Dengan salah tingkah Muzayah menjawab, "Hah? Apa, Kak? O-ooh, Ba-baik, Kak ... baik, aku baik.
Anhar menahan senyumnya, menangkap sikap Muzayah yang gugup. Anhar Perlahan mendekat, dan Muzayah masih bergeming, kakinya seperti tertahan bobot yang menyulitkannya untuk bergerak.
Masih dengan senyum yang dibiarkan melebar, Anhar berhenti dengan jarak tiga langkah dari Muzayah. Anhar menyodorkan tote bag kecil, dari bentuk yang terceplak, seperti makanan. Namun, bukan hanya makanan saja, seperti ada yang lain.
"Nih, diterima, ya, Muza. Semoga suka. Saya permisi dulu. Assalamualaikum." Anhar benar-benar langsung berbalik arah dan pergi tanpa menoleh pada Muzayah.
Muzayah mengintip isinya, ternyata makanan dan satu buku. Muzayah berlalu, meneruskan tujuannya, yaitu kelas.
****
"Muzaaa." Atika menyambut Muzayah dengan lambaian tangan.Muzayah menghempaskan diri di samping Atika. Mengeluarkan buku dan menyusunnya di atas meja. Kebiasaannya sejak dulu, selalu mengeluarkan semua bawaannya dan menyusunnya di meja.
Atika menyodorkan tangannya. "Mana? Aku laper, nih, kebetulan," tanya Atika dengan senyum lebar.
Muzayah terkekeh dan menggaruk pelipisnya yang gatal. "Maaf, ya, ketinggalan, tapi tenang! Nanti siang bakal dianter, kok," ucap Muzayah.
Atika mengembuskan napasnya dan bibirnya mengerucut. Mengangguk-angguk kepala, Muzayah yang melihat temannya mendadak lesu itu hanya bisa terkekeh.
Di tempat lain Raka sedang mem-briefing teman-teman komunitasnya. Hari ini Raka sudah ada jadwal untuk pergi ke pameran motor dengan temannya. Namun, Raka menyempatkan pagi tadi untuk mnejemput Muzayah, lalu pulang lagi berganti kendaraan.
Motor besar hitam itu sudah keluar dari garasi. Dari body motornya saja sudah mengesankan kegarangannya. Dengan warna hitam dan beberapa tempelan stiker komunitasnya.
Sudah hampir jam sepuluh, acaranya akan dimulai jam dua siang. Mereka yang menemouh perjalanan cukup jauh, harus berangkat lebih awal.
Ponsel Raka sejak tadi mati, tidak dia nyalakan karena fokus ke acara hari ini. Raka baru menyalakan ponselnya ketika yang lain sudah jalan duluan, hanya tinggal Raka dan beberapa temannya yang memang sengaja mengawasi dari belakang.
"Shit!" Raka mengumpat ketika membaca satu pesan yang masuk ke ponselnya.
"Candra, lo sama yang lain berangkat dulua. Ntar gue susul, gue ada sedikit urusan." Raka langsung menaiki motornya dan melajukannya, membelah jalanan dengan sedikit ngebut.
"Kok, bisa, gue enggak tau ada makanan Muzayah di mobil. Ditaruh mana sama gadis ini," Raka mendumel sepanjang perjalanan.
Pasalnya mobil itu akan digunakan Rismaya, mama Raka untuk pergi, dan makanan Muzayah masih ada di dalam. Sialnya lagi, Muzayah meminta Raka mengantarkannya siang ini.
Raka memasuki halaman rumah, mobilnya sudah tidak ada. Pintu rumah juga terkunci. Raka melirik jam tangannya, dia akan tertinggal jika begini.
"Ma, di mana?" Raka menelpon Rismaya. Semoga masih terkejar dengan motornya.
"Sudah di jalan. Kenapa, Bang?" jawab Rismaya di seberang.
"Ma, ada tas kecil enggak di bangku depan?" Raka mulai tidak sabar.
"Ada, nih, jatuh tadi di bawah bangku," ucap Rismaya.
Raka menyugar rambutnya. "Mama berhenti dulu, Raka mau ambil tas itu. Itu punya Muzayah," ujar Raka.
"Punya Muzayah? Kok bisa, Bang? Pagi tadi kamu bukannya izin ke tongkrongan? Kok, ada barang Muzayah?" tanya Rismaya beruntun.
"Nanti ... nanti, Raka ceritain. Mama berhenti dulu, Raka samperin sekarang."
Raka melajukan motornya, membelah jalanan dengan garang. Muzayah, gadis itu yang bisa membuatnya seperti ini. Yang bisa membuat Raka berjuang, layaknya lelaki yang mencoba memenangkan hati wanitanya. Muzayah, gadis yang mampu membuat rotasi hidupnya berpindah dari dia yang pergi, dan memilih yang lebih.
****
Rismaya menunggu anaknya di samping jalan. Memegang tas kecil yang katanya milik Muzayah. Rismaya senang karena ini bukti bahwa Muzayah mungki sudah luluh pada Raka.Bibirnya melengkung, mengingat perjuangan anaknya pada Muzayah. Berkali-kali Raka ingin berhenti karena berpikir Muzayah akan jijik melihat Raka yang terlalu ngoyo pada Muzayah.
"Ma." Raka dengan tergesa turun.
Rismaya menjulurkan tas kecil itu ke Raka. Tersenyum menggoda dan mengelus punggung tangan Raka.
"Nanti, ada banyak yang mau Mama tanyakan, dan kamu ada banyak hutang penjelasan ke Mama. Waktu Mama mepet, nanti saja, ya, Bang."
"Hati-hati, Ma"
Rismaya mengangguk dan melajukan lagi mobilnya. Raka langsung berbalik dan mengambil jalan yang langsung ke kampus Muzayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Old Promise
RomanceBlurb : Katanya, apa yang kita ucapkan ketika masa kecil dulu adalah takdir yang akan kita jalani. Jika benar, berarti janji yang diucapkan Muzayah pada Raka akan menjadi nyata. Sebuah janji untuk menikah ketika mereka sudah dewasa. Namun, sepertiny...