Dua belas

4 1 0
                                        

Lebih sakit dirimu yang diam, daripada ocehan tidak jelas.






Dengan segala bujuk rayu kepada sang mama tercinta, akhirnya Niken diberi ijin untuk masuk sekolah. Namun dengan syarat diantar jemput. Niken setuju? Oh, jelas tidak. Akhirnya setelah perdebatan sengit beberapa menit, Niken diijinkan sekolah dengan sebuah kesepakatan yaitu Niken boleh sekolah asal naik ojol. Okeh, itu lebih baik daripada diantar mama. Hello ... Niken sudah dewasa, kelas tiga SMA, ya masa mau diperlakukan kayak anak SD. Bangga bukan, malu iya.

Niken turun tepat di depan gerbang sekolah. Berjalan seperti biasa dengan menyanyikan lagu yang hits. Menyapa beberapa murid yang kenal. Dua hari tak masuk sekolah suasananya sudah sangat dirindukan Niken.

Teringat bahwa tidak mengabari Sivel kalau hari ini dirinya masuk, membayangkan rasa kesal, cemberut, marah dan khawatir itu memupuk menjadi satu diwajahnya membuat Niken tersenyum senang. Ahh, surprise yang indah.

Terimalah lagu ini
Dari orang biasa
Tapi cintaku padamu luar biasa
Aku tak punya bunga
Aku tak punya harta
Yang kupunya hanyalah hati yang setia
Tulus padamu

Suaranya berhenti, tatkala pandangannya menemukan dua insan sedang bergandengan tangan melewati lapangan sepak bola. Pemandangan yang dinikmati oleh seluruh isi sekolah. Jika dia halu, maka hanya dirinya yang bisa melihat. Namun dia salah, semua mata tertuju pada dua manusia yang terlihat sangat bahagia. Kini, bukan hanya langkah kaki, dunianya juga ikut berhenti. Senyuman dan alunan lagu kecil tadi juga berhenti. Inikah alasan dibalik sikap aneh Sivel kemarin? Inikah arti kesibukan yang membuat Sivel cepat pulang? Dan inikah urusan yang lebih penting daripada dirinya?

Niken mengejar keduanya. Bukan cemburu, hanya ingin mengucapkan selamat yang membuktikan bahwa hatinya baik-baik saja. Terlambat, mereka sudah sampai di kelas Sivel. Memasuki dengan tenang dan raut wajah yang dibuat terkejut, Niken memasuki kelasnya. "Eh, Vista," sapa Niken sambil tersenyum, "udah lama di sini?"

"Gue nggak perlu basa-basi sama lo! Gue cuman mau lo tahu, kalo mulai kemarin Kak Sivel jadi pacar gue. So, mulai sekarang jauhin dia. Nggak usah deket deket!!" jelas Vista tepat di depan wajah Niken. Mendorong Niken hingga akan terjungkal beruntungnya Nando bisa menangkap Niken. Padahal tadi dia di posisi tidak siap.

"Lo nggak papa?" tanya Nando khawatir melihat Niken yang mencoba mengulas senyum getir. Nando tahu ada sakit yang disembunyikan. Dan saat ini Niken memaksakan kuat.

Niken mengulurkan tangannya pada Vista dan mengucapkan selamat, "Selamat ya, nggak sia-sia perjuangan lo. Semoga langgeng."

"Eh! Dari dulu itu Kak Sivel udah suka sama gue! Tapi karena ada pengganggu kayak lo, makanya Kak Sivel nolak gue terus. Jadi, jangan deketin dia lagi kalo pengen Kak Sivel bahagia dan kita langgeng," ketus Vista

"Iya sorry, sekali lagi selamat ya," ucap Niken. Meski hatinya sakit, tapi dia harus mencoba ikhlas dan tulus. Bukankah dirinya yang menyuruh Sivel mundur perlahan? Dengan alasan tidak ingin kejadian di masa lampau kembali terulang. Sekarang Niken tersenyum mengejek pada keputusannya sendiri.

"Gue nggak butuh ucapan selamat lo, yang gue butuhkan lo menjauh dari kehidupan kita. Ngerti nggak?"

"Stop!" ucap Sivel. Sebenarnya dari tadi dia ingin menghentikan ucapan kasar Vista untuk Niken. Bodohnya, dia ingin melihat reaksi Niken terlebih dahulu. Apakah cemburu? Nyatanya tidak. Niken malah tersenyum dan memberi selamat. Jadi, percuma. Dan dirinya sudah tak tahan melihat perlakuan Vista pada Niken jadi, dia berdiri dan melihat Vista, "udah? Sekarang lo balik kelas."

"Lho, kamu kok nggak belain aku sih, Sayang!" kesal Vista. Sungguh, dia gemas melihat sikap Sivel.

Mengembuskan napas kasar, Sivel menatap Vista lalu berkata, "balik kelas sekarang. Nanti kita makan di kantin."

Menghentakkan kakinya menandakan Vista sangat kesal. Namun, tetap pergi juga. Lagipula sebentar lagi bel, dan sebelum diberi sarapan oleh guru BK di pagi hari yang indah nan cerah ini dia memilih pergi.

Setelah kepergian Vista, Sivel menunduk belum berani menatap teman sekelasnya, terutama Niken. Meskipun dirinya menunduk, dia sadar kalau Niken sangat ingin tahu dan meminta penjelasan itu semua. Mengangkat kepala dan bola matanya mengitari kelas lalu berkata, "Sorry untuk keributan di pagi yang indah ini." Hanya itu, dan Sivel kembali duduk.

Seluruh kelas menatap Niken iba dan menatap Sivel kesal. Niken duduk dan menyanyi, hal yang selalu dilakukan apapun keadaannya. Setidaknya bisa menghambat semua ucapan yang tidak seharusnya keluar.

Kau dan aku
Tercipta oleh waktu
Hanya untuk saling mencintai

Mungkin kita
Ditakdirkan bersama
Merajut kasih
Menjalin cinta

"Gais, bentar lagi kelas kita akan memainkan film. Jadi, mohon persiapan sebaik-baiknya. Tempatkan diri kalian di tempat yang menurut kalian paling benar." Yunita berteriak dari tempat duduknya.

"Film apa, Yun?" tanya Rizal mengerti arti pembicaraan temannya itu.

"Sesal tiada guna. Itu judulnya," ucap Yunita melirik Sivel yang diam saja.

"Gitu banget judulnya, Yun?" tanya Adit.

"Ya masa judulnya ganti. Sedih ditolak, aku terpaksa menerima cinta orang lain. Indosira banget," ucap Yunita. Matanya memindai kedua insan yang kini memilih diam.

"Terus backsoundnya, ku menangiiiis melepaskan ...." kelakar Adit. Seisi kelas tertawa.

"Udah, udah. Ken, lo udah absen?" tanya Ainun menyudahi candaan mereka.

"Ha?"

"Ck," decak Ainun sambil melepas paksa headset di telinga Niken dan melanjutkan pertanyaannya, "lo udah isi absen?"

"Ah iya, belom." Meringis karena memang belum melakukan pekerjaannya. Karena kejadian spesial dirinya sampai lupa akan kewajibannya.

"Ya udah ... sono isi absen dulu."

Niken berdiri, lalu berjalan. Sadar semua pasang mata menatapnya, dia tersenyum seolah semuanya baik-baik saja. Siapa yang kuat mengahadapi kenyataan sejahat tadi kalau masih ada ketakutan kejadian di masa lalu itu terulang? Siapa yang bisa menghilangkan trauma itu jika dia terus diteror oleh kejadian seperti ini setiap hari yang mengingatkan pada trauma yang mendalam itu? Siapa lagi yang menopang dirinya? Tidak tidak, dia tidak boleh jatuh cinta pada Sivel jika ingin semuanya baik-baik saja. Jika ingin menghindari hal yang sama seperti dulu. Jika ingin hidupnya jadi lebih baik. Ya, jika ingin, dia harus menjauh dari dua kata itu, jatuh cinta.

Mengambil oksigen banyak-banyak Niken menetralkan perasaan yang mulai berkecamuk. Nyatanya menyanyi tadi tidak bisa menghilangkan trauma di masa lalu atau sekedar menghapus ketakutan yang melanda. Mengambil buku absen kemudian membukanya, Niken bersorak, "Wow, selama gue nggak masuk kalian rajin banget, dah. Pas gue masuk kenapa masih aja ada yang bolong? Nyebelin. Mana surat Angga?"

"Dia kirim pesan ke gue," ucap Rizal enteng.

Mengernyit bingung, Niken bertanya, "Pesan? Terus gue bilang apa ke guru kalau izin pake pesan dudul?"

"Kemarin dia abis jatuh dari motor," jelas Rizal.

"Tunjukkan aja pesannya, kalo nggak sabar ya gurunya suruh aja nunggu sampe Angga masuk nanti. Pasti dia bawa surat keterangan sakit dari bidan," jelas Rizal.

"Lha, Angga lahiran apa sakit sih, kok ke bidan?" Pertanyaan Yunita mampu mengocok perut seksi kelas.

"Mungkin nih ya, mungkin, dia yang sakit kakinya. Cuman ya gitu, perutnya yang geser, makanya dibawa ke bidan," jawab Adit receh. Seisi kelas makin kencang ketawanya.

"Udah ... udah, nanti Rizal yang tanggung jawab. Ya udah, bentar lagi guru masuk. Yuk, doa."

"He'em, yuk doa, kali aja kelas kita dapat pencerahan. Biar bukan hati aja yang terang benderang, otak juga. Supaya pinter ambil keputusan," sindir Rizal. Sengaja suaranya diperkeras agar sampai di telinga Sivel.






Nyanyian RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang