Kamu tahu ayam krispi? Renyah diluar dan lembut didalam? Seperti itulah hatiku.
"Ma, Niken mau ketemu Kak Riko dulu."
"Sudah janjian?" Bu Fira kaget mendapati anaknya sudah cantik. Kaos lengan panjang warna biru dengan rok pink selutut, terlihat manis dan nyaman dipandang.
"Sudah."
"Kok nggak bilang Mama?"
Mengulas senyum lembut, Niken mendekati mamanya lalu berkata, "Ma ... Niken cuman mau ngobrol. Niken udah nggak papa, Ma."
"Beneran?" Niken mengangguk. Terlihat wajah khawatir Bu Fira kala melihat Niken.
"Diantar Mama?" Niken menggeleng.
"Ya sudah, hati-hati. Telepon Mama segera kalau ada apa-apa."Mengecup pipi sang Mama, Niken kemudian berpamitan. Sebenarnya tidak ada hal serius yang dibicarakan Niken. Dia hanya ingin lebih bisa mengontrol emosi dan pikirannya. Atau sekedar bercerita mengeluarkan sesak yang menghimpit dada. Terkadang tubuhnya pun ikut tremor saat kilasan masa lalu itu datang. Kejadian kemarin dan tadi pagi lah, alasan Niken disini, di depan pintu ruang psikolog.
Mengambil napas, mengatur pikiran dan hati menjadi lebih teratur dan lebih tenang. Niken mengetuk pintu, hatinya kembali bergemuruh. Kejadian kejadian di masa penyembuhan membuatnya mundur, takut, trauma. Hingga kepalanya pusing dan semuanya gelap. Beruntung pintu terbuka tepat waktu sebelum Niken jatuh.
"Niken!" Dokter Riko menahan tubuh Niken supaya tidak sampai mencium lantai, lalu menggendongnya memasuki ruang praktek. "Niken, kamu tidak apa-apa?"
Dengan tenang Dokter Riko memberi sedikit minyak kayu putih di hidung Niken. Sekitar sepuluh menit, Niken mulai menggerakkan tangannya lalu perlahan kelopak matanya terbuka perlahan. "Kak ...."
"Minum dulu jangan bicara apapun." Dokter Riko menyerahkan segelas air putih untuk Niken dan diminumnya perlahan.
"Sudah enakan?" tanya Dokter Riko setelah melihat Niken menelan tetes terakhir air putih itu. Niken mengangguk lantas tersenyum. "Kenapa nggak ngabari Kakak?"
"Sudah gitu lho," ucap Niken. Dirinya masih lemas, belum sadar seratus persen.
"Mendadak," sengit Dokter Riko.
"Pokoknya udah ngabari," ketus Niken.
"Ok! Ngapain kesini? Kangen ya?" Dokter Riko menjawil hidung Niken.
"Pede!" Niken diam sejenak menetralkan gemuruh yang masih tersisa sedikit setelah kejadian pingsan tadi.
Paham kegundahan hati keponakannya, Dokter Riko menggenggam tangan Niken lalu mengusapnya memberi kekuatan bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kalau masih belum bisa nggak usah dipaksakan. Tapi kalau sangat mengganggu ... Kakak setia menunggu."
Hening. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk Niken kembali membuka mulut dan menetralkan degup jantungnya. Meraup segala keberanian dan membuang keraguan. Bukankah dia kesini untuk didengar? Jadi, perlahan dia memberanikan diri untuk bercerita, "Akhir-akhir ini ... mimpi itu datang lagi. Seperti alarm di pagi hari. Terus menerus mengingatkan bahwa aku pernah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Meraung-raung memintaku mematikan rasa yang pernah ada." Niken menundukkan kepalanya.
"Lalu satu persatu kejadian yang datang membuat keadaan jadi tidak seperti seharusnya. Padahal sebaik mungkin aku sudah menghindarinya, menjauh dari perasaan itu lagi." Pandangan Niken lurus tapi kosong. Masih teringat jelas bagaimana sikap dan ucapan Vista untuknya. Mata dan perkataannya tak jauh beda dengan seseorang yang kini sudah tenang di alamnya. Hanya aura kebencian dan amarah yang ada di sana.
Tak ada sinar bahagia terpancar di wajah cantik itu bahkan meredup. Dan ketakutan mulai merayapi dirinya lagi. Keberanian yang tadi ada perlahan menghilang seperti sinar matahari yang tenggelam kala senja. Lagi, ada butiran cair bening yang membasahi pipi mulusnya.
"Ken ...."
"Aku memang pernah punya perasaan untuk dibahagiakan, tapi aku sudah menguburnya dalam-dalam. Bahkan tidak aku beri tanda, supaya aku lupa dimana letaknya. Jika aku tersakiti tak masalah. Yang aku takutkan demi kebahagiaan ku, orang lain menjadi sedih atau kehilangan nyawanya." Itulah yang terjadi di masa lalu. Sangat sakit mengingat kembali kejadian masa lalu.
"Kamu berhak bahagia, Ken. Kamu berhak merasakan perasaan itu lagi!" sentak Dokter Riko ikut merasakan kesedihan Niken.
"Tapi karena perasaan itu aku membunuh seseorang, Kak. Aku membunuhnya! Kakak tahu sendiri, kan? Aku membunuhnya dan ... dan aku adalah seorang pembunuh, Kak."
Lagi, Niken menangis. Menutupi wajahnya yang sedari tadi sudah memerah menahan air yang kini keluar seperti air terjun bersama uneg-unegnya. Dokter Riko ikut menitikkan air mata melihat keponakannya yang dulu selalu ceria kini hidup dalam bayang-bayang kelam masa lalu. Tanpa kata dokter Riko memeluk Niken yang masih tersedu.
Dari jauh ada seseorang yang ikut menangis melihat sahabatnya sedih. Meski tidak tahu alasan apa yang membuatnya seperti itu. Jika kejadian kemarin dan tadi pagi mengacaukan hatinya. Harusnya dia jujur saja pada Sivel dan semua masalah akan beres. Tidak rumit seperti ini.
"Ai!" panggil seorang wanita yang baru saja keluar dari ruangan ortopedi.
"Ah Mama, ngagetin aja," kesal perempuan yang dipanggil Ai tersebut.
"Mama udah panggil kamu dari tadi, ya. Kamu yang nggak denger. Asyik lihat siapa sih?" Mama Ai ikut melongokkan kepalanya. Penasaran dengan apa yang dilihat anaknya. "Nggak ada apa-apa. Ayo pulang."
Mengembuskan napas, Ai mengikuti langkah Mamanya. Berjalan dibelakangnya dengan mata melirik ke tempat Niken duduk. Berharap bisa membaca apa yang terjadi. Niken tak pernah menangis, apalagi sampai terharu seperti itu. Lalu, dokter itu siapa kok berani memeluk Niken? Ai menutup mulutnya, begitu ada hal yang terlintas di kepalanya. Seharusnya pintu ruangan itu ditutup rapat biar nggak keliatan isinya. Kalau begini kan jadi repot. Efeknya pikiran Ai jadi kemana-mana.
'apa Niken pacaran dengan dokter itu, makanya dia nolak Sivel terus?' batin Ai.
"Nggak nggak nggak, ini nggak mungkin kan?" Ai menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan ucapannya sendiri. "Aw, sakit, Ma," ucap Ai ketika merasakan ketukan di kepalanya.
"Salah kamu sendiri aneh. Tadi dipanggil nggak noleh. Sekarang ngomong sendiri. Dasar! Remaja labil," ketus Mamanya. "Buruan naik. Mama tinggal lho."
"Ih, Mama jahat."
"Mama bukan jahat, Ai. Mama itu takut kamu kerasukan arwah suster ngepot makanya aneh."
"Mama ada-ada aja, deh. Masa anaknya dibilang kerasukan?"
"Ya, bisa aja kan. Karena kamu kelamaan nunggu Mama, terus ada suster ngepot yang deketin kamu tadi." Ai tidak menjawab, hanya menepuk kening mendengar ucapan Mamanya.
Dokter Riko melepas pelukannya dari Niken. Menghapus jejak air mata itu lalu menatapnya lembut, "Ken, setiap orang punya masa lalu, termasuk aku dan kamu. Tinggal kita, bagaimana menyikapinya. Mungkin kamu memang mengalami pilophobia, tapi bukan berarti tidak bisa sembuh. Semua bisa sembuh asal kamu juga mau merubah."
"Kak ...."
"Ken, pelan-pelan kita ubah pikiran negatif menjadi positif. Sebelum tidur baiknya memutar musik supaya lebih tenang dan nyenyak sehingga mimpi buruk itu tidak akan datang. Sementara kamu jalani itu dulu. Nanti kita konsultasi lagi. Sekarang kamu pulang dan istirahat."
Dokter Riko berdiri diikuti Niken. "Makasih, Kak."
"Semuanya akan baik-baik saja, Ken."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyanyian Rindu
Teen Fiction{ Estrella projects } "Lo ... suka sama Vista?" "Nggak." "Lalu kenapa lo pacaran sama dia?" "Karena pengen jauh dari lo."