Dua puluh tiga

10 2 0
                                    

Cinta itu tidak buta, hanya membutakan diri demi kebahagiaan orang yang dicintai.


"Terima kasih masih di sini," sapa Sivel di tengah kesibukan Niken membuat teh hangat. Mengejutkan Niken yang tak menyadari kedatangannya sehingga air panas itu terjun di tangan, bukan di cangkir teh.

"Auhh panas!!" jerit Niken. Memegangi tangan yang terkena siraman air panas. Mengibaskan berkali-kali berharap rasa panas itu hilang.

"Hati-hati dong, Ken!"

"Kamu sih ngagetin!!"

"Itu tadi bukan ngagetin tapi nyapa. Ya udah, sini siram di bawah kran, biar nggak melepuh parah."

Sivel membawa tangan Niken dibawah keran air. Menyiramnya terus menerus sambil diusap. Setelah beberapa menit, tangan Niken diusap tissue. "Aku ke apotik bentar, ya. Beli salep."

"Nggak usah. Nanti aja pas pulang aku mampir sana."

"Maaf," sesal Sivel. Membawa tangan Niken ke depan mulutnya lalu meniup kecil. "Aku terlalu bahagia melihat kamu masih disini untukku."

"Aku kemarin ketiduran." Niken menarik tangannya, melihatnya lalu kembali meniup. "Tadi Tante Risa kesini. Kaget lihat keadaan kamu. Tanya gimana kejadiannya dan kabar kamu."

"Lalu kamu jawab apa?"

"Ya, jawab seadanya. Lagipula aku nggak tahu kejadiannya, kan." Niken mendongak menatap Sivel menuntut jawaban. "Jadi ... bagaimana kejadiannya?"

Sivel terkekeh, mengelus rambut Niken. "Biasa, urusan cowok."

Niken mengangkat bahu tidak peduli. Beranjak dari tempat duduknya mengambil mangkuk dan berniat menuangkan bubur ayam yang tadi dibelinya. Namun, Sivel mengambil alih kegiatan Niken dan menyuruh duduk. Lalu meneruskan membuat teh hangat dan membawa ke meja makan. "Aku hanya kesiram air panas, Vel. Bukan lumpuh!"

"Aku tahu. Aku hanya terlalu senang bisa bersamamu lagi." Dengan cekatan Sivel memindahkan bubur ayam dari bungkusnya ke mangkuk. Berdecak kesal saat tahu ada kacang di sana. "Tahu nggak bisa makan kacang, kenapa masih nakal aja, sih."

"Aku udah bilang ke abangnya. Mungkin nggak denger."

"Alesan!"

Niken itu kalau makan kacang pasti jerawatan. Jadi, dia sangat menghindari kacang. Pernah dulu ketika Niken main ke rumah Sivel dan ada pecel, Sivel memaksa Niken makan padahal sudah menolak dan menjelaskan alasannya, tapi Sivel malah tertawa dan bilang itu hanya mitos. Besoknya ketika sekolah Niken beruntusan dan mendiamkan Sivel seminggu. Hal yang sangat diingat sekaligus disesali Sivel disaat bersamaan. Dengan telaten Sivel mengambil kacang itu satu persatu lalu membuangnya.

Keduanya makan dalam diam. Sivel sendiri tak berhenti senyum dengan tatapan ke arah Niken. Terlalu bahagia sampai-sampai senyumnya terus mengembang. Lupa dengan bubur yang terus diaduk tanpa dimakan. Niken mendengus melihat tingkah Sivel seperti seorang yang jatuh cinta.

"Setelah ini aku pulang."

Sivel gelagapan. "Eh, jangan dong. Aku sama siapa disini?"

Niken melongo mendengar jawaban Sivel, ingin tertawa tapi ditahan. Lebih baik berdiri dan mencuci mangkuknya. Sivel berdiri dari kursinya ingin menggantikan pekerjaan Niken. "Habiskan buburmu, atau aku akan pulang lebih cepat."

Ucapan Niken berhasil membuat Sivel duduk dan menghabiskan buburnya dengan cepat. Begitu selesai ia berdiri dan mencuci mangkuknya. Mengejar Niken yang kini berada di depan televisi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nyanyian RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang