Dua puluh dua

2 2 0
                                    

Jalan kembali itu ada, hanya saja buntu. Dan kita sedang tersesat.



Sivel mengeratkan genggaman tangannya serta mengetatkan rahang kala mendengar ucapan Nando, sahabatnya yang dipercaya menjaga Niken selama dia berpacaran dengan Vista. Terdengar lucu, tapi sudah dikatakan sebelumnya bukan, alasan Sivel melakukan itu semua. Lebih lucu lagi, tentang perasaannya yang makin mencintai Niken padahal sudah satu bulan ini mereka berjarak.

Dirinya tak habis pikir bahwa Nando mengkhianati kepercayaannya. Dia menitipkan Niken pada Nando untuk dijaga bukan untuk dicintai. Namun apa yang Sivel lihat dan dengar membuat penyesalan makin menusuk ulu hatinya. Seharusnya dia tak mengambil keputusan bodoh ini. Bukannya mendekatkan malah merenggangkan hubungannya.

Mata dan telinganya ia tajamkan untuk melihat reaksi Niken. Melihat apakah Niken akan menerima pernyataan cinta Nando dan menghempaskan dirinya? Atau menolak dan kembali padanya?

Ada seulas senyum terbit saat Sivel membayangkan bahwa alasan Niken menolak Nando adalah dirinya.

Terlalu sibuk dengan pemikirannya, Sivel tak sadar Niken sudah tak ada di sana. Di lapangan itu tinggal Nando yang mematung. Menatap kepergian Niken yang semakin menjauh.

Emosi dan kekecewaan tiba-tiba menghampiri Sivel, membuatnya gelap mata dan ingin melampiaskannya. Dihampiri Nando yang masih menatap Niken dari jauh lalu ditinjunya perut Nando dengan keras. Tanpa kata-kata atau menunggu Nando sadar siapa yang memukulnya, Sivel kembali mendaratkan tinju di pipi Nando.

Nando menatap siapa yang memukulnya. Meski terkejut, Nando membalas pukulan itu. Baku hantam itu berlanjut sekitar sepuluh menit. Keduanya sudah lebam dan banyak darah yang keluar. Sama-sama mengeluarkan emosi dan kemarahan yang meluap, seperti sudah tersimpan bagai lava dan memuntahkan laharnya sekarang.

Nando mengunci gerakan Sivel. "Ini buat lo yang pengecut!" Satu tinjuan dari Nando dan Sivel tersungkur. Diinjaknya punggung Sivel, "terima kasih karena sudah menyuruh ku menjaga Niken. Aku tak menyesal menyukainya."

Nando mengambil handphonenya dan menelpon seseorang di ujung sana. Setelahnya dia pergi meninggalkan Sivel seorang diri. Tidak meninggalkan sepenuhnya, dari jauh dia tetap mengawasi hingga seseorang yang dinanti datang. Memastikan keduanya masuk mobil, akhirnya Nando pergi dari sana.



✨✨✨


"Sebentar saja," lirih Sivel. Memeluk erat Niken. Tubuh mungil yang amat dirindukannya hanya mematung tak membalas atau melepaskan. Dihirupnya aroma yang sudah menjadi candu, aroma tubuh, aroma shampo dan parfum. Ditenggelamkan wajahnya di ceruk leher Niken, "aku merindukanmu. Maafkan aku."

"Vel."

"Kumohon sebentar saja." Niken hanya diam tak mampu berkutik. Sesungguhnya dia juga sangat merindukan sosok yang kini memeluknya dengan ringkih. Namun, lintasan kalau Sivel mempunyai Vista membuat Niken memberontak. Segera saja dirinya meraung ingin lepas, tapi sia-sia, Sivel terlalu kuat memeluknya. "Maafkan aku. Kumohon kembalilah," lirih Dicek.

Niken lemah. Lemah jika seseorang yang disayangi mengeluarkan kelemahannya juga. Ikut meneteskan air mata sedih dengan semua rentetan kejadian di luar nalar. "Keputusan sudah diambil, tak ada jalan mundur. Maju ataupun mundur kau akan tetap menyakiti hati perempuan. Dan aku tahu, bukan dirimu jika berani melanggarnya."

"Ken, aku mencintaimu. Aku tahu kau mempunyai perasaan yang sama denganku. Jadi kumohon jangan lagi mengelak."

"Tidak ada perasaan, Vel."

"Oh ya? Lalu kenapa kau menolak Nando?" tanya Sivel sangsi. Dia tidak tahu jawaban apa yang diberikan Niken pada sahabatnya, tapi membuat Niken terpojok adalah pilihan terbaik. Sebenarnya apa yang sangat sulit dari jujur. Cukup tiga kata 'ya aku mencintaimu' dan semua akan beres. Kehidupan mereka akan bahagia, aman dan damai.

Niken membelalakkan matanya, dari mana Sivel tahu? Ia pikir hanya dia dan Nando yang tahu, tidak menyangka ternyata Sivel pun tahu. Dari siapa? Lebih penting dari itu, masalahnya dia harus menjelaskan dan menjawab apa? Jujur atau tidak sama-sama jalan berduri yang diinjak. Diam akan lebih baik. Meski terlihat pengecut.

Air mata Niken belum mau berhenti keluar. Hatinya seperti perahu yang terombang-ambing. Kilasan masa lalu dan gambaran masa depan menari-nari di pikirannya. Berbagai sambutan menanti kata yang keluar dari bibir mungilnya. Bahagia dan sedih menjadi satu berdiri sejajar tak mau kalah satu sama lain.

"Kamu yang lebih tahu bagaimana isi hatiku. Lalu, apa kau begitu mudah percaya kalau pilihan hatiku dia sementara namamu yang tercetak di sana.

Apa kau percaya bahwa aku menggenggam tangannya sementara yang selama ini menggenggam jariku dan memberiku kekuatan itu kamu.

Apa kau yakin aku akan bahagia bersamanya sementara kau yang paling hapal bagaimana sorot mata dan senyumku." Sivel menatap Niken tepat di manik matanya. Memperlihatkan rasa rindu, cinta dan sayang yang begitu besar. Menyakinkan bahwa dirinya lah yang terbaik. "Apa tak terlihat di mataku?" Sivel terisak. Diletakkan keningnya di bahu dengan tangan melingkari  pinggang Niken.

"Kembalilah ... kumohon," lirih Sivel yang kini mulai merosot hingga akhirnya terbaring di kasur. "Aku tak bisa jauh darimu. Hanya kau rumahku."

Niken tahu Sivel pingsan, maafkan tak segera menolong, tapi dirinya perlu mengeluarkan kebahagiaan. Sungguh sangat bahagia mendengar ungkapan Sivel yang dari hatinya itu. Ternyata cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Cintanya miliknya. Rasa yang dimilikinya sama besar dengan perasaan Sivel. Cintanya terbalas. Itu sudah cukup bagi Niken tersenyum.

Namun bahagia itu sesaat, nyatanya malah kata maaf yang terlontar dari bibir tipis Alma yang sayangnya tak bisa di dengar Sivel sama sekali. Dalam tangis yang terus-menerus memberondong karena kesedihan yang tampak nyata, yang tak bisa memiliki Sivel karena keberadaan Vista, perlahan Niken menempelkan bibirnya di bibir Sivel. Hanya beberapa detik, "aku mencintaimu. Buat aku bahagia dengan kebahagiaanmu."

Nyanyian RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang