Seolah mendapatkan topik menyenangkan. Seisi sekolah membicarakan mengenai Arleza. Perempuan dingin yang kembali ke sekolah.
Perbincangan mengenai tragedi yang menimpa Leza. Kembali menyeruak seolah memang tak pernah redup.
Perempuan itu kini melangkah menuju ruang kesiswaan. Di sana sudah ada 3 guru yang sedang mengobrol.
"Ah Leza, bagaimana kabarmu?" tanya Pak Im.
"Baik pak" sahut Leza. Ia menyalami semua guru yang ada di sana.
"Kamu akan ada di kelas 12H. Sekarang langsung ke sana saja. Setelah itu mengikuti upacara" ucap Pak Im.
"Baik pak" ucap Leza. Ia kembali bersalaman dan keluar dari kantor.
Terlihat para siswa berjalan berbondong-bondong memenuhi koridor. Banyak juga yang sudah baris di lapangan.
Leza langsung menuju gedung C. Tak ia pedulikan semua tatapan itu. Perempuan itu terus melangkah dengan mata lurus ke depan.
Begitu sampai di kelasnya. Hanya ada seorang laki-laki di sana.
"Ahh lo udah berangkat?" tanyanya.
Leza hanya mengangguk. Walaupun ia tidak tahu siapa laki-laki itu.
"Bangku kosong cuma di sana, tapi yang duduk di sebelah lo bakal sulit ditangani" ucapnya.
Leza tetap menaruh tas di sana. Mengambil topinya dan keluar kelas.
Begitu sampai di lapangan. Mulutnya benar-benar ingin mengumpat. Kenapa semua refleks meliriknya!. Adik kelas pasti jadi ikut penasaran kan?
Leza cepat-cepat menuju barisannya. Ia langsung berdiri di barisan paling belakang.
Beruntung dirinya tinggi, jadi tidak perlu mengubah urutan barisan.
Sepanjang upacara berlangsung ini, Leza tahu. Anak-anak sekelasnya berbisik mengenainya. Ia tahu kalau mereka ingin menyapanya. Tapi, enggan ketika melihat raut muka Leza yang seperti "Ngga usah nyapa, ribet, males jawab".
"ASTAGFIRULLAH!" teriakan seorang laki-laki yang baru saja baris di sampingnya mengejutkan semua orang. Termasuk seorang guru yang sedang berpidato.
"Siapa di sana, maju ke depan!" sentak guru itu menggunakan mikrofon.
Plak!
Laki-laki itu menampar pipinya sendiri.
"Gue ga salah liat kan Ka" ucapnya.Ia langsung menangkup pipi Leza dengan kedua tangannya.
"Lo kok bisa di sini!?" seru Alfath setengah memekik.
"Kalian! Maju!" ucap seorang ketua OSIS terlihat dari jasnya.
"Gue ngga berisik ya" ucap Leza kesal. Ketika dirinya disuruh ikut maju.
"Ngga berisik darimana! Kedengaran dari depan! Maju!" ucapnya tegas.
"Dibilangin gue ngga berisik! Gue diem aja dari tadi disini! Punya telinga ga si lo!" sentak Leza. Oke, kini mereka menjadi sorotan publik. Termasuk guru yang berdiri di atas podium, beliau tampak semakin kesal.
"ARLEZA! MAJU!" seru guru itu.
"Bego! Budeg sih jadi ketua OSIS. Mata lo juga di periksain sana!" sentak Leza kesal. Ia langsung berjalan keluar barisan.
Ketua OSIS yang hendak menyahut, mendadak terdiam ketika lengan tangannya di cengkram erat oleh Alfath. Mata laki-laki itu menatap tajam ke arah dirinya.
Alfath langsung menyusul Leza.
"Kok lo bisa di sini?" tanyanya."Gue belom pernah liat muka lo di sekolah"
KAMU SEDANG MEMBACA
We Don't Know
Teen Fiction"Apa yang lo lakuin...." ucap Arleza dengan suara pelan. Ia... hanya... tidak menyangka. Sebuah pemandangan yang tidak pernah ingin ia lihat dalam bayangannya sekalipun. Sedangkan Alfath membeku, tangannya berhenti. "Za... i-ini..." ucap Alfath ter...