Peluh membasahi beberapa orang di sana. Entah pelaku perkelahian, mereka yang mencoba melerai, ataupun perempuan yang ketakutan.
Arleza berhenti memukul, ketika merasa amarahnya sudah tersalurkan. Ia terduduk tepat di depan laki-laki yang menjadi sasarannya.
"Gila ya lo? Cewek tulen kan? Apa ada blasteran cowok?" ucap laki-laki yang baru saja ia ketahui namanya Alfath.
"Fath, tanggung jawab ah!" seru teman laki-laki itu pada Alfath. Ia menunjuk ke arah perempuan pemilik motor rusak yang sedang menangis.
"Benerin!" seru Leza. Ia berdiri, tangannya langsung menarik lengan Alfath hingga laki-laki itu berdiri.
Arleza menarik Alfath, hingga laki-laki itu jongkok di samping motor.
"Kenapa ngga bawa ke bengkel aja bego" ucap Alfath.
"Ya lo pikir? Kalo bisa nuntun nih motor gue ga bakal diem di tengah jalan tadi!" seru Leza, tangannya kembali memukul kepala belakang Alfath.
"Aduh! Bisa-bisa kena gagar otak gue elah! Terus ini kenapa!" seru Alfath.
"Tuh rantai nya lepas dulu. Kejepit" ucap Leza.
Alfath langsung serius menatap rantai motor.
"Pukul aja Fath" ucap teman laki-laki itu.
"Mana obengnya" ucap Alfath.
Leza langsung mengambilkan obeng dan tang yang tergeletak di tanah.
Alfath menerima dua benda itu dengan ekspresi meringis, membayangkan jika tang itu ikut kena kepalanya. 5 Jahitan tidak cukup sepertinya.
Arleza menatap 2 perempuan teman Alfath yang sudah berhasil menenangkan perempuan pemilik motor.
Leza langsung berdiri, mengambil rompinya yang tadi ia lepas. Setelah memakai rompi, ia berjalan menuju seberang.
Leza kembali menjalankan aktifitasnya. Ia menyebrangkan beberapa bus dan truk besar. Topi ia gunakan sebagai wadah, jika ada orang yang memberi uang.
Suara peluitnya terdengar keras di tengah malam seperti ini. Tiga puluh menit berlalu.
Arleza jongkok di atas rerumputan berbentuk segitiga. Taman kecil yang ada di tengah-tengah pertigaan.
Menghitung uang yang sudah ia hasilkan malam ini.
Hanya 8000, begitu sedikit. Namun cukup untuk makan nasi bungkus besok pagi.
Di seberang sana, Alfath yang tadinya fokus memukul rantai. Kini menatap ke arah Arleza. Perempuan itu berjongkok, menatap recehan yang tergeletak di rumput.
Menghitung perlahan kumpulan uang itu.
Terlihat banyak koin, tapi siapa sangka jika itu hanya koin 100 perak.
"Padahal muka-muka orang kaya" ucap Adhe, teman Alfath.
"Hmm mukanya aja kek orang perawatan. Mulus banget anjir" ucap Rara.
Mereka menggibah dengan mata menatap ke arah Arleza yang sedang bekerja.
Tak lama kemudian, Leza segera mengakhiri pekerjaannya malam ini.
Tanpa kembali lagi ke seberang, Leza langsung berjalan ke arah kirinya. Ia langsung kembali ke apartemennya.
"Woi!" seru Raka memanggil Leza.
Leza hanya menoleh sebentar, ia kembali berjalan ke arah rumahnya.
Perempuan itu sangat lelah dan ingin segera tidur.
"Woi!" teriakan kembali terdengar. Kali ini Leza tidak menoleh.
Tapi, memang teriakan itu bukan untuk Leza. Itu untuk perempuan yang tiba-tiba menyebrang mengejar Leza.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Don't Know
Teen Fiction"Apa yang lo lakuin...." ucap Arleza dengan suara pelan. Ia... hanya... tidak menyangka. Sebuah pemandangan yang tidak pernah ingin ia lihat dalam bayangannya sekalipun. Sedangkan Alfath membeku, tangannya berhenti. "Za... i-ini..." ucap Alfath ter...