Bab 1

16 7 0
                                    

Gadis cantik dan manis itu masih menyantap makanannya dengan cemberut, meski dia tahu ayah dan ibunya menatapnya. Dia enggan peduli setelah apa yang orang tuanya katakan semalam.

"Apa, sih, ibu dan ayah ini! Muza sudah dewasa, Muza berhak memilih sendiri!" Muzayah bangkit dan berjalan cepat ke kamarnya.

"Muza, tapi ini baru rencana sayang. Masih pengenalan, ibu dan ayah juga tidak memaksa jika Muza tidak mau." Lastri mendekap dan mengelus rambut anaknya yang menangis. Dia menyusul anaknya karena tidak ingin Muzayah terbebani hanya karena masalah perjodohan ini.

"Bu, kenapa gak Bang Yasa yang dijodohkan? kata Muzayah menatap Lastri. "Bang Yasa yang lebih pantas menikah, Bu, aku masih kuliah dan aku gak mau dijodohkan. Aku bisa pilih sendiri," ujar Muzayah dengan sesenggukan.

Lastri hanya bisa menenangkan Muzayah dengan mengelus rambut anaknya dan mendekapnya. Dia sebenarnya setuju dengan sang suami karena Lastri sudah cocok dengan orang yang akan dijodohkan dengan Muzayah. Namun, dia juga tidak akan memaksa jika Muzayah tidak mau.

****
"Muza ...."

Muzayah menaikan wajahnya yang sedari tadi hanya menunduk melihat nasi goreng di piringnya. Lastri menatap Muzayah dengan senyum lembut.

"Nanti pulang kuliah, langsung pulang! Ada temen Ayah yang mau datang sama anaknya, yang semalam sudah Ayah kasih tau kamu, Muza!" Eko menatap anak gadis ke duanya itu dengan tatapan tegas. Dirinya tidak akan membiarkan anak kesayangannya sakit hati, dan karena itu Eko menjodohkannya dengan orang yang dia sudah tahu bibit, bebet, dan bobotnya.

Muzayah hanya mendengus dan mengerlingkan mata. Wajah kaku dan dahi mengerut itu masih setia ditampilkan Muzayah. Dia menolak, Eko tahu dari sikap Muzayah, tetapi Eko akan pastikan Muzayah akan menerimanya dengan cepat.

"Sudah siang, ayo berangkat!" Muzayah menatap adiknya yang dari tadi diam saja. Abangnya, Yasa, sudah berangkat lebih pagi karena mengecek persediaan kafenya.

Zibran mendongak dan mendapati wajah sang kakak yang sedang sebal itu, lalu mengangguk dan berdiri untuk menyalami Lastri dan Eko, begitu juga dengan Muzayah.

Lastri menahan tangan Muzayah, "Senyum, Muza! Cantiknya hilang nanti anak Ibu ini."

"Iiih, ibu! Muza geli kalau dicolek dagunya."  Muzayah mengusap dagunya kasar untuk menghilangkan rasa gelinya. Anaknya yang periang dan keras kepala ini sudah kembali.

"Hati-hati berangkatnya. Zibra jangan kebut-kebutan!" Lastri menatap awas anak bontot lelakinya. Zibran hanya berdehem untuk membalas ucapan Lastri.

"Assalamualaikum warahmatullahi," ucapan Zibran dan Muzayah berbarengan.

Muzayah menatap Zibran yang sedang mengeluarakan motor gedenya dengan kening mengerut. Adiknya ini jika Muzayah amati memang tampan, tetapi satu sikapnya yang menyebalkan, yaitu cuek.

"Kenapa," kata Zibran menatap Muzayah.

"Kamu ... mau enggak Zib, kalau dijodohkan dengan pilihan ayah?" tanya Muzayah sambil menerima uluran helm dari Zibran.

Zibran hanya diam tak mengacuhkan pertanyaan Muzayah, lalu menyuruh Muzayah untuk naik. Muzayah mencebik kesal lantaran pertanyaannya tidak dijawab, tetapi dia tetap naik ke atas motor.

****
"Aaaaa, Atika lihat itu Kak Anhar. Ganteng banget sih," ujar Muzayah dengan tangan menangkup di dada.

Atika mengusap wajah Muzayah, "Mata kamu ini, Loh! Dosa, gak boleh!"

"Astagfirullah, oiya, tadi a–aku itu ... eum, anu tadi, apa namanya? gak sengaja, khilaf. Ya Allah astagfirullah," kata Muzayah tergagap.

"Hati-hati Zina Muzayah." Tangan Atika sibuk melilitkan mi ayamnya pada sumpit kayu.

Muzayah memajukan bibir bawahnya lucu. Dirinya memang sulit mengontrol sikap jika bersangkutan dengan Anhar. Padahal hanya melihatnya dari jauh, tetapi sensai bahagianya meletup-letup.

Muzayah masih menatap Anhar yang sedang meneguk air sehingga jakunnya naik-turun. Matanya berbinar dan bergumam, "Seksi banget, Kak Anhar."
Atika menggelengkan kepalanya mendengar Muzayah bergumam.

"Ayo, kita ke musala. Rapat perdana kamu ini, Za." Atika membereskan mejanya dan bangkit diikuti Muzayah.

"Ada Kak Anhar, Tik, nanti?" tanya Muzayah

"Hmm? Iyalah, dia ketua, masa enggak ikut rapat. Emang cinta itu kadang bikin lemot, ya, kayak kamu sekarang," jawab Atika melirik Muzayah.

"Hiis, kalau bicara kamu ini ... suka benar." Muzayah tertawa sambil mengapit lengan kanan Atika.

Old PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang