Bab 19

0 0 0
                                    

Akhir pekan ini Muzayah, Raka, Yasa, Zibran, Revania akan pergi mengunjungi Kakak Muzayah yang pertama, dan bagusnya lagi rumahnya dekat dengan rumah Muzayah dan Raka saat mereka kecil dulu.

Angga, nama Kakak Muzayah yang pertama. Hanya dia yang masih satu daerah dengan keluarga Muzayah. Jadi, kadang Muzayah yang main ke rumah Angga. Atau kadang Angga yang pulang ke rumah dengan istrinya Lisna.

"Nanti gimana, ya, perut Mbak Lisna. Sudah berapa bulan sekarang, Za?" Yasa yang duduk di samping Raka di depan itu menengok ke arah Muzayah yang duduk di tengah. Memisahkan Revania dan Zibran.

"Emmm, kira-kira tujuh bulan, deh, Bang. Muza lupa," jawab Muzayah.

"Sebentar lagi dong." Yasa menghadap lagi ke depan, lalu melirik Raka. "Raka, sesuai rencana, kan?" tanya Yasa.

Raka menengok ke Yasa dan mengangguk senyum. Muzayah menatap curiga, melirik kanan dan kirinya. Zibran dan Revania sibuk dengan ponselnya masing-masing-masing, tidak ketinggalan earphone yang bertengger di telinga mereka.

Mereka hanya akan di sana sampai hari ahad sore karena Muzayah dan Zibran ada ujian di hari Senin. Muzayah mencak-mencak saat di beritahu temannya lewat pesan, bahwa mereka akan kuis hari Senin. Muka sedih dan ngenes juga di tampilkan saat Yasa mengajaknya ke rumah Angga. "Abang, mah! Muza, Senin ada kuis. Huaaa." Begitu kata Muzayah pagi tadi sebelum berangkat.

****
Angga menyambut mereka di depan, memeluk adik  manjanya, Muzayah. Lalu menatap Raka dan Revania yang tampak asing. Namun, Zibran langsung mengenalkan mereka. "Ini Raka, Bang, dan ini adiknya Revania," ucap Zibran.

Angga terkejut dan langsung merangkul Raka. "Wah ... wah sudah besar, Raka, ke mana saja kamu?" tanya Angga.

Mereka sudah masuk dan duduk lesehan di tikar yang sudah Lisna gelar, lengkap dengan makanan yang tersaji. Sebentar lagi waktu zuhur, dan makan siang. Jangan tanya Muzayah dan Yasa, mereka sudah tidur di kamar yang khusus disediakan untuk mereka saat menginap.

"Mbak ini enak," kata Muzayah. Didekapannya sudah ada satu toples kue kering yang sengaja Lisna buat untuk Muzayah.

Muzayah duduk di samping Lisna dan Revania. Berhadapan dengan Zibran yang disamping Raka. "Ajarin buat, Mbak. Supaya gampang kalau Muza ngidam ini," ujar Muzayah dengan mata berbinar.

Raka yang mendengar itu spontan terbatuk sampai air minum di mulutnya keluar dan menyembur sedikit. Zibran menepuk-nepuk punggung Raka yang masih terbatuk. Mata Raka langsung memicing ke arah Muzayah, menatap aneh, tetapi juga kesal.

Lisna yang mengerti langsung menepuk paha Muzayah. "Kamu ini bicaranya ada-ada saja, Muza," kata Lisna terkekeh.

Muzayah hanya mencebik dan Lisna menawari Raka dan Revania untuk menyicipinya. Meski Revania terlihat segan, tetapi Revania tetap menyomot dan memakannya. "Hmm, enak Mbak Lisna. Boleh deh, aku juga mau ikut belajar msak sama Kak Muza." Muzayah dan Revania menatap Lisna memohon. Lisna tergelak melihat mereka bergantian.

Azan zuhur berkumandang, menghentikan bincang-bincang mereka. Yang lelaki bergegas ke masjid setelah bersih-bersih badan dari debu, lalu yang perempuan tetap di rumah dan menyiapkan makan siang untuk mereka.

****
Raka dan Angga sedang duduk di teras rumah sambil minum kopi. Komplek perumahan Angga selalu ramai jika sudah sore selepas asar. Banyak yang berjualan karena dekat taman.

"Abang sama Raka kayaknya akrab sekali. Seperti sudah kenal lama," ucap Muzayah sambil menggigit daging ayam kecap kesukaannya.

Angga mengerutkan alisnya, menatap Muzayah kaget dan bingung. "Kamu lupa, Muza? Kalian, kan teman kecil," jawab Angga. "Dulu yang suka kamu bilang suami Muzayah."

Muzayah tersedak dan Lisna yang di sampingnya langsung memberinya minum. "Perih," adu Muzayah sambil memegang hidungnya. Sepertinya kuah kecapnya naik ke hidung dan membuatnya perih.

"Masa, Muza, bilang begitu, Bang," kata Muzayah tidak percaya.

Orang yang menjadi bahan obrolan itu tetap tenang makan dan matanya pun khusyuk melihat nasi di piringnya.

"Iya memang. Tanya saja Raka." Yasa mengenggol lengan kiri Raka, dan Raka hanya tersenyum. Lalu mengangguk kecil.

Muzayah terkejut sampai mulutnya melebar dengan alis mengerut dan hidung kembang kempis. "Sepertinya kamu lupa satu perjanjian kita, Muzayah," ujar Raka menatap  Muzayah yang terbengong.

Old PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang