Embun

652 43 221
                                    

Disetiap pagi kau hadir, menyelimuti jendela,.....aku cemburu.

Saat kuusap si Jendela, kau menghilang, seolah menghindar,

menyangkal pertemuan,..... aku rindu.

Kagum cara dia sangat mendambakan

Meski hasrat ingin memeluk tak pernah berlabuh.

Jika boleh aku berbisik,...

Izinkan aku menjadi jendela, Semalam saja.

Meski kedinginan, tapi disetiap pagi pelukmu menemani.

Sungguh, merindu dia yang telah pergi, baru kutahu seberat ini,...

Ribuan andai tercipta, sesal semakin mengada- ada.

********

"Sudah sarapan belum?" Senyum istriku mengambang dilayar ponsel.

"Sudah." Jawabku singkat, balas tersenyum.

"Benar?" Ulangnya tak yakin.

"Iya."

"Kau sendiri sudah makan belum?" Balasku bertanya.

"Sudah, tapi ku muntahkan lagi, akhirnya hanya bisa minum susu, mungkin nanti agak siang baru bisa makan lagi."

Keningku berkerut, apa wajar ibu hamil hampir setiap pagi muntah ? Tapi wajahnya sama sekali tak terlihat menderita, Maya biasa- biasa saja, dia juga tak tampak lemas.

"Kau tak harus menyelesaikan pementasan, mereka pasti bisa mencari penggantimu, jangan dipaksa." Ya, aku khawatir sekarang, tentu saja sangat khawatir. Dia tengah mengandung anak pertama kami, dan Maya segera kembali ke Osaka setelah 3 hari masa berkabung kematian ayahku.

Aku menarik napas, ribuan ton beban itu masih menggantung di dadaku.

Kini sudah hampir dua minggu sejak kejadian itu berlalu, tapi rasa sakitnya masih sama.

Masih sama perihnya.

Sama kehilangannya.

Dan aku dirundung sesal yang tak ada habisnya.

Aku di Tokyo, Maya di Osaka.

Satu minggu setelah kepergian ayahku, aku kembali ke Daito, kondisi finansial Daito babak belur, aku merasa bersyukur Maya berada di Osaka, hingga dia tak melihat bagaimana kuhabiskan waktu untuk bekerja, rapat menemui investor, menggelar konfrensi pers, menemui relasi, mengadakan meeting- meeting dengan para Direksi hingga dini hari.

Jam- jam tidur di kamar lamaku di kediaman Hayami, hanya terisi dua atau tiga jam saja, dan sebelum pukul 7 pagi aku sudah berada di kantor lagi.

"Tak apa, hanya tinggal beberapa hari lagi pementasannya, lalu aku akan cuti panjang, kau terlihat sangat kurus Masumi." Wajahnya kini berkerut tak suka.

"Karena rindu istriku." Elakku, membubuhkan canda.

"Aku ke Tokyo setelah habis pentas sore ini ya?" Wajahnya sarat ancaman.

"Eh, jangan, kau harus banyak istirahat, kalau mau ke Tokyo boleh saja, tapi tak kuijinkan kau kembali lagi ke Osaka." Bagaimana mungkin aku ijinkan dia bolak balik menempuh perjalanan, sementara aku tahu sendiri dia masih mengalami mual dan muntah .

"Kondisinya jelek sekali ya?" Tanyanya tak menggubris ucapanku.

Aku tersenyum " Tak lebih jelek dari saat kutinggalkan." Ucapku menenangkannya.

"Kau pembohong Tuan Hayami." Aku tersenyum mendengar tegurannya.

"Dan kau harus berjanji untuk mengganti sarapan yang kau muntahkan tadi, Nyonya."

The Shape Of My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang