Bab 15

0 0 0
                                    

Atika sedang membantu bundanya di toko kue. Malam ini toko ramai pembeli, meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sepertinya hari ini toko akan tutup sedikit lebih lama.

Suara pintu terbuka lagi, lelaki berkaus hitam dibalut dengan jaket hitam juga, memasuki toko dan langsung menuju rak tempat kue bolu. Memilih sebentar dan mengambil yang berwarna hijau dan satu kotak kue yang lain.

Atika masih memperhatikan lelaki itu sampai dia sadar kalau lelaki itu berjalan ke arahnya. Atika langsung bersikap normal kembali, seolah-oleh memperhatikan pengunjung yang lain.

"Berapa?" tanya lelaki berjaket itu, mengeluarkan dompetnya.

"Jadi Rp 150.000, Kak," jawab Atika. Tangannya dengan gesit memasukkan dua kotak kue ke dalam kantong plastik merah.

Lelaki itu menjulurkan uangnya, dan langsung berbalik pergi. Atika melihatnya masuk ke dalam mobil silver. Atika mencoba memfokuskan matanya. Karena jarak mobil dan kasir tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter dan tersekat tembok kaca.

"Loh, itukan Muzayah. Sama siapa, ya, dia?" gumam Atika.

Atika teralihkan oleh ibu-ibu yang hendak membayar kuenya. Atika kembali melakukan tugasnya, melupakan sejenak tentang Muzayah. Atika tersenyum ramah saat ibu tadi pergi.

****
Muzayah lebih memilih menunggu di mobil saat Raka bilang ingin mampir ke toko kue. Mau beli untuk Ibunya, katanya. Padahal Muzayah sudah menolaknya, tetapi memang Raka yang bebal, jadi Muzayah hanya menunggu di mobil. Membiarkan Raka memilih sendiri kue yang ingin dibelinya.

Hari ini, Muzayah sedikit melupakan patah hatinya. Muzayah berterima kasih pada Raka yang membawanya ke pasar malam, dan menaiki beberapa wahana yang sedari dulu ingin dia naiki.

Raka kembali dengan kantung merah berisi kue. Melajukan mobilnya ke arah jalan raya dan pulang mengantar Muzayah dahulu.

Tangan Muzayah membuka kantung kue dan melihat kue yang dibeli Raka. Wajah Muzayah mengejek dan dirinya mencebik, "Kamu beli ini untuk sogokan ibu, 'kan? Karena sudah bawa anak gadisnya pergi sampai malam? Padahal tadi izinnya pulang jam delapan. Sekarang, sudah lewat satu jam," kata Muzayah melihat jam tangannya.

Raka merasa tertangkap basah karena niatnya sudah Muzayah ketahui. Raka hanya menampilkan senyum lebarnya dan Muzayah juga ikut tersenyum melihat ini. "Hahaha, peka,  ya, Za. Bagus deh, nanti bantuin bicara sama ibu juga, okey!" ujar Raka.

Muzayah mengerling menjawab Raka. Panggilan Raka dan Muzayah sudah berubah, sejak mereka menaiki wahana di pasar malam tadi. Muzayah yang memulainya lebih dulu. Bahkan, Raka sempat membeku karena panggilan Muzayah yang tidak lagi ketus.

Raka dan Muzayah mengobrol santai, dengan Raka yang melontarkan sedikit kata-kata konyol yang membuat Muzayah tertawa. Tawa yang selalu menjadi perhatian Raka sedari tadi, tawa yang renyah di telinga Raka.

"Tawamu bagus, Za. Aku suka." Raka melirik Muzayah dan tersenyum.

Muzayah menghentikan tawanya dan menampilkan wajah merengut tidak percaya. Muzayah sedikit salah tingkah, dan Muzayah mengalihkannya dengan memeriksa hijabnya.

Raka yang tahu Muzayah salah tingkah, tertawa kencang lalu mengejek Muzayah. "Ya ampun! calon istri kalau salting lucu, ya, manis. Gemesh, gemesh gitu." Raka menirukan gerakan alay yang membuat Muzayah mendelik geli ke arahnya. Namun, selepas itu Muzayah tertawa dan Raka pun ikut tertawa sebab Muzayah.

****
Mereka sudah sampai di rumah Muzayah. Raka mengusap pergelangan tangannya, gugup. Belaan napas dari tadi terdengar saat mereka menunggu pintu terbuka.

Pintu terbuka dan Yasa yang menghampiri mereka. Raka bernapas lega, tetapi hanya sebentar karena Yasa menatapnya marah. "Lo bawa kemana adek gue, Ka?" sungut Yasa.

Raka menggaruk jidatnya. "Itu, Bang, gue ajak jalan-jalan. Sekalian PDKT," jawab Raka, nyengir.

"Belum resmi, belum sah, belum mahram inget! Jangan sembarang bawa anak orang. Perempuan lagi." Agaknya Yasa betulan kesal malam ini pada Raka.

"Bang, capek, masuk dulu, ya kita," ucap Muzayah mendorong Yasa masuk.

"Ya sana masuk. Ayah sudah nunggu di ruang keluarga. Kamu juga masuk, Raka."

Muzayah melihat raut muka Raka gelisah. Jakunnya naik turun menelan ludah.

Mereka masuk dan berhenti ketika Eko menatap sengit ke arah Raka dan Muzayah. "Baru pulang, kalian? Sudah senang perginya malam ini?" kata Eko.

Muzayah terkekeh, "Maaf, Ayah, tadi kita pergi ke–."

"Duduk!" Eko menyela Muzayah sebelum selesai. Muzayah ikut takut malam ini. Eko dan yang lain sepertinya tidak main-main marahnya.

Old PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang