Bucin adalah kalau rindu temuin orangnya, bukan fotonya.
Sivel hanya memandang teman-temannya yang akan menjenguk Niken. Jika dia tidak punya rencana yang kemarin sudah disusun begitu rapi, pasti sekarang dia ikut tertawa dan berjalan bersama mereka. Melihat senyum Niken lagi dan bisa melihat wajahnya yang pasti.
Saat mereka menelpon Niken, Sivel akan ke kantin, tapi suara Niken lebih bisa mengenyangkan perutnya daripada makanan. Jadi, dia memilih duduk dan mengambil headset di dalam tas lalu memakainya. Lucunya, headset itu hanya dipakai, tidak ada suara musik, begitu hebatnya cinta. Menutupi fakta dengan kebohongan.
"Sayang," panggil Vista manja yang hanya dibalas Sivel dengan lirikan. Moodnya sangat jelek dan kini kehadiran Vista membuatnya semakin anjlok. "Kalau kita pulangnya mampir dulu ke kafe, gimana? Itung-itung ngerayain hari jadi kita kemarin?"
"Lo pulang sendiri apa gue anter?"
"Kok gitu? Aku pacar kamu lho, Sayang," manja Vista yang membuat Sivel semakin kesal. Andai saja.
"Oke, itu artinya lo pulang sendiri."
"Sivel kamu apa apaan sih! Aku itu pacar kamu, dan wajib bagi kamu buat antar jemput kemanapun yang aku mau!"
"Gue pacar, bukan ojek!"
Setelah mengatakan itu dengan santai dan tanpa raut bersalah, Sivel beranjak meninggalkan Vista yang terlihat sangat geram. Menghentakkan kakinya kesal, Vista mengejar Sivel dengan emosi di ubun-ubun. Berusaha menenangkan hatinya yang ingin meledak. Mendapatkan Sivel tak mudah dan kemarin malam dia menawarkan menjadi pacarnya. Tanpa pikir panjang Vista mau, tidak tahu kalau sikap cuek Sivel makin parah. "It's ok honey. Aku akan mendapatkan hatimu dengan caraku." Vista tersenyum simpul.
Selama perjalanan, pikiran Sivel hanya terpusat pada Niken. Tak peduli dengan ocehan Vista yang dari kiri ke kanan lalu putar balik, sungguh telinganya sangat panas mendengarkan. Lima belas menit dia sudah sampai. Hanya mengantar sampai pagar, tidak ada pamit undur diri atau basa basi minum air putih. Sangat tidak ingin. Kalau bisa, Sivel ingin menurunkan cewek itu ditengah jalan lalu meninggalkannya. Hanya saja, hatinya masih baik belum benar-benar jahat. Perlu latihan untuk itu.
Melajukan kendaraannya dengan sangat cepat, Sivel berhenti di tempat sepi. Menelungkupkan wajahnya di atas setir beberapa detik lalu mengangkatnya. Memukul setir dengan sangat emosi dan berteriak, "Gue suka lo, Niken! Gue cinta lo! Sampai kapan lo siksa gue kek gini terus?"
Setelahnya, Sivel kembali membenamkan wajahnya di setir. Mengeluarkan sesak yang mengimpit menjadi butiran bening. Tak apa menangis jika itu membuat lega. Dering ponsel membuatnya membuka mata, ada nama mamanya di sana, malas mengangkat, Sivel lebih memilih melanjutkan perjalanannya. Lalu dering kedua ada nama Nando, tanpa pikir banyak Sivel mengangkatnya, ternyata panggilan video. Menepikan mobilnya, Sivel memilih menerima.
"Ya?" tanya Sivel.
Bukannya menjawab, Nando mengarahkan layar itu ke Niken yang kini sedang tertawa bersama teman sekelasnya. Raut bahagia terpancar jelas di wajahnya. Tersenyum Sivel memandangnya, berterima kasih pada Nando yang pengertian. Mengerti bahwa rindu itu ternyata menyakitkan. Rindu itu pelampiasan dan sekarang rindunya terbayar. Hanya sepuluh menit dan Sivel tersenyum bahagia. Kembali melajukan kendaraan dengan hati yang ringan dan bahagia.
"Kenapa telpon Mama nggak kamu terima?"
"Di jalan."
"Kamu bisa menepi, Sivel!"
"Aku akan telat pulang."
"Telpon Mama nggak berjam jam."
"Sivel akan bimbel, Mama boleh istirahat di sini sesuka Mama."
Sivel kembali keluar. Saat pulang sekolah tadi dan membuka pintu apartemennya, dia menemukan mamanya duduk di sofa depan televisi. Bukan hal yang mengejutkan jika mamanya tiba-tiba berada apartemen miliknya. Dia sesuka hati datang kapan saja. Lagipula bukan hal penting yang dibahas jadi, tidak berefek pada dirinya.
"Sivel! Mama kesini karena rindu kamu!"
"Dan ujung-ujungnya tanya aku mau ikut siapa? Mama atau papa? Basi," ucap Sivel yang kemudian pergi. Jika mencintai anak, seharusnya mereka tidak berpisah dan kembali berpikir, pantaskah kata rindu diucapkannya? Sementara anak akan mengucapkan rindu jadi bingung pada siapa rindunya tertuju.
Sesampainya di mobil, bukannya segera pergi, Sivel malah diam. Mengambil ponsel di sakunya dan melihat foto Niken di sana. "Aku merindukanmu," ucap Sivel sambil mengingat momen indah antara mereka. Dia tersenyum, melanjutkan ucapannya, "aku butuh kamu, bisakah aku berada di sekitarmu sekali lagi?"
Mungkin Tuhan menciptakan mereka dengan satu rasa, dan mereka adalah jodoh yang tertunda bersama. Buktinya, sekarang Niken menelponnya, membuat kedua sudut bibir Sivel terangkat. "Ya?"
"Lo, dimana?"
"Mau bimbel, kenapa? Kangen?" Senyum mengejek terbit di bibir Sivel. Padahal hatinya bergemuruh bahagia.
"Pede gila! Gue butuh lo, tong sampah. Cepetan kesini!" ketus Niken.
"Nggak, gue bimbel." Sebisa mungkin dia harus menghindari Niken meski rindu menyelimuti. Dia sudah menjalankan rencananya jadi, sangat tidak mungkin rusak karena rengekan manja Niken.
"Tega lo."
Melihat wajah yang tadi ceria kini mendung membuat Sivel tidak enak hati. " Oke, tunggu sepuluh menit."
Gagal. Sivel gagal menjaga diri dan hatinya. Karena nyatanya hatinya menuntun pada Niken. Sepuluh menit yang dia janjikan. Maka, Sivel tidak boleh lebih dari itu. Segera dia memacu mobilnya supaya lebih cepat sampai dan bertemu senyum seindah bulan sabit.
"Kenapa lo nggak ikut ke sini?" tanya Niken begitu melihat Sivel datang dan duduk di sampingnya.
"Gue keburu ada urusan bentar."
Menghela napas panjang, Niken mengangkat jemarinya dan mengelus rambut hitam legam yang kini bersandar di sofa. Niken tahu, Sivel sedang dalam mood yang jelek. Tadi entah kenapa dirinya merasa ada hal yang menyesakkan, lalu mengambil ponsel memencet nama Sivel di sana. Niken merasa Sivel sedang dalam kesedihan yang teramat dalam. Terbukti ketika melihat wajah Sivel yang gelap seperti mati lampu.
"Tante Luna ke sana lagi?" Sivel mengangguk, "terus lo tinggal?"
"Dia seenaknya kalo bicara."
"Dia orang tua lo, Vel."
"Seharusnya kalau dia bisa bilang rindu, dia bisa menahan perceraian dan tidak memilih berpisah, Ken. Lalu aku tinggal dengan salah satu dari mereka? Munafik kalo aku bilang nyaman. Nyatanya lebih baik aku sendiri. Jadi siapa yang ingin bertemu, tinggal datang ke apartemen. Mudah kan."
"Lo nyuruh ke apartemen, nyatanya sekarang lo tinggalkan. Itu apa namanya, ya?" Niken mencebik, kesal dengan ucapan Sivel.
"Kamu nyuruh aku kesini ngapain?"
Sinar matanya berubah menjadi seterang lampu petromax. Tak sadar bahwa panggilannya berubah dari lo-gue menjadi aku-kamu. "Ah iya, tadi itu teman-teman kesini bawain aku brownies," ucapnya sambil membuka bungkusan roti empuk legit dengan rasa coklat yang super enak itu, mengambil sepotong dan menyuapkan ke Sivel, "gimana? Enakkan? Besok kalau aku sembuh, kita kesini ya. Kata mereka sih, ada kafenya. Jadi, bisa makan di tempat."
"Oke."
"Seberat itukah masalahmu?" tanya Niken, jarinya membelai pipi Sivel. Ada yang aneh pada Sivelnya. Perkataan dan sikap Sivel sangat berbeda dari biasanya. Tidak hangat dan nyaman.
"Sudah selesai? Aku pergi dulu, ada urusan yang lebih penting."
Sakit?
Pilihan sudah diambil
Kalau kau punya sikap maka, bertanggung jawab lah dengan pilihanmu
Jangan melihat kebelakang
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyanyian Rindu
أدب المراهقين{ Estrella projects } "Lo ... suka sama Vista?" "Nggak." "Lalu kenapa lo pacaran sama dia?" "Karena pengen jauh dari lo."