Karin berjongkok di depan makam sang Ibu. Prosesi pemakaman sudah usai, bahkan kedua saudaranya baru saja pamit untuk kembali ke rumah.
"Waktu gue denger bokap gue meninggal karena kecelakaan, perasaan gue gak sesedih ini. Apa gue dosa, ya, karena pilih-pilih?" tanya Karin.
Vano yang berdiri di sebelahnya hanya diam tanpa tahu harus menjawab apa.
Karin tertawa hampa. "Walaupun sekarang gue dapet duit paling banyak dari bokap, gue gak terlalu deket sama dia. Malahan gue jarang banget ketemu dia."
Lagi-lagi Vano hanya diam mendengarkan.
Karin menaburkan bunga yang tersisa ke atas makam ibunya. Ada sebuah senyuman yang entah apa maknanya.
Di mata Vano, Karin terlihat begitu rapuh saat ini. Tepat saat Karin berdiri dan menoleh ke arahnya, ia memeluk Karin erat. Karin tersentak karenanya.
"Lo pasti kuat," bisik Vano tepat di telinga Karin.
Karin mengernyitkan dahi. Ia menghela napas pelan, lalu melepas pelukan Vano.
"Gue tau, semua orang pasti bakalan mati. Gak ada yang bisa hidup selamanya, kecuali Tuhan." Karin mengucapkan itu sembari beralih menuju makam ayahnya.
"Yah, semalem Ibu nyusul Ayah." Karin menaburkan bunga di atas makam Ayahnya.
"Makasih, ya, Yah. Makasih masih ngehidupin aku walaupun Ayah udah pergi," ucap Karin lagi.
Karin memandangi tempat peristirahatan ayahnya cukup lama.
"Rin," panggil Vano.
Karin tersadarkan dari lamunannya. Ia bergegas menaburkan sisa bunga ke makam ayahnya, lalu melangkah keluar dari area pemakaman itu.
***
Esoknya, Karin kembali pergi ke sekolah. Tidak ada perbedaan mencolok. Ia tetap Karin yang selalu memasang wajah datar.
"Eh, Rin, lo kok udah masuk lagi?" sapa Rian saat melihat Karin masuk ke dalam kelas.
Karin menatap Rian. "Trus gue harus bolos sekolah gitu? Yang ada si Reza sama Tante Tiri ngomelin gue."
"Bang Reza sama Kak Tira." Vano yang sedang duduk di tempatnya membenarkan.
"Terserah gue." Karin segera duduk di tempatnya tanpa memedulikan dua lelaki itu lagi.
"Rin, maaf banget, ya. Kemarin gue harus jagain sepupu gue. Rewel banget dia, makanya gak bisa ke rumah lo. Maaf banget," ujar Raya yang tampak merasa bersalah.
Karin tersenyum. "Santai aja."
"Gue turut berduka cita, Rin. Yang sabar, ya," ujar Raya lagi.
Karin mengangguk.
Bel masuk berbunyi. Pelajaran berlangsung seperti biasa.
Sampai pada jam pelajaran ketiga, guru yang seharusnya mengajar mata pelajaran prakarya tidak mengajar hari itu.
Seperti pada jam-jam kosong biasanya, siswa-siswi kelas IPS 3 sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Sedari pagi, gerak-gerik Karin diawasi oleh Vano dan Rian. Pasalnya, ia sering menyenderkan kepala di atas meja. Wajahnya juga terlihat pucat. Sementara teman sebangku Karin sendiri tidak terlalu memerhatikan hal itu.
Karena tidak tahan lagi dengan rasa penasarannya akan keadaan Karin, Rian mencoba mendekati gadis itu. "Rin, lo kenapa?"
Karin mengangkat kepala. Ia mengernyitkan dahi. "Emang gue kenapa?"
"Lo sakit?" tanya Rian. "Muka lo pucet, Rin. Sumpah, lo jadi makin serem hari ini."
Karin mempertajam tatapannya pada Rian. "Lo yang sakit. Sakit jiwa! Balik sana ke tempat lo! Gak usah ganggu, gue lagi gak pengen ribut sekarang."
Rian yang biasanya akan tertawa saat melihat Karin kesal, kini justru menatap Karin sedih.
"Oke, maafin gue. Cepet sembuh, Rin," ucap Rian. Ia tersenyum sembari melangkah menjauh dari Karin.
Karin kembali menelungkupkan kepala di atas meja.
"Lah, iya. Muka lo pucet, Rin. Lo beneran gak apa-apa?" sahut Raya yang baru saja menyadari keanehan teman sebangkunya itu.
Karin menggumam singkat sebagai balasan.
Tak berselang lama, Vano mendekati Karin.
"Rin," panggil Vano.
"Apa lagi, sih?" Karin mengangkat kepalanya dan menatap Vano kesal.
Vano tertegun melihat wajah Karin yang memang pucat.
"Lo sakit?" Vano hendak meletakkan tangan di atas dahi Karin. Namun, tangan Karin sudah lebih dulu menepisnya.
Vano tersentak saat tangan Karin mengenai tangannya. Dingin sekali.
Tanpa mengucapkan apapun, Vano mengambil tangan Karin dan menggesekkannya pelan. Karin memberontak, tetapi Vano dengan sigap menahan tangannya.
"Tangan lo dingin banget. Masih betah duduk di bawah kipas angin?"
Karin bungkam. Ia malas menanggapi ucapan Vano. Ia pasrah saja atas apapun yang dilakukan Vano padanya.
Vano tidak tega melihat Karin yang seperti ini. Ia menoleh ke arah Raya.
"Ray, anterin Karin ke UKS, ya?" pinta Vano.
"Gak usah!" tolak Karin.
"Atau lo mau gue gendong?" Vano menatap Karin tajam.
"Ish!" Karin menghela napas kasar.
"Ray, anterin sekarang," ujar Vano.
Raya mengangguk, lalu bergegas menuntun Karin menuju ruang UKS. Vano mengekori di belakangnya.
Sesampainya di ruang UKS, petugas kesehatan segera memeriksa keadaan Karin. Ia membelikan Karin seporsi makanan, lengkap dengan segelas minuman hangat sebelum memberikan obat.
Setelah petugas memberikan obat pada Karin, ia pamit keluar sebentar dan menyuruh Raya serta Vano agar segera kembali ke kelasnya.
"Udah agak enakan?" tanya Vano.
Karin menggumam singkat.
"Lo di rumah gak makan? Tau gitu gue ajakin makan dulu kemarin." Vano merutuki dirinya sendiri.
"Biasa aja deh. Lo bersikap seakan gue mau mati aja. Gue gak bakalan mati konyol gara-gara gini doang," ketus Karin.
"Jangan nyepelein, " tegas Vano.
Karin melirik Raya sekilas. "Lo ngomong seakan cuma ada gue di sini. Udah deh, lo berdua mending balik ke kelas sekarang."
"Eh, i-iya, Rin. Gue duluan deh," ujar Raya terbata-bata.
Melihat Vano yang masih bergeming, Karin kembali membuka suara. "Lo juga balik!"
Vano menatap Karin dalam sebelum membalas perkataannya.
"Iya gue balik. Lo istirahat di sini aja. Jangan kabur!" tegas Vano.
"Iya udah sana! Berisik banget lo!" usir Karin.
Vano akhirnya mau keluar dari ruang UKS. Ia sedikit terkejut melihat Raya yang masih berada di luar UKS.
"Gue pikir lo udah balik," ucap Vano. Ia memasang ulang tali sepatunya dengan telaten.
Raya tersenyum. "Lo perhatian banget, ya, sama Karin."
Vano menoleh sekilas pada Raya, lalu kembali memasangkan tali sepatu miliknya.
"Oh, iya, jelas. Gue gak bakalan tega ngebiarin dia ngerasa sendirian," ujar Vano bersungguh-sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST BEING ALONE
Fiksi RemajaIni tentang Karin, seorang siswi SMA yang sudah muak dengan semua orang, terutama keluarganya sendiri. Ia hanya ingin hidup tenang dengan jalan hidup yang dipilihnya. Tanpa gangguan dan kekangan. Bukan. Karin bukan gadis cantik dan baik hati yang di...