16. Meragu

828 125 7
                                    

Junkyu menunduk menatap Haruto yang fokus mengobati lengannya, ia mengulum bibir sejenak.

"Ru," panggilnya pelan namun Haruto tak merespon, bahkan menatapnya saja tidak.

Suasana hening itu kembali terasa, aura di sekitar Haruto juga semakin dingin. Apa artinya Haruto benar-benar marah?

Junkyu mendesis saat lukanya diberi obat merah, ia menunduk melihat tangan Haruto terkibas-kibas di udara. Agar obatnya cepat kering, ya?

Junkyu tersenyum tipis, "Tadi ... pas gue sampe rumah, Ayah dateng Ru rebutin hak asuh gue, sampe kasarin Bunda ...."

Junkyu menatap Haruto, untuk beberapa detik tangan cowok Jepang itu berhenti dikibas. "Bunda nggak terima, kata Bunda hidup gue bisa ancur kalau bareng Ayah. Ayah tersinggung dan bales dengan nampar bunda,"

Junkyu menarik nafas berusaha menjaga nada suaranya, "Terus gue dorong Ayah dengan cara yang kurang ajar, gue bentak Ayah supaya cepet pergi, gue bales kata-kata Ayah dengan lebih sakit."

Tatapan Junkyu menerawang, "Bahkan setelah itu Ayah masih bisa natap gue lembut, Ayah bilang dengan sedikit memohon supaya gue mau tinggal bareng dia. Ayah bahkan sampe bilang; 3 bulan dulu juga nggak pa-pa, yang penting kamu bisa ngerasain hidup bareng Ayah. Kalau misalnya setelah 3 bulan kamu tetep nggak betah kamu boleh kembali tinggal bersama Bunda. Bukannya kali ini gue udah keterlaluan?"

Junkyu menggigit bibir bawahnya menahan rasa sesak yang kian menyeruak.

Haruto membuang nafas berat lalu berdiri dan memeluk kepala Junkyu, mengelus rambutnya menenangkan.

Junkyu menatap kosong ke dinding. "Untuk kesekian kalinya gue jadi anak durhaka lagi ...."

Junkyu memejamkan mata lelah, tangan kanannya bergerak meremat seragam sekolah Haruto. "Gue capeeee. Kebahagiaan nggak berpihak ke gue, tapi rasa sakit itu terus dateng. Apa gue nyerah aja?"

"No!" Haruto langsung tak setuju, "Lo nggak boleh nyerah. Kalau kebahagiaan nggak berpihak sama lo, lo masih punya gue. Gue akan selalu ada di sisi lo. Gue -mungkin- nggak akan ninggalin lo. Gue akan jadi rumah lo. Gue akan jadi tempat lo bersandar. Lo bisa lari ke gue kapanpun lo mau. Kapanpun lo butuh."

"Kalau lo pergi ... sampe mati gue nggak akan maafin lo, kak."

Junkyu tertegun, rasanya seperti deja vu, benar-benar mengingatkan Junkyu pada masa lalu. Saat mereka masih SMP, saat Haruto menyelamatkannya, dan saat Haruto membuat Junkyu merasa punya alasan untuk tetap hidup.

"Tapi dunia seakan nolak gue, rasanya gak ada tempat kebahagiaan yang tersisa untuk seorang Kim Junkyu---"

"Kak! Lo masih punya gue sebagai adik lo yang harus lo jaga atau temen-temen yang lain yang selalu bahagia tiap deket lo. Jangan pergi. Jangan pernah berpikir untuk pergi ...."

Hati Junkyu bergetar, kata-kata Haruto selalu saja berhasil membuatnya emosional. Entah untuk yang keberapa, Junkyu kembali merasa diharapkan.

Ia terkekeh kecil dengan air mata yang mulai menetes.

"Kak lo tau? Salah satu keinginan terbesar gue adalah bisa ngeliat lo berkeluarga. Kita bisa tua bareng. Ngeliat anak lo dan anak gue nanti saling rebutan mainan, terus ngadu karena anak gue yang bandel. Dan terpenting ... gue pengin bisa ngeliat lo nemuin kebahagiaan yang selama ini tertutup awan."

Haruto menjadi lebih tenang setelah mendengar suara tawa pelan Junkyu, ia mengusap punggung cowok itu.

"Ruto lo itu masih 16 tahun, berpikirlah sesuai umur."

Haruto tersenyum tipis "Terkadang keadaan yang maksa gue bersikap lebih dewasa dari umur gue yang seharusnya,"

"Jangan tinggalin gue, kak."

"Hm, gue akan bertahan lebih lama lagi. Demi kebahagiaan semu yang selalu lo harapin."

Haruto tersenyum tipis mendengarnya, di saat Junkyu mulai kembali berharap Haruto justru mulai meragu dengan hidupnya.

Dua pertimbangan yang sering ia pikirkan sekilas kembali terlintas di kepalanya, tentang pertimbangan yang memutuskan untuk menetap atau cukup berhenti di sini.

Di usianya yang keenam belas tahun, meninggalkan mereka yang mungkin membutuhkannya dengan tiba-tiba.

"Haruto, maafin gue. Lo nggak marah, kan?"

Haruto mengerjap tersadar, mundur beberapa langkah, menatap Junkyu yang menatapnya polos.

"Padahal tadi gue udah lupa, tapi karena lo ingetin digas aja,"

"Heh!"

Haruto tertawa kecil, "Iya enggak, tapi jangan diulang."

Junkyu tersenyum lega, Haruto balas tersenyum. Pada akhirnya ia tak bisa marah, dan membuat mental Junkyu tertekan kan?

Cukup masalah kedua orang tua Junkyu yang membuat cowok itu tersiksa, Haruto tak mau marahnya bisa membuat tambahan pikiran untuk Junkyu yang sering overthinking.

Karena bagi Haruto, Junkyu sangat berarti. Cowok Koala itu seperti menggantikan peran Kakak dalam hidupnya.

Berkat Junkyu ... Haruto bisa merasakan kasih sayang seorang Kakak layaknya Kakak kandung. Hal yang tak pernah Hanbin tunjukan padanya.

Hal ... yang selalu Haruto harapkan dari Hanbin, namun nyatanya tak pernah ia dapatkan.

──═━┈━═──
13.03.21


btw makasih yang udah nunggu cerita ini update~♡

CIRCLE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang