Menstruasi kali ini bukan hanya perut yang sakit, hati juga.
"Habis jatuh dari mana sih?" gerutu Sivel yang kini berdiri di depan Niken.
"Siapa yang jatuh?" sahut Niken bingung.
"Ya lo lah! Itu di jidat lo ada plester, kalau bukan jatuh lalu apalagi? Aahhh ... aku tahu, pasti kebentur pintu karena main hape sambil jalan."
"Sok tahu!"
"Apa yang aku nggak tahu tentang lo?"
Mengembuskan napas Niken berbalik menghadap Sivel. "Ck, ini itu rahasia cewek. Karena lo cowok jadi nggak usah kepo."
"Jerawatan dia itu, Bucin," sahut Yunita yang berjalan tepat di samping Niken, dan langsung dihadiahi sikutan oleh sang topik utama.
"Wahahaha ...." Tawa Sivel lepas. Dia kira Niken kenapa-napa, karena kemarin setelah pulang sekolah niat hati ingin ke rumah Niken memastikan dia sudah sampai dengan selamat sentosa atau belum. Nyatanya, ajakan Nando makan bakso gunung merapi lebih memikat hati.
"Tawa teros," ucap Niken kesal sambil melirik Sivel yang masih tertawa dengan memegang perutnya.
Berhasil meredakan tawanya, Sivel berucap, "Kalau udah jelek, ya jelek aja, Ken. Nggak usah di plester segala."
"Suka-suka gue dong."
"Masih pagi juga, udah bikin rame aja kalian," ucap Nando melewati keduanya dan berjalan menuju bangkunya.
"Temen lo nih, rese. Gue doain di seperempat malam gue, semoga besok lo jerawatan lebih gede dari punya gue!" ucap Niken kesal menunjuk wajah Sivel dan menaikkan nadanya satu oktaf.
"Gue baik, gue kalem, jadi doa lo nggak mungkin terkabulkan."
Bukan hal yang luar biasa melihat Niken dan Sivel berdebat. Bukan hanya hal receh yang mereka debatkan, pelajaran pun sering.
Pelajaran pertama berlangsung lancar. Dilanjutkan dengan pelajaran kedua yaitu olahraga. Semua siswi bergerak ganti baju, Niken bergeming di kursinya. Ainun menoleh karena merasa aneh dengan sikap Niken hari ini. "Lo nggak ikut olahraga?"
"Ijinin ke Pak Su, ya. Bilang gue sakit, badan gue lemes, remek rasanya," ucap Niken yang memang merasa sangat lemas hari ini, mungkin efek menstruasi hari pertamanya.
Mendengar Niken sakit, membuat Sivel menoleh dengan cepat. "Kamu sakit?" Sivel menyentuh kening Niken. "Tapi nggak Panas."
"Dia itu lagi datang bulan, dan lagi ngerasain sakit banget itu. Udah jangan ganggu." Ainun menarik baju Sivel supaya mundur. "Lo pemanasan sana, Niken gue yang urus."
"Makasih ya, Ai. Nanti kalo butuh apa-apa, gue ada dilapangan," ucap Sivel pada Ainun. Biasanya Sivel yang sibuk sendiri kalau Niken sakit, tapi kalau urusan cewek seperti saat ini dia memilih mundur. Tidak tahu apa-apa. "Istirahat yang bener. Jangan pecicilan."
"Sivel tuh, lucu ya, Ken," ucap Ainun sambil tertawa kecil.
"Apa? Nggak salah denger gue? Anak reseknya minta ampun kok dibilang lucu," kesal Niken mendengar penuturan temannya satu ini.
"Tuh cowok labil banget deh, kalo lagi khawatir sama kamu panggilnya aku-kamu, tapi kalo lagi kesel ato marahan sama lo panggilnya gue-lo," ucapnya terkekeh. "Kenapa sih nggak lo terima aja cintanya?" Kejar Ainun yang masih penasaran dengan alasan Niken yang selalu menghindar.
Siapapun tahu kalau itu perasaan cinta, tapi keduanya masih mengelak dengan alasan kekuatan persahabatan. Sikap dan ucapan Sivel yang begitu manis pada Niken mengartikan banyak hal. Meski belum ada pernyataan resmi pada Niken tentang perasaannya, tapi dari tatapan pun semua tahu itu cinta.
"Cinta? Ngaco lo."
"Jangan bohongi diri lo, Ken."
"Ai ...."
"Gue tahu sebenarnya lo juga suka kan sama Sivel, tapi lo pura-pura nggak peduli, lo pura-pura nggak peka dan lo pura-pura nggak ada rasa sama dia."
Rasanya, percakapan ini akan sangat panjang dan menguras emosi. Maka dari itu Niken berniat memotong ucapan Ainun. "Ai ...."
"Ken, sampai kapan lo kayak gini? Nggak selamanya Sivel bakalan ada di samping lo terus. Nggak selamanya dia akan menghujani lo dengan kasih sayang dan cinta yang tulus tanpa imbalan. Ada kalanya dia lelah karena rasanya tak terbalas. Ada kalanya dia bosan menunggu dan ada saatnya dia ingin melepas rasa itu. Dan saat itu terjadi, gue nggak mau lo nyesel. Gue nggak mau lo nangis karena kebodohan lo."
"Ai ...."
"Gue nggak akan tanya kenapa, tapi gue mohon sama lo, buka hati lo. Jika memang pernah ada luka di masa lalu biar Sivel mengobatinya, biar cara dia mencintai lo membuat semua rasa sakit lo hilang."
"Ai ...." Suara Niken sudah parau bahkan air mata akan meluncur, tapi ucapan Ainun tidak berhenti malah seperti kebakaran, semua kebenaran dilahap habis oleh Ainun. Niken menelan ludah saja sudah.
"Lo egois, Ken. Semua orang berhak bahagia, termasuk lo dan Sivel. Bukan begini cara menolak, beri dia kejelasan. Perjelas hubungan kalian, jika memang hanya sebagai sahabat maka, biarkan Sivel mencari orang yang tepat untuk mengisi hatinya. Dan jika lo suka tapi ragu biarkan Sivel menghanguskan keraguan itu dengan cintanya!"
Setelah mengucapkan itu semua, Ainun pergi. Dia ingin ikut olahraga, sama-sama berkeringatnya jika berbicara dengan Niken. Lebih baik olahraga di lapangan bisa berkeringat dan sehat, jika di kelas berkeringat karena menguras emosi dan menaikkan darahnya. Berbicara dengan sahabatnya itu selalu bisa membuat otaknya mendidih. Membuat Ainun gemas sendiri. Mencari tahu masa lalu Niken pun tak bisa, seolah dia menutup rapat semua akses ke sana.
Niken tergugu, meresapi semua ucapan Ainun yang sangat tepat sasaran. Misal penembak, Ainun sudah dipastikan tak pernah meleset membidik sasarannya. Buliran bening itu jatuh membuat luka lama yang sudah dikubur dengan apik tiba-tiba retak, memunculkan bau yang tidak sedap. Membuat Niken mual sehingga dia lari ke toilet dan muntah di sana.
Kenangan masa lalu itu melintas sekali lagi. Mengejek dirinya karena tak mampu melepas bayangan masa lalu. Menertawakan kelemahannya karena sebuah rasa. Bukan hanya itu, seolah dia menari-nari di atas trauma Niken. Membuat Niken pusing, matanya berkunang-kunang, pandangannya meredup lalu gelap. Tak ada yang diingat kecuali senyum kesedihan yang kemudian hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyanyian Rindu
Teen Fiction{ Estrella projects } "Lo ... suka sama Vista?" "Nggak." "Lalu kenapa lo pacaran sama dia?" "Karena pengen jauh dari lo."