Bab 8

1 1 0
                                    

Raka dan Anhar sedang berada di gudang yayasan. Membantu mengambil beberapa bangku dan meja, yang digunakan untuk mengganti meja dan bangku yang rusak di setiap kelas.

Raka sudah melepas jaket hitamnya, dan menyimpannya di cantolan paku dekat pintu gudang, menyisakan kaos abu-abu yang sedikit berkeringat di bagian kerah.

Anhar sudah menggulung lengan kemeja merah marunnya sampai ke siku. Mereka bolak-balik membawa dan mengganti beberapa meja rusak di kelas-kelas murid lelaki.

"Lo, suruh gue ke sini cuma buat jadi kuli, Har?" tanya Raka. Napasnya tersengal karena lelah turun dari tangga sambil membawa meja yang rusak.

"Iya, sekali-kali nongkrong di pengajian, jangan di kafe terus," jawab Anhar setelah menaruh meja yang digotong mereka berdua di depan pintu gudang.

Angkut mengangkut sudah selesai. sekarang, Raka  sedang menyapu lantai gudang, sedangkan Anhar menyusun barang-barang yang berserak di lantai gudang. Dengan kasar, Raka menyapu debu yang mengumpul itu ke luar. Namun, karena sapuannya cukup kencang, debu-debu itu pun berterbangan.

Raka melebarkan matanya kaget saat suara batuk dari luar terdengar. "Aduh! Kena orang enggak itu tadi?" gumam Raka memukulkan gagang sapu ke jidatnya.

"Kenapa, Kak?" Anhar mengerutkan alisnya melihat Raka yang memukul jidatnya dengan gagang sapu.

Anhar melongok ke depan pintu karena Raka tidak menjawab pertanyaannya. "Ooh, Muzayah, kenapa kamu?" Anhar menegakkan badannya di depan pintu gudang.

Raka langsung mendorong Anhar saat nama Muzayah disebut. Muzayah sedang mengibaskan mulut dan mukanya dengan tangan, mulutnya juga sedikit meludah kecil.

Muzayah melihat sapu di tangan Raka. Wajah kesal Muzayah terpampang dengan geraman pelan. "Kampret! Jadi, lo yang nyapu enggak bener? Hah?" kata Muzayah bersungut-sungut dengan tangan yang masih mengibas mulutnya.

"Kenapa mulut lo? Kesemutan?" tanya Raka. Raka berusaha setenang mungkin dengan mata yang memperhatikan sekitarnya.

Muzayah geram dan hampir saja mencakar Raka, jika Anhar tidak melerainya. "Muzayah, maaf, ya tadi saya dan Raka sedang membereskan gudang. Maaf juga tadi saya tidak ikut ke kantor yayasannya. Bagaimana, lancar?" terang Anhar.

"Lancar, Har, bawaan yang tadi juga sudah habis dibagikan. Proposal juga sudah ditanda tangani." Bukan Muzayah yang menjawab, tetapi Yusman yang tiba-tiba di samping Muzayah.

"Ya sudah kalo begitu, kita bisa pulang sekarang. Atau mau makan siang dulu mungkin?" Anhar melirik jam di pergelangan tangannya. "Sepertinya bukan makan siang, tapi sore. Sudah jam setengah tiga. Ayo pamitan dulu, nanti keburu asar."

****
Anhar sedang duduk di bangku panjang depan teras, sambil menyeruput kopi hitam yang umminya buatkan. Tangannya sibuk membuka lembaran buku yang akan dicatatnya. Setelah dari yayasan tadi, Anhar mendapat tugas dari kelasnya.

"Har ...." Ummi Indah menghampiri Anhar.

"Eh, Ummi." Anhar langsung membereskan buku dan kertas yang berserakan supaya Ummi Indah bisa duduk di sampingnya.

"Har, bagaimana keputusan kamu? Sudah dipikirkan?" Ummi indah menatap Anhar lembut.

Anhar diam dan menunduk, tidak menjawab, tidak juga mengabaikan pertanyaan umminya. Anhar sebenarnya bingung, hatinya sudah sedikit masuk nama Muzayah. Namun, permintaan umminya juga sulit untuk di tolak.

Ummi Indah mengelus bahu Anhar. "Jika sudah siap, nanti Ummi mintakan pamanmu untuk menyampaikan itikad baik kita."

"Ummi, boleh Anhar istikharah lagi? Untuk memastikan bahwa hati Anhar tidak sedang tertarik dengan perempuan yang lain." Anhar menatap umminya, dan Ummi Indah pun mengangguk. Mengiyakan permintaan Anhar.

Old PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang