"Aku selalu memiliki alasan untuk selalu mencintaimu, sahabatku."
*Old Promise*
Atika sudah ada di kamarnya malam ini, merenggangkan otot-otot tangan yang sedikit lelah. Tangannya mengambil buku di atas nakas di samping kanannya, melanjutkan lagi bacaan yang sempat terpotong karena pikirannya yang terfokus pada masalahnya dengan sahabat itu, Muzayah.
Lembar demi lembar dibuka oleh Atika, meresapi setiap kata untuk nutrisi hati dan mindanya. Sampai di halaman tengah ada satu kalimat yang menyentilnya, membuat langsung mengingat Muzayah.
"Berilah ribuan kesempatan bagi musuhmu untuk bisa menjadi temanmu, namun jangan berikan satu kesempatan pun pada temanmu untuk menjadi musuhmu."
Alis Atika mengerut, mulutnya merengut, menunjukkan wajah sendunya. Sedari awal Atika mengenal Muzayah, dirinya sudah nyaman dengan pembawaan Muzayah yang seru dan supel. Meski dulu Muzayah tidak berhijab dan sedikit ngegas jika bicara, hal itu tidak membuat Atika menjauh dan membicarakannya di belakang seperti yang lain.
Atika mengambil ponselnya dan membuka kontak Muzayah, Atika baru ingat bahwa dirinya ingin bertanya tentang Muzayah yang pergi dengan lelaki itu benar atau tidak.
"Nanya, enggak ... nanya, enggak." Atika mengetik dam menghapus lagi pesannya untuk Muzayah. Mengingat Muzayah yang masih marah, membuat Atika takut jika Muzayah mengabaikannya.
Setelah menghela napasnya, Atika mengetik salam terlebih dahulu. Pesannya masih bertanda ceklis dua abu-abu, Atika menunggu sambil melanjutkan membaca.
Layar ponsel Atika menyala, pesan masuk dan Atika langsung membukanya. Bukan dari Muzayah ternyata, tetapi dari Ummi Indah, umminya Anhar.
Ummi Indah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Atika, sudah tidur?Atika
Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, belum Ummi. Ada apa, Ummi? Ada yang bisa Atika bantu?Ummi Indah
Alhamdulillah belum tidur. Ummi mau tanya, kapan Ummi bisa ke rumah? Ayah, Bunda Atika kapan biasanya ada di rumah?Atika
Besok toko tutup, Ummi, jadi Ayah Buda ada di rumah. Memang ada apa?Ummi Indah
Besok, insyaaAllah, Ummi dan paman Anhar dan Anhar juga, akan silaturrahmi ke rumahmu.Atika langsung menegakkan duduknya, membaca ulang pesan dari Ummi Indah yang membuat Atika melongo. "Ya, Allah Muzayah maafin aku," kata Atika pelan. Matanya sudah mengembun. "Muza, aku rindu kamu. Hiks!"
Atika batal menghubungi Muzayah dan tidak membalas pesan terakhir Ummi Indah. Atika menjauhkan ponselnya dan terisak pelan. Atika mengusap air mata yang turun dengan deras, bibirnya bergetar mencoba menahan isak tangisnya. Mulutnya serasa menegangkan karena beberapa menit menangis dan matanya pun sudah sembab.
****
Raka berjalan tergesa-gesa di kantor milik papanya. Mengangguk singkat saat beberapa karyawan menyapa. Bahkan, Raka berlari kecil. Ada masalah dan Raka ingin membicarakannya dengan sang Papa.Harusnya pagi tadi dia bicarakan masalahnya ini, tetapi karena sehabis subuhan Raka tidur lagi, dirinya jadi melewatkan kesempatan bicara dengan Mahendrama. Pintu lift terbuka, Raka langsung jalan cepat karena ini jam kerja, jadi karyawan masih sibuk ruangannya masing-masing.
Raka membuka pintu ruangan Mahendrama, setelah sebelumnya mengetuk pintu dan Mahendrama mengizinkannya.
Raka menghempaskan bokongnya di sofa dengan keras, melepas tas ransel hitam dan jaket hitam miliknya, lalu menaruhnya di sandara sofa.
"Pa, Om Eko ngajuin syarat untuk Raka supaya bisa menikahi Muzayah. Menurut Papa gimana?" tanya Raka tanpa basa-basi.
Mahendrama yang duduk di balik meja kerjanya itu mendongak, menghentikan kegiatannya yang sedang memeriksa laporan dan menatap putranya. Mahendrama menghampiri Raka dan duduk di single seat, lalu membenarkan jas kerjanya.
"Sudah kamu pikirkan tawaran Papa?" tanya Mahendrama.
"Raka mau, Pa, tapi bagaimana Muzayah?" jawab Raka. "Masa, nanti Raka harus merindu," ujar Raka dengan wajah yang dibuat sedih.
Mahendrama mencebik, "Seperti sudah yakin, dia akan menerima saja."
Raka melebarkan matanya, menatap mahendrama dan menjawab, "Yee, Pa, ini juga, 'kan sedang usaha. Makanya, Raka mau tanya Papa baiknya gimana."
Mahendrama menatap Raka, dan Raka menggigit bibir dalamnya. Mereka membicarakan rencana baiknya untuk masalah ini. Segala pendapat mereka ajukan, ada perdebatan, ada penolakan, dan ada beberapa pilihan.
Raka keluar dan berpamitan pada Mahendrama. Berterima kasih untuk diskusinya siang ini. Tadinya Mahendrama mengajak Raka untuk makan siang, tetapi sepertinya Raka sedang terburu-buru akan sesuatu.
Jadi, Mahendrama hanya mengantarnya sampai lobi kantor. Raka pergi dengan motor gedenya, motor yang dia beli dari usahanya membantu Mahendrama saat awal SMA dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Old Promise
RomanceBlurb : Katanya, apa yang kita ucapkan ketika masa kecil dulu adalah takdir yang akan kita jalani. Jika benar, berarti janji yang diucapkan Muzayah pada Raka akan menjadi nyata. Sebuah janji untuk menikah ketika mereka sudah dewasa. Namun, sepertiny...