Dendam

320 32 201
                                    

Pendendam itu ibarat bom waktu.

Bisa meledak kapan saja.

Hanya saja, jika daya ledak bom tidak bisa bertambah,

dendam malah sebaliknya---- semakin besar seiring waktu.

********

"Masih marah , ya ?" Suara merdu itu takut- takut bertanya padaku.  Kulirik gadis yang duduk resah disampingku, tangannya memilin- milin ujung gaun selutut yang dipadu padan dengan sepatu boot. Sementara aku masih menatap jalan, dan dengan tangan sebelah masih bertengger diatas bahunya, sebelah lainnya memegangi kemudi,  masih terlalu semaput dengan rasa terkejut.

"Tak marah, hanya cemas, kau tiba- tiba pergi, dengan pelayan yang tak mampu jadi supir." Wajahku masih kaku---- meski tanganku meremas bahunya. Bergidik ngeri, terbayang kecelakaan beruntun di depan mata.

"Uhm,... maaf, ya. Janji tak ulangi lagi, kuharap ini terakhir kali aku menginjakkan kaki di Daito." Ucapnya sembari menundukkan kepala.

"Paman Kenichiro juga bilang tak terlalu mahir dengan mobil, makanya kuingatkan berkali- kali menyetir perlahan- lahan, kami juga tertahan lama tadi dijalan, ada kecelakaan di jalan tol, mobil container menghimpit  dua mobil, sangat mengerikan!" Maya tiba-tiba bergidik

Aku terdiam. Jika saja ia tahu, mobil suaminya hanya berjarak setengah meter dari kecelakaan itu, --- aku juga bergidik ngeri, tak pernah terpikir dia masih dibelakangku, sedang aku berusaha menyalip mobil sana sini di depan, sembari terus mencari. Rahasia itu aku simpan,__ tak ingin dia cemas dan menyalahi diri.

Kami berkendara setelah dari Daito, dan menjemput perlengkapanku di hotel, sebelumnya mengkondisikan Kenichiro untuk beristirahat dengan berkali- kali pesan, agar ia mengemudi lebih hati- hati esok pagi menuju Osaka.

"Mumpung di Tokyo, kau ingin makan dimana ? Atau ada yang kau inginkan ?" Tanyaku, kami berniat bermalam di apartementnya, dan esok pagi baru menuju Osaka.

"Uhm,.... apa ya? Apa aja,---- aku ikut saja." Jawabnya pelan, masih juga resah.

"Benar ikut saja? Tapi makannya nanti dihabiskan ya,---" kubuat canda menutupi gundah.

Maya mengangguk,----

Seharusnya setelah menemukannya dalam keadaan selamat, hatiku akan lebih baik dan lega, tapi entah  karena apa, aku belum juga merasa begitu, tak mungkin karena pertemuan dengan ayahku, tidak---- pasti tidak itu --- pria itu bahkan sudah melupakanku. Juga aku yakin keresahanku bukan karena kata- kata Uzumaki yang kudengar diruang lamaku, aku tak akan terpengaruh, pada dia yang menghinakan jika aku tak mampu berikan yang terbaik untuk Maya, jika aku tak mengerti potensi dan ambisi istriku,--- menggelikan--- begitu cepat ia buat penilaian, seakan ia mengenal Maya lebih lama dariku !

 " Bilang apa sama Ryu?" Tanyanya.

Aku diam. Tapi tak baik menyimpan bara api sendirian.

"Aku mengambilnya kembali." Dengan tangan sebelah kukeluarkan dua dokumen dari balik jasku dan meletakkan di dashboard dihadapannya.

Mata Maya melebar. ---- bibirnya bergetar, dan bening kristal pecah berderai.

"Ke-kenapa? Aku rela melepasnya, aku sudah bilang, tak apa aku tak bisa perankan Bidadari Merah lagi, aku ingin kita tenang, aku tak ingin jadi beban."

"Tapi aku tak terbeban, tugasku melindungimu, dan  Hak ini yang kau dapatkan dengan mati- matian ! Jika mereka akan merebutnya, maka mereka harus hadapi aku dulu !! " Mataku berkilat marah, konspirasi jahat yang mereka siapkan membuat dendamku buncah. Dan menyaksikan sandiwara yang dimainkan ayahku terhadap Maya yang begitu polos dan lugu, membuat rasa dalam dadaku bercampur aduk.

The Shape Of My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang