Muzayah memasukkan bungkusan terakhir ke dalam tote bag. "Udah masuk semua ... dah, waktunya on the way...."
Muzayah benar-benar membawakan buah tangan untuk Atika dan teman-temannya yang lain. Muzayah harus berangkat pagi karena ada kuis di kelas, Muzayah masih berangkat bersama Zibran, dan Chelina masih menginap sampai dua hari ke depan. Chelina akan ditemani Yasa dan juga Lastri, ibu Muzayah.
Muzayah berjalan ke luar ingin menghampiri Zibran di teras. Namun, saat Muzayah membuka pintu, mobil silver berhenti di depan pagar rumahnya. Sesecowok keluar dari mobil sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Dengan santai mendekati gerbang rumah Muzayah.
"Muza, bukain dong, gerbang!" teriak cowok itu.
Muzayah masih menatap bingung, dan mengedikkan kepalanya dengan alis mengerut. Namun, masih tetap bergeming sampai Zibran yang baru keluar dari garasi membukakan pagarnya.
"Kak Raka ngapain?" Yap! Raka yang sudah datang pagi-pagi sekali.
Raka menghampiri Muzayah yang bergeming. "Kamu," jawab Raka.
Muzayah melongo mendengar jawaban Raka. Sambil menunjuk dadanya Muzayah berujar, "Aku? Aku kenapa?"
Raka menggunakan jaket hitam dan jeans hitam dengan kaos abu-abu. Khas sekali style Raka. "Mau jemput calon istri," jawab Raka.
"His! Bisa enggak itu panggilan diganti, aneh dengernya." Muzayah menampilkan wajah seolah jijik. Namun, bagi Raka itu menggemaskan karena menurutnya Muzayah mau, tapi malu.
Raka hanya tertawa dan kembali mengajak Muzayah. "Ayo, cepet naik!" ajak Raka.
Muzayah menggeleng. "Aku sama Zibran, Kak," ujar Muzayah.
Raka menatap Zibran yang sudah di atas motornya, menunggu Muzayah selesai dengan Raka. "Ka, kakak kamu, sama aku, ya," ujar Raka sedikit berteriak.
Muzayah gelagapan. "Heh, heh, enggak mau, ya, Kak!"
Raka menyatukan jempol dam telunjuknya, membentuk simbol "Oke", dan Zibran langsung menjalankan motornya setelah mengucapkan salam.
Muzayah berlari menghampiri Zibran, tetapi sayang Zibran sudah keluar dari gerbang. "Heeeh! Zibran, aku belum naik," teriak Muzayah.
Muzayah meringis dan melirik Raka yang tersenyum sambil menaik turunkan alisnya. Mau tidak mau Muzayah berjalan ke arah mobil Raka dan berdiri di depan pintunya.
"Kak, buruan! Nanti Muza telat," ujar Muzayah.
Sudut bibir Raka berkedut, sambil berjalan matanya tetap menatap Muzayah yang kesal. Membukakan pintu untuk Muzayah dan Raka berlari kecil ke bagian pengemudi.
Menjalankan mobilnya membelah jalanan pagi yang ramai, tetapi tidak macet. Menurunkan kaca mobil sedikit dan menikmati angin sejuk yang menerpa wajah.
"Muza ...," panggil Raka. Muzayah yang sedari tadi melihat ke luar, langsung menengok ke arah Raka yang pandangannya masih fokus ke depan.
"Semoga, sehabis ini kamu mau mengenal Kakak lebih baik lagi. Aku tahu, kamu suka dengan Anhar dan sebenarnya dia temanku juga," ungkap Raka yang membuat Muzayah kaget.
"Tapi tenang, kami sudah bersikap adil, kok. Kami akan bersaing sehat. Semoga setelah ini hati kamu bisa menentukan," ujar Raka yang melirik Muzayah sekilas.
Muzayah pun belum tentu yakin. "Apa mungkin, aku bisa berpaling nanti?" Muzayah membatin.
"Aku pasti akan bisa membuatmu berpaling, Muza," ucap Raka seolah bisa membaca pikiran Muzayah.
Raka tidak lagi membuka obrolan sampai di depan kampus Muzayah. Raka membiarkan Muzayah untuk mencerna terlebih dahulu situasinya kini. Sebelum turun, Muzayah menghadap ke Raka dan berterima kasih, Raka hanya mengangguk dan tersenyum.
****
Muzayah masih berjalan sampai di depan bangku taman yang tidak jauh dari kelasnya. Masih memikirkan pernyataan Raka dan terkejut juga mengetahui Anhar dan Raka adalah teman dekat. Mereka bersaing untuk Muzayah, sedangkan Anhar saja sudah dijodohkan dengan Atika. Muzayah tidak munafik, Muzayah bahagia saat tahu Anhar memperjuangkannya.Namun, satu sisi ada janji dan satunya lagi ada sahabatnya Atika. Muzayah bergeming sampai dirinya sadar, tas oleh-oleh yang dibawanya masih ada di mobil Raka.
"Aduh! Sibuk mikirin itu, jadi lupa sama bawaan, kan." Muzayah menepuk jidatnya.
Muzayah merogoh ponselnya dan mengetik pesan untuk Raka. Meminta tolong untuk diantarkan siang nanti karena itu untuk temannya. Raka belum membacanya. "Aah, mungkinsih dijalan." Muzayah menerka.
Meninggalkan taman dan berjalan ke kelas, mata Muzayah bertemu pandang sebentar dengan Anhar. Berdegup lagi dadanya, sedikit menggoyahkan pertahanannya yang sedari kemarin sudah Muzayah bangun, dan mencoba menghempaskan nama Anhar dari pikirannya.
Muzayah hanya tersenyum kepada Anhar yang menatap Muzayah intens. Muzayah mengelus dadanya. "Astagfirullah jantung, jangan deg-degan, dong, masih pagi!" gerutu Muzayah.
"Muzayah."
Muzaya membeku, Anhar memanggilnya. Menelan ludah, menekan rasa gugup dan berbalik. Anhar tersenyum, padahal tadi Anahr hanya menatap Muzayah tanpa membalas senyum Muzayah.
"Gimana, kabarmu?"
Runtuh, runtuh sudah pertahanan muzayah untuk tidak euforia dan menjaga sikapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Old Promise
RomanceBlurb : Katanya, apa yang kita ucapkan ketika masa kecil dulu adalah takdir yang akan kita jalani. Jika benar, berarti janji yang diucapkan Muzayah pada Raka akan menjadi nyata. Sebuah janji untuk menikah ketika mereka sudah dewasa. Namun, sepertiny...