Jam telah menunjukkan pukul 10 malam, ketika Alfath bergefak mengunci Leza di dalam kamar. Laki-laki itu segera menuju ke Ayahnya.
"Kacau" gumam Tiram.
Mereka langsung menuju ruang komputer. Di sana terdapat puluhan komputer, dengan satu proyektor di depan.
Mereka membuka pintu sebelah kiri di dalam ruangan itu.
"Ambil handphonenya Gil!" ucap Alfath.
Laki-laki itu bersama dengan Tiram langsung mengoperasikan 4 komputer yang ada di dalam ruangan itu.
"Kata Ayah 'bersih'" ucap Ragil dengan tangan membawa handphone Leza.
3 jam, waktu yang mereka habiskan untuk menatap komputer.
"Udah sia-sia. Udahlah" ucap Raka yang lelah sendiri menatap teman-temannya sibuk mengotak-atik handphone Leza.
"Dia tahu handphonenya ada sama kita" ucap Tiram.
Alfath mengangguk membenarkan.
"Tiap gue kasih program pelacak, langsung dihapus" ucapnya.
'Hey boy, do you love her?'
Tulisan itu muncul di layar komputer depan Alfath. Bersamaan dengan bunyi alarm dari segala penjuru terdengar.
"Seluruh elektronik di ambil alih!" seru Ragil.
"Cctv mati!" kini seru Adhe.
"Pintu bawah tanah terbuka!" seru Raka.
"SHIT!" pekik Alfath keras.
Gerbang utama terbuka lebar. Juga pintu tahanan terbuka, membuat beberapa tahanan berhasil kabur.
Beberapa orang menutup pagar dengan manual, jadi memakan waktu cukup lama. Mengingat pagar itu terbuat dari beton dan sulit diledakkan.
Lapangan berubah menjadi area pertarungan, karena mereka sendiri memiliki banyak tahanan.
Ruang-ruang lab cukup tibut untuk mengamankan dokumen.
Salah seorang tahanan, yang tadi berada di ruang tengah. Mengambil mikrofon yang selalu ada di lapangan latihan.
Ia tertawa lebar, membuat perhatian beberapa orang langsung teralih.
"BAGAIMANA RASANYA MEMBAWA TYREX KE SARANG KELINCI?" ucapnya keras.
Suara itu terdengar hingga seluruh ruangan, karena memang terhubung.
Alfath langsung mengambil handphone Leza. Ia segera berlari menuju kamarnya.
***
Perempuan itu sedang terlelap ketika suara alarm terdengar.
Begitu kedua mata itu terbuka. Sepasang mata sudah ada di hadapannya.
Nafas perempuan itu langsung tercekat. Seolah udara di sekitarnya menghilang.
"Halo sayang, apakah kamu merindukanku?" tanya laki-laki di atasnya dengan bahasa inggris.
Leza langsung mendorong bahu laki-laki itu menjauh.
"Apakah waktu latihanmu kurang? Bisanya tidur di sarang lain" ucap laki-laki dengan mata tajam. Alisnya tebal, lekukan wajahnya tidak menunjukkan keramahan sedikitpun. Laki-laki itu menggunakan jas silver dengan celana senada.
Pakaiannya terlihat cukup berantakan.
"Bukankah tidak ada yang perlu ditakutkan?" ucap Leza.
"Apakah kamu mengetahui siapa mereka?" tanya Laki-laki itu.
"Tidak, dan itu berarti mereka tidak ada di deretan puncak" ucap Leza.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Don't Know
Teen Fiction"Apa yang lo lakuin...." ucap Arleza dengan suara pelan. Ia... hanya... tidak menyangka. Sebuah pemandangan yang tidak pernah ingin ia lihat dalam bayangannya sekalipun. Sedangkan Alfath membeku, tangannya berhenti. "Za... i-ini..." ucap Alfath ter...