Bab 14

0 0 0
                                    

Raka bersandar di kap mobil silver miliknya, menunggu Muzayah ke luar dari kampusnya. Sudah dua puluh menit Raka menunggu, dan selama itu juga banyak mahasiswi yang mencuri pandang ke arahnya.

Raka berdiri setelah melihat Muzayah keluar dengan wajah lesunya. Mata Raka dan Muzayah bertemu, Muzayah menghampiri Raka dengan alis mengerut bingung.

"Ngapain lo?" tanya Muzayah langsung.

"Jemput, lo. Ayo balik!" Raka membuka pintu penumpang depan.

Muzayah hanya menatap Raka tanpa beranjak dari tempatnya. Raka menghela napasnya melihat Muzayah yang masih bergeming di tempatnya. Raka hendak menarik tangan Muzayah, tetapi Muzayah langsung menghindar dan memelototkan matanya.

"Apa?" tanya Raka, "Ayo buruan masuk, gue tau lo lagi patah hati. Makanya gue ke sini buat lo, calon istri." Raka tersenyum manis sekali.

Mata Muzayah memicing menatap Raka, tetapi dirinya langsung beranjak ke arah pintu mobil yang sudah terbuka. Raka tersenyum melihat itu, dan langsung mengitari mobil untuk duduk di kursi pengemudi.

Mobil Raka melaju meninggalkan kampus Muzayah. Di tangan Muzayah ada amplop berwarna merah muda, Muzayah memandangi amplop itu dan hal itu menarik perhatian Raka.

"Masih zaman, ya, ngirim surat?" kata Raka menatap lurus jalanan.

Muzayah hanya diam dan tangannya membolak-balikkan surat tersebut. Muzayah tidak menjawab pertanyaan Raka, Muzayah memilih bersandar pada kursi dan menatap jalanan yang sedikit ramai orang pulang kerja.

"Kayaknya, surat cinta, ya, Za?" tanya Raka melirik Muzayah, "Masih ada yang pake cara kuno begini, ternyata. Btw, baca dong, Za, gue penasaran."

Muzayah berdecak, tetapi tangannya juga tak urung membukanya. "Kata-katanya manis banget," kata Muzayah mendesis.

"Dari siapa?" tanya Raka.

Muzayah menghentikan bacaannya dan menatap Raka. "Dari Kak Anhar," jawab Muzayah.

Teriakkan Raka nyaring di dalam mobil, muzayah menjengit dan melotot pada Raka.

"Anhar, Za? Anhar Mustafa?" tanya Raka, dadanya naik turun dan wajahnya melongo kaget.

Muzayah mengangguk dan melipat kembali suratnya. Sedangkan Raka, wajahnya mengerut dan menggerutu pelan. Matanya tidak bisa berhenti melirik spion kanan dan kiri.

****
Anhar melihat Muzayah yang memasuki mobil bersama seorang lelaki, yang tidak sempat Anhar lihat wajahnya karena keburu memasuki kursi kemudi.

Anhar menatap pulpen ditangan yang tadi dia gunakan untuk menulis surat untuk Muzayah. Dengan amplop merah muda, Anhar sendiri tidak yakin alasan apa yang membuatnya lebay begini.

"Muzayah," Anhar mendekati Muzayah dengan sedikit berlari.

Muzayah berhenti dan berbalik, melihat Anhar yang ngos-ngosan karena berlari. "Ada apa, Kak?" tanya Muzayah mendunduk.

Anhar menyerahkan amplop merah muda di tangannya. Muzayah menatap Anhar. "Apa ini?" tanya Muzayah.

"Ini buat kamu, nanti di baca, ya. Maaf, jika sudah terlambat, saya hanya ingin menyampaikannya saja," ujar Anhar.

Muzayah mengambilnya dan menunggu Anhar bicara lagi. Namun, Anhar malah memutar-mutar badannya gugup dan sesekali menggaruk tengkuknya.

"Sudah, Kak, tidak ada lagi?" tanya Muzayah dan diangguki Anhar.

"Okey, Muza, duluan, Kak. Assalamualaikum." Muzayah pergi meninggalkan Anhar. Muzayah menengok ke belakang saat sudah sedikit jauh, tetapi Anhar sudah tidak ada.

"Muzayah! Lupakan! Tarik napas, buang!" Muzayah bergumam, menenangkan degup dadanya yang berdebar.

Anhar pergi setelah ke musala, setelah memberikan suratnya. Kakinya dia langkahkan ke tempat wudu, dan selepas itu Anhar hanya duduk di depan meja tempat Al-quran di simpan.

"Ya Allah, ternyata jatuh hati seribet ini. Susah sekali menghilangkan Muzayah dalam pikiranku ini." Anhar meraup wajahnya dan menghela napas lelah.

Tangannya mengambil satu Al-quran yang berukuran sedang berwarna hijau. Anhar membacanya dengan indah, meski wajah lelah dan frustrasi masih terpampang. Namun, dirinya sudah bisa sedikit menguasai emosinya, napasnya sudah berangsur normal, tidak naik-turun seperti tadi.

"Gelisah sekali ya Allah. Berikan aku pilihaan terbaik-Mu, ya Rabb." Anhar menyudahi mengajinya, dan menutupnya lalu meletakkannya di atas meja seperti semula.

Old PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang