Lima belas

10 1 0
                                    


Niken mengerjap beberapa kali. Tidurnya tadi malam sangat nyenyak. Mimpi itu tidak datang lagi. Bahkan dengan senyum lebar Niken menyambut hari barunya. Benar kata dokter Riko, pikirannya harus rileks sebelum tidur. Harus santai dan tidak boleh tegang. Supaya menghasilkan tidur yang benar-benar menghilangkan capek tubuh dan pikiran.

Mungkin dia juga harus beli radio supaya tidak menggunakan ponselnya. Lihat saja, akibat dia mendengarkan lagu dari ponselnya, sekarang ponsel itu mati. Masa iya, dirinya ke sekolah ngga bawa ponsel? Nggak lucu sekali. Bisa-bisa dia mati karena bosan dan bibirnya kaku karena tidak bernyanyi sama sekali. Mengesalkan sekali.

Alih-alih Niken langsung mandi meski angka di jam dinding mepet dengan bel sekolah, dia memilih men-charger ponselnya terlebih dahulu, baru memasuki kamar mandi dengan bernyanyi kecil seperti biasanya.

Lima belas menit dengan kecepatan kilat Niken sudah duduk dan meminum segelas susunya. Memasukkan beberapa potong sandwich ke dalam kotak makan kemudian pamit Mamanya. Berangkat dengan mang ojol yang sudah menunggu di depan rumah.

Terus melangkah melupakanmu
Belah hati perhatikan sikapmu
Jalan pikiranmu buatku ragu
Tak mungkin ini tetap bertahan

Perlahan mimpi terasa mengganggu
Kucoba untuk terus menjauh
Perlahan hatiku terbelenggu
Kucoba untuk lanjutkan itu

"Nggak ada lagu lain yang bisa lo nyanyikan? Atau memang lagi menghayati peran?" tanya Rizal yang kini berjalan di samping kiri Niken dengan wajah yang hampir berair dan dibuat buat. "Move on dong, Ken."

"Salah sendiri mikir kelamaan. Diembat cewek lain kan," sahut Adit di sisi kanan Niken.

"Haahh, kalian bahas apaan, sih?" kesal Niken. Tidur malamnya tadi malam sudah bagus, tidak mimpi buruk. Kenapa paginya yang jelek? Gara-gara dokter Riko ini pasti, tidak kasih resep lengkap.

"Kalo lo sedih, ada kita di sini yang nggak akan ninggalin lo," ucap Rizal menepuk dadanya sombong.

"Dan kalo lo udah nggak kuat, ada kita yang siap eksekusi pak ketua kelas," timpal Adit. "Ikhlasin. Bikin dia nyesel."

"Mangatse, Niken!" Rizal mengucapkan itu dengan mengangkat satu tangannya dan mata yang menyala membara.

"Gue nggak se-menyedihkan itu." Sumpah, Niken tidak mengenaskan seperti yang ada di otak mereka. Jadi, please jangan perlakukan Niken seperti ini.

"Ya udah, kita duluan, ya. Tahu kan jalan ke kelas?" Kembali Adit berucap dengan senyum yang aneh, mencurigakan tepatnya.

"Bye, Niken!" Rizal berlari sambil membawa pita rambut Niken dan tergelak. Diayunkannya ke udara untuk memancing emosi Niken. Membuat rambut yang tadinya terikat rapi, sekarang harus terurai berantakan.

"Rizaaalll. Adiiitttt!" Niken berlari mengejar keduanya yang kini saling mengoper pita rambut itu dengan tertawa senang bisa mengusilinya. Koridor semakin ramai karena mereka bertiga. Bahkan Adit hampir terjatuh karena menabrak seseorang, tapi berlarian lagi. "Balikin, nggak! Gue tulis alpha di absen kalian berdua."

"Tulis aja. Nanti kita hapus," ucap Adit yang masih berlari kecil. Langkah kedua lelaki itu terlalu cepat untuk cewek seperti Niken yang sangat benci olahraga. Mereka harus ingat kodrat bahwa cewek itu harus menang, karena kalau kalah imbasnya bikin masalah.l,

"Gue sleding kepala kalian!"

"Sleding balik."

Adegan kejar-kejaran seperti film Bollywood pun terjadi. Hanya saja tidak ada lagu untuk mengiringi. Namun jerit kesal dan tawa bahagia dari ketiga bercampur menjadi satu memekakkan telinga. Membuat orang di sekitarnya melirik sengit. Entah itu senang, entah kesal.

"Iihhh berhenti. Balikin pita gue!" teriak Niken yang tak sadar sudah sampai di depan pintu kelas. Membuat seisi kelas menatapnya, kaget dengan ucapan Niken yang terdengar sangat marah. Menggelegar menyapa gendang telinga. Tidak ada nada bercanda disana. Napasnya ngos-ngosan. Keringat banjir di wajahnya.

Dulu ada Sivel yang membelanya. Ada Sivel yang selalu melerai dan membantunya. Tak pernah Sivel membiarkan anak lain mengganggunya. Jangankan Niken berlari mengejar, Niken belum berdiri dari tempatnya saja, Sivel sudah bersiap menghajar sang pelaku. Sayangnya itu dulu, Niken tertawa miris mengingatnya.

Niken berjalan lemas dari pintu ke kursinya, dan itu semua tak lepas dari tatapan seisi kelas, termasuk Sivel. Rambut yang acak acakan dan keringat yang membasahi keningnya membuatnya terlihat semakin menyedihkan. Belum lagi wajahnya yang pucat pasi seperti mayat, membuatnya pantas berbaring di ranjang uks.

Sivel yang dari tadi diam dan malas meladeni Vista ikut mendongak. Penasaran apa yang membuat kesayangannya itu berteriak di pagi hari, bukan menyanyi seperti biasanya. Mungkin hubungan mereka berjarak, tapi bukan berarti Niken lepas dari pengawasannya. Bahkan ketika Niken berjalan ke kursinya dengan tubuh lemas karena kecapekan, Sivel tak melepaskan lirikannya. Mengikuti setiap gerakan Niken.

Bukan Sivel benci Niken, dia hanya ingin memberi waktu pada kesayangannya itu untuk menyadari sebuah rasa. Sivel mencari ide untuk membantunya. Menyapukan pandangannya ke sekeliling dan berhasil menemukan sebuah karet. Dengan jitu membidik botol aqua kosong yang kebetulan berada di meja paling depan. Membuat botol itu terjatuh dan menggelinding. Adit dan Rizal yang tak tahu kemunculan botol kosong itu menginjaknya sehingga membuat keduanya jatuh secara bersamaan. Seisi kelas tertawa kecuali Niken.

Niken tidak tertawa karena dia tahu itu perbuatan siapa. Yang Niken nantikan adalah pita rambut. Akibat rambut yang tidak dikuncir itu membuat lehernya gatal karena terkena ujung rambut yang mulai memanjang.

Adit dan Rizal berdiri. Mengusap bahunya yang sakit akibat terbentur lantai kelas. Dengan kesal meletakkan pita rambut yang digenggamnya. "Gue kira dia udah nggak peduli lagi. Nyatanya lebih sakit ketika dia jauh dari lo, sadis banget!" bisik Rizal.

Pura-pura tak mendengar ucapan Rizal, Niken mengambil pita itu dan memakainya dengan asal. Tak peduli hasilnya, yang penting dia tidak risih lagi. Mengambil botol minum dan meneguknya, sungguh haus tenggorokannya akibat berlari tadi.

"Dasar bocah! Mau cari perhatian Kak Sivel, gitu banget ya caranya? Norak!" Vista berjalan mendekati Niken yang kini duduk tenang sambil memainkan ponselnya. "Asal lo tahu, ya, Kak Sivel itu udah jadi milik gue. Jadi, sekeras apapun lo berusaha gue nggak akan lepasin dia! Lagipula lo itu bukan seleranya, bocah!"

Niken masih diam, malas meladeni adik kelas yang menaikkan darahnya ini. Namun, ocehan Vista tidak berhenti, malah makin menjadi-jadi. "Lo tahu kenapa Kak Sivel pilih gue daripada lo jadi pacarnya?" tanya Vista dengan senyum meremehkan dan kesombongan yang hakiki. "Karena lo nggak selevel sama gue."

Ainun berdiri menggebrak meja. Wajahnya didekatkan dengan wajah Vista. "Asal lo tahu, ya, lo itu cuman pelarian."

"Apa lo bilang?" Vista tersulut emosinya.

"Emang iya, kan? Kalo Sivel suka lo, seharusnya dari dulu dia jadi pacar lo! Bukan kemarin sore!"

"Lo ...."

Ucapan Vista berhenti karena Niken akhirnya berdiri dari duduknya. Ikut geram juga dengan tingkah pacar sahabatnya itu. Selain itu dia tidak ingin terjadi keributan yang berpotensi berhadapan dengan guru BK. "Pintu keluar ada di sana," ucap Niken menunjukkan pintu kelas yang berwarna coklat tua. "Dengan segala keindahan jepit rambut lo yang warna-warni, keluar sekarang."

"Apa hak ...."

"Ini kelas gue dan kewajiban gue sebagai sekertaris adalah memastikan murid kelas ini belajar dengan tenang."

"Sayang!" adu Vista pada Sivel, tapi tak ditanggapi. "Sayang, aku pacar kamu kan?"

"Lo memang pacar gue, tapi maaf ucapan dia benar," sahut Sivel malas. Vista terlalu banyak melampaui batasnya, membuatnya semakin malas.

Vista pergi dengan menghentakkan kakinya kesal. Meninggalkan kelas dengan wajah muram bercampur kesal. Seisi kelas kembali tertawa setelah Vista tak lagi terlihat.















Kesal nggak? Kesal nggak?
Kesal dong

Nyanyian RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang