|21| Back

268 41 4
                                    

"Lo ngga bakal nyerah?" Tanya Alfath. Hampir 5 jam, dan Leza tetap bungkam. Saat ini, ia tidak lagi duduk dalam ruangan kaca. Namun, duduk di tengah ruangan luas. Dalam ruangan ini pula ada puluhan orang yang siap menghantamnya. Tangan kirinya diborgol bersama kaki kursi. Sedangkan tangan kanannya dibiarkan bebas.

"Lo tahu kan kalau 30 menit lagi dan lo tetep diem, apa yang bakal terjadi" ucap Alfath.

"Harus ya, nunggu pakai kekerasan?" Lanjutnya.

Leza menatap laki-laki itu. Datar, tanpa emosi.

"Gue penasaran, 'kekerasan' bagi kalian itu seperti apa" sahut Leza.

"Za!" Seru Alfath.

"Tapi sayangnya gue ngga punya waktu untuk itu" ucap Leza, tawa kecil tanpa sengaja keluar dari bibirnya. Melihat puluhan orang di sini yang siap melawan, tanpa tahu siapa yang mereka lawan. Menurutnya itu adalah tidakan terbodoh. Bukankah sudah pasti, kalau mereka tidak mungkin akan selamat?

Namun, siapa sangka? Tawa kecil itu mampu membuat puluhan orang di sana merasa marah. Marah karena merasa seakan diremehkan.

Satu orang berlari ke arah Leza dengan ekspresi penuh emosi. Tangannya terangkat bersiap memukul perempuan itu.

Namun...

Belum sampai tangan itu menyentuh kepala Leza. Alfath mendorong laki-laki itu hingga tersungkur.

Kali ini, beberapa orang sekaligus yang berlari.

"BERHENTI" perintah Alfath. Namun, perintahnya itu tentu saja diabaikan hanya karena emosi semata.

Leza berdiri, dengan tangan kiri mengangkat kursi kayu. Lumayan berat sebenarnya, ia jadi harus berfikir bagaimana melepaskan borgol ini selagi membereskan kekacauan di sini.

Begitu Alfath mau menahan serangan, Leza terlebih dahulu menendang punggung laki-laki itu.

Tanpa ampun.

Perempuan itu menghabisi mereka. Dengan sekali pukul, kaki kursi yang ia pakai langsung patah.

Ah tentu saja ia memukulkan kursi itu ke tubuh orang-orang.

Perempuan itu, menghabisi mereka dengan cepat. Kakinya terus melangkah menuju ujung.

Suara letupan pistol terdengar, bersamaan dengan tubuh Leza terjatuh ke depan.

Perempuan itu langsung bangun, kepalanya menoleh ke belakang dan mendapati Alfath dengan lengan berdarah.

"Berhenti!" Pekik Alfath. Laki-laki itu ikut berdiri memasang tubuhnya menutupi Arleza.

"Minggir" ucap Leza berbisik. Ia meraih palu yang tergantung di sisi dinding.

"Alfath!" Bentak Ayah.

Leza memukul salah satu lantai di bawahnya. Lantai dengan kedalaman lebih dalam daripada yang lain.

Beberapa pukulan membuat lantai itu retak, Leza langsung mengambilnya. Benar saja, ada sebuah tombol di sana. Tidak sia-sia mempercayai informasi yang diberikan kakaknya. 

Ia memencetnya, suara derakan besi-besi bergerak terdengar. Mereka terdiam mendengarnya. Tidak cukup 1 pistol yang mengarah ke arahnya. Ada lebih dari 10 pistol yang siap menembus tubuh Leza.

Suara berhenti, tidak ada dinding terbuka, lantai terbuka ataupun jalan keluar rahasia.

Leza mengangkat palunya tinggi-tinggi. Dengan gerakan memutar tangannya, ia memukul dinding di depannya. Dalam satu gerakan pula ia langsung melempar palu menuju lampu besar yang ada di tengah ruangan.

We Don't KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang