya dengan terburu-buru. Ia bahkan memasang kuda-kuda. Namun, raut wajahnya terlihat ketakutan.

"Tenang," ujar Karin.

Lelaki itu masih memasang sikap siaga.

"Nih, sekalian buat kamu. Masa seporsi buat berempat?" Karin menyodorkan kantong plastik berisi dua porsi bubur ayam yang tersisa.

"Eh?" Raut wajah lelaki itu berubah menjadi kebingungan.

"Iya, sekalian buat sarapan bareng. Nih, ambil." Karin semakin mendekatkan kantong plastik itu pada lelaki di depannya.

Dengan ragu-ragu, lelaki itu mengambil kantong plastik dari tangan Karin.

"Engh," gumam seorang perempuan.

"Duluan, ya." Karin tersenyum sembari menjauh dari pohon besar itu.

"Makasih banyak," ujar lelaki itu.

Karin bergumam singkat sebagai balasan. Tidak peduli lelaki itu mendengarnya atau tidak.

"Ternyata di dunia ini masih ada orang baik, ya? Semoga semua urusanmu dimudahkan sama Tuhan, Orang Baik," gumam lelaki berpakaian lusuh itu.

***

"Katanya hari ini sarapan bubur ayam?" Tira cemberut saat mendapati makanan yang ada di meja makan bukanlah bubur ayam, melainkan mi ayam.

"Bubur ayamnya udah habis tadi," ujar Karin. "Udah deh, syukur-syukur masih bisa makan. Lagian, toh sama-sama ada ayamnya."

Tira mengernyitkan dahi. "Lah, cepet amat?"

"Ya mana gue tau." Karin mulai menyuapkan mi ayam ke dalam mulutnya.

Karin tidak berbohong. Saat ia kembali pada penjual bubur ayam tadi, si Ibu penjual mengatakan bahwa dagangannya sudah laris manis.

"Udah, udah. Bener kata Karin, harusnya lo bersyukur masih bisa makan," sahut Reza. "Gih habisin, keburu dingin nanti."

Tira akhirnya menurut. Ia mulai menikmati mi ayam yang telah dibelikan oleh sang Adik.

JUST BEING ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang