Sudah pukul sebelas malam, tapi baik Aneska maupun Divka tak ada tanda-tanda ingin pulang. Keduanya sama-sama asik menatap kosong ke depan dengan mulut bungkam. Suasana taman sudah sangat sepi, hanya ada segelintir orang yang tetap tinggal di sana.
Terhitung hampir setengah jam Aneska menangis di pelukan Divka tadi hingga Aneska merasa lelah sendiri. Kaos cowok itu bahkan sudah sangat basah akan air mata dan ingusnya.
"Lo nggak dimarahin nyokap lo?" Divka memecah keheningan dengan bertanya pada gadis itu.
Aneska menggeleng. "Nggak papa, udah izin kok," balasnya tenang karena memang Esti adalah orang yang selalu percaya padanya.
Divka manggut-manggut, lalu detik berikutnya cowok itu menarik napas sangat dalam. "Sekarang udah nggak papa?"
"Nggak papa, tenang aja." Aneska tersenyum ringan, tahu jelas apa maksud pertanyaan Divka. Hatinya masih terasa sangat sakit, tapi setidaknya sudah setingkat lebih baik.
Rambut gadis itu tampak berkibas-kibas terkena angin malam. Sesaat ia menggigil kedinginan karena memakai dress lengan pendek.
Divka yang melihat dan peka langsung memberikan jaketnya. "Kalo lo besok mau ngerasain masuk angin, ya nggak mau nggak papa," ucapnya kala Aneska hendak menolak sebab tak enak.
Divka sendiri tak masalah memberikan jaketnya karena ia memakai kaos lengan panjang.
"Udah nggak kedinginan, kan?"
Aneska mengangguk, kedua tangannya terangkat untuk memeluk dirinya sendiri kala jaket Divka sudah ia pakai. Terasa hangat, sangat hangat.
"Aneska, sebenernya gue udah tau kalo Arza bakal ngelakuin ini malam ini." Divka mengucapkannya dengan tatapan yang kembali menyorot ke depan. "Gue pengen kasih tau lo, tapi lo pasti nggak mau ketemu gue, kan? Makanya, gue nggak ngasih tau lo. Dan lagi, lo pasti nggak bakal percaya. Makanya yang gue bisa lakuin cuma berusaha nolongin lo." Cowok itu mengimbuhkan seraya tersenyum getir.
Aneska terdiam sebentar, mencoba mencerna maksud perkataan Divka sebelum bertanya dengan lirih.
"Arza kasih tau lo?"
Divka langsung mengangguk. "Tepat setelah kita berantem karena curhatan lo tentang Arza dipajang di mading." Divka menghela napas lagi, bersiap menceritakan pertemuannya dengan Arza tadi siang.
"Tunggu!" Divka mencegah Arza yang hendak melangkah masuk kelas. Terlihat bahwa cowok itu baru berangkat karena masih ada tas yang tersampir di pundaknya.
"Gue mau ngomong sesuatu sama lo."
Arza mengangkat satu alisnya, menatap Divka dengan heran. "Ngomong apa?"
"Nggak di sini, ikut gue." Tanpa menunggu balasan dari Arza, Divka bergegas berjalan meninggalkan cowok itu. Arza sendiri mengerenyit heran, tapi tetap mengikuti langkah cepat Divka.
Hawa yang sejuk menyambut kedua pemuda seumuran itu. Divka dan Arza berdiri di tepian rooftop sekolah, menghadap ke bawah di mana ada kendaraan dan orang yang berlalu-lalang.
"Lo mau ngomong apa?" Arza membuka mulut karena sedari tadi Divka bungkam.
Divka menarik napas dalam, lantas menoleh menatap Arza. "Gue mau lo jawab jujur. Lo, kan, yang ngelakuin semua ini?"
"Ngelakuin apa?"
"Aneska."
Tak membalas cepat seperti tadi, kini Arza terdiam. Ia sangat paham apa maksud cowok di sampingnya ini. Detik selanjutnya cowok itu terkekeh. "Kenapa jadi gue yang dituduh? Gue bahkan nggak tau apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Ending
Teen Fiction[Completed] Judul awal : When You Reached Me Cantik, putih, feminim. Tiga kriteria yang menjadi tipe idaman Arza Kanaka, seorang cowok dari kelas XI IPA 1. Mendengar itu, Aneska Sari jadi bertekad untuk berubah seperti apa yang diidam-idamkan Arza...