Bab 22

0 0 0
                                    

Revania membaringkan badannya membelakangi Muzayah. Sebisa mungkin Revania menyembunyikan tetesan air matanya yang sedikit mengalir. Mencoba mengalihkan perasaan nyeri di dadanya dengan beristigfar pelan.

Zibran sudah berbaring di kasur, senyumnya masih belum luntur sedari tadi. Zibran jelas bahagia setelah sekian tahun tidak berjumpa dengan sahabatnya itu.

Bu, Chelin di mana?

Cinta Pertama
Di kamarnya lah, Zib, kenapa?

Engga, Bu, Zibran nanya aja.

Cinta Pertama
Gimana di sana, Zib? Mbak, dan Abangmu sehat? Cucu ibu sehat, kan?

Sehat, Bu, alhamdulillah.
Menurut Ibu, besok Zibran bawa oleh-oleh apa, ya?

Cinta Pertama
Ibu mau kue balok ya, Zib. Kalau ayah kamu biasanya manggis. Di sana bagus-bagus, manis buah manggisnya.

Kalau Chelina, Zibran bawakan apa, ya, Bu?

Cinta Pertama
Hmmm ....

Bu, Zibran tuh tanya Ibu karena Zibran bingung.

Cinta Pertama
Apa saja, Zib. Besok pulang kapan?

Zibran bawakan manisan mangga aja deh, Bu. Besok kayaknya siang, Bu.

Cinta Pertama
Yasudah, tidur sana! Sudah malam, sudah dulu, Ibu ngantuk. Assalamualaikum.

Iya, Ibundaku, sweet dreame. Love!

Zibran menggulirkan layar ponselnya yang menunjukkan foto anak lelaki mencium pipi anak perempuan yang sedang menangis. Ponselnya masih menyala menampilkan ruang pesannya dengan Chelina. Masih dengan ceklis biru dan belum ada balasan.

"Chel, kamu selalu begitu. Selalu buat aku kaget dengan segala tingkah kamu, Chel." Zibran berbicara di depan ponselnya. "Aku kangen kamu, Chelina. Aku cinta kamu, aku enggak bakal kecolongan lagi kali ini, Chel. Aku bakal ungkapin perasaanku kali ini, Chelina," tekad Zibran.

****
Hari ini Revania, Raka, Muzayah, Zibran, dan Yasa akan pulang. Namun, sebelum pulang mereka keliling lebih dulu untuk membeli pesanan Lastri dan oleh-oleh untuk orangtua Revania.

Muzayah menagih janji Raka yang katanya akan membawanya ke suatu tempat di mana tempat itu akan mengingatkan Muzayah pada satu janjinya yang terlupakan.

Ya, mereka berdua menggunakan mobil mengunjungi rumah lama mereka pagi-pagi sekali tadi. Jalanan yang lelang dan udara sejuk membuat Muzayah menurunkan kaca mobilnya. Menghirup udara segar dan menikmati pemandangan matahari yang mulai naik.

Perjalanan mereka diselimuti hening. Tidak ada yang bicara di antara mereka, hanya Raka yang sesekali melirik ke arah Muzayah yang menikamati udara sejuk pagi. Senyum tipisnya melengkung saat Muzayah mengabadikan sinar mentari yang terang dengan ponselnya

Sudah dua puluh lima menit mereka lewati di jalanan, kini mereka sudah sampai. Banyak yang berubah, tetapi satu yang tidak berubah. Bukit kecil dan pohon rindang di taman itu masih sama. Hanya sedikit saja yang berbeda, seperti bangku-bangku taman dan jalan-jalan kecil yang digunakan untuk lari pagi.

Raka mengajak Muzayah turun dan memintanya untuk mengikuti Raka. Berjalan sedikit masuk ke dalam komplek dan naik ke atas bukit yang bisa melihat pohon rindang di bawahnya.

"Aduh, capek banget naiknya," keluh Muzayah. "Masih harus naik lagi apa?"

Raka menengok ke belakang, dan berhenti mensejajarkan langkahnya dengan Muzayah. "Bentar lagi, naik segini aja capek," kata Raka meremehkan Muzayah.

Muzayah kesal sekali, rasanya ingin memukul Raka karena sudah meremehkannya. "Yaiyalah, coba satu bukit ini udah tiga bukit! Makin naik lagi. Capek!" keluh Muzayah.

"Awas aja, lo, pagi-pagi pingsan di sini. Gue geret langsung," ucap Raka menahan tawanya.

Muzayah hanya mendelik dan melanjutkan lagi naik. Namun, saat sudah dia atas bukit yang lebih tinggi dari dua bukit sebelumnya, Muzayah senang karena dari atas Muzayah dapat melihat keramaian di bawah.

"Kamu tahu, Za? Dulu ada anak perempuan berumur 7 tahun di bawah pohon jambu air itu." Anhar menunjuk pohon di ujung taman itu, "Melamarku yang berumur 12 tahun untuk menikah dengannya," ujar Raka menghadapkan wajahnya ke Muzayah.

Muzayah mengernyit karena dia mengingat anak perempuan itu apakah dirinya. Raka yang melihat ekspresi wajah Muzayah tertawa kencang sambil memegangi perutnya yang sedikit kram karena manahan tawa sebelumnya.

"Apa anak perempuan itu aku?" tanya Muzayah menghadap Raka.

Raka mengangguk. "Iya, dulu sehari sebelum aku pindah ke luar kota. Saat itu kamu bilang, 'aku bakal tunggui, Kak Laka nanti waktu aku sudah besar dan aku bakal nikah sama Kak Laka.' Aku kaget dulu anak sekecil kamu bisa membicarakan tentang pernikahan dan membuat janji seperti itu," ujr Raka menatap sekilas Muzayah.

Kilasan tentang masa kecil yang sering muncul setiap malam itu mulai menerang. Muzayah tidak melupakan kejadiannya, hanya saja Muzayah kira itu hanya mimpi atau semacam deja vu. Karena wajah sosok lelaki di depannya sering kali mengabur. Saat ingatan itu kembali, mata Muzayah melotot dan menatap Raka.

"Jadi gimana? Janjinya mau ditepati? Kamu mau menikah denganku?" tanya Raka menghadap sempurna ke arah Muzayah.

Muzayah membeku dan gugup. "Kakak, lamar, Muzayah?" tanya Muzayah.

Raka tersenyum lebar mendengar panggilan Muzayah yang berbeda. Aneh, lucu, tetapi Raka menyukainya. "Belum. Belum waktunya sekarang Muzayah. Harus ada satu syarat yang harus dipenuhi," jawab Raka.

Old PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang