Hidup itu mudah. Lo suka seseorang kejar. Dia nggak suka lo usaha. Semudah itu.
We don't talk anymore
We don't talk anymore
We don't talk anymore
Like we use to doNiken menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kiri, menikmati lagu yang dinyanyikan. Merasa suaranya paling merdu dan paling nyaring. Lalu
tersenyum ketika disapa oleh murid yang dikenal. Berjalan di koridor dengan santai sambil memegang tali tasnya yang tersangkut di pundak.We don't love anymore
What was all of it for?
Oh, we don't talk anymore, like we used to doNiken menolehkan kepalanya dengan cepat ketika mendapati lanjutan lagu yang dinyanyikan olehnya diteruskan suara orang lain.
"Gimana kalo kita duet? Suara kita udah semerdu Rhoma Irama dan Rita Sugiarto, lho." Sivel menaikkan kedua alisnya dan tersenyum menawan. Merangkul pundak Niken. Kebiasaan yang tak bisa hilang dengan mudah. "Pikir dulu aja deh, ntar gue cariin manager."
"Sorry, ya, level gue itu Lisa black pink. Bukan produk lokal."
"Lancar nih, bahasa Inggrisnya sekarang?"
Niken itu lebih suka menyanyi lokal, bangga ciptaan Indonesia katanya. "Yang nyanyi cakep, Vel. Lagipula gampang ingetnya." Sivel mendengus, mendengar perkataan Niken. Cewek di sebelahnya ini, kalau masalah ganteng, keren dan cakep, nomor Wahid, meski akhirnya lupa siapa nama penyanyi itu. Tidak pernah mau ketinggalan alias selalu up to date.
Sivel berhenti melangkah. Digenggamnya tangan Niken supaya menghadap dirinya. Menenangkan diri sebelum mengeluarkan uneg-uneg yang dari tadi berputar di otaknya. Mengambil kedua pundak Niken dan membuat menghadapnya.
"Lo itu ya, cewek paling dablek yang gue kenal. Kemaren kan, gue udah bilang 'BERANGKAT DAN PULANG SEKOLAH BARENG GUE' kenapa tadi gue jemput udah nggak ada dan sekarang udah di sekolah?" ucap Sivel jelas dan cerewet. Padahal dirinya sudah usaha bangun pagi dengan susah payah hanya untuk bisa berangkat sekolah bareng Niken.
"Gue nggak enak tahu. Masa iya, gue nebeng lo terus?" Memang, kemarin sepulang dari kafe, Sivel berpesan seperti itu, tapi karena Niken tidak enak hati, jadi dia naik motor kesayangannya. "Lagian kita nggak searah, Vel. Lo, musti muter dulu kalo jemput." Alasan yang bagus pikir Niken.
"Gue yang jemput, kenapa lo yang nggak setuju? Lebay." Sivel mencibir.
"Vel, rumah gue sekolah itu dekat. Bukan kayak ancol ke ragunan," sengit Niken. "Jadi gue lebih cepet sampai daripada harus nunggu lo dulu."
"Gue khawatir, Ken. Ngerti dong!"
"Karena alasan itu gue nggak mau ngerti, Vel!" Niken memutar badan dan berjalan menyusuri koridor melanjutkan perjalanan menuju kelasnya. Meninggalkan Sivel yang kini tak bergerak sama sekali, dengan senyum miris di bibirnya. Mentertawakan perasaannya yang tak karuan.
Ada sakit yang menyelip di hatinya, tapi dia memilih tak peduli. Ada tangis yang akan keluar, tapi ditahannya. Ada goresan yang tak berdarah, tapi dia memilih acuh. Kejadian di masa lalu membuatnya menjadi seorang cewek yang tak perasa. Mengabu-abukan perasaannya, sekalipun banyak yang mendekat. Menutup mata dan telinga dari semua cowok yang berusaha mendekati dirinya. Karena itu lebih baik daripada menyesal setelahnya.
Melihat Niken yang berjalan meninggalkan dirinya, lagi, membuat Sivel mengambil napas kemudian mengeluarkan perlahan. Jujur, dia memang menyukai Niken karena anaknya yang menyenangkan dan mampu membuat nyaman. Selain itu, dia mudah bergaul. Banyak yang menyukai, tapi Niken acuh, tak peduli dan tak perasa. Menarik kedua sudut bibirnya, Sivel melanjutkan perjalanan menuju kelas. Mencoba bertahan untuk kembali merebut hati kesayangannya.
Saat masuk, terlihat Niken mengeluarkan ponsel sambil bernyanyi kecil, kebiasaan yang sangat dihapal Sivel. Tak mau mengganggu, Sivel lebih memilih melihat Niken dengan posisi yang sama. Meletakkan kepala di meja dan memejamkan mata.
"Nikeeennnnn!"
"Apa sih, teriak-teriak!"
"Eh, bucin. Hai!" sapa Yunita pada Sivel yang hanya dibalas dengusan. "Ken, nanti ke mall yuk. Temani gue beli sepatu inceran gue."
"Udah banyak, tabungan lo?" Niken tahu sepatu yang dimaksud temannya ini. Karena sudah lama dia cerita, bahkan sangat detail. Rela menelan ludah demi sepatu impian.
"Udah dong. Dan nanti bakal ada diskon gede-gedean! Rejeki nomplok kan gue," ucap Yunita dengan penuh semangat.
"Berdua aja?"
"Gue anter, Ken," sahut Sivel.
"Iyess! Gratis ya, Vel," ucap Yunita penuh semangat sambil menaik turunkan alisnya. "Makasih, Bucin."
"Nggak usah. Ini girls time," sahut Niken.
"Yah, Niken, sayang banget tumpangan gratis disia-siakan," ucap Yunita sendu.
"Gue bawa motor."
"Kalo itu gue juga tahu pohon bambu!" Niken mengangkat bahunya tak peduli ucapan Yunita.
Niken hanya berusaha mengikis jarak antara keduanya. Karena tahu pada akhirnya akan seperti apa cerita mereka. Tidak ada yang salah bukan? Mematikan rasa kemudian menguburnya? itu lebih baik daripada membiarkannya percuma. Tidak lupa diselipi doa, semoga tidak ada tunas setelah itu.
Bel berbunyi, seluruh siswa duduk di kursinya masing-masing. Sivel masih memandangi Niken yang tengah sibuk mengeluarkan bukunya. Kembali dia menarik napas berpikir sejenak, melihat Niken seolah membangun tembok yang tinggi diantara mereka. Ada yang salah pada Niken tapi Sivel belum menemukannya. Seperti memasuki taman bunga, indah, tapi menyesatkan. Harus menyibakkan bunga itu supaya tahu jalan keluarnya. Mudah masuk susah keluar, bahkan kadang salah gang.
Sivel tak mempermasalahkan kalau Niken belum membuka hatinya asalkan jangan menjauh. Dirinya sudah terbiasa dengan sikap Niken yang hangat, seperti rumahnya. Sivel tak pernah peduli tentang hatinya, asalkan Niken selalu dalam jangkauannya. Dia tak pernah pusing dengan hal-hal receh atau masalah besar. Karena ada Niken yang selalu memberikan ketenangan pada dirinya serta mencari solusi dengan kepala dingin. Bagi Sivel, Niken dunianya, porosnya. Namun, Sivel tak tahu siapa dia bagi Niken.
"Hidup itu mudah, Vel. Lo suka seseorang kejar. Dia nggak suka lo usaha. Semudah itu." Rizal menepuk bahu Sivel memberi semangat.
"Menurut lo ... usaha seperti apalagi untuk bisa meruntuhkan tembok yang dia bangun?" tanya Sivel pada Rizal yang kini sudah duduk di kursinya.
"Bukan temboknya, Vel, tapi pondasinya. Pondasi dia terlalu kokoh sehingga tembok itu kuat dan berdiri tegak. Hancurkan pondasinya, maka runtuh temboknya."
Kembali Sivel melirik Niken yang kini mulai asyik bercengkrama dengan Ainun. Terlihat sangat akur dan tanpa beban. Dia senang orang lain bisa merasakan cinta, tapi dia tak membiarkan seseorang menerobos hatinya untuk mendapatkan cinta. Siapa Niken? Niken menjelma seperti seorang malaikat bagi dirinya dan teman-temannya, tapi tak pernah sekalipun dia mengepakkan sayap untuk terbang tinggi. Dia lebih memilih memijakkan kakinya dan bersama temannya.
Sivel melirik permen karet ketika seseorang meletakkannya di mejanya. "Istirahat, Vel. Mungkin hati dan otak lo kembali jernih ketika selesai istirahat," ucap Nando. Ya, orang yang meletakkan permen karet itu Nando.
"Gue nggak suka permen karet kayak, lo." Sivel mengembalikan permen karet tersebut kepada Nando.
"Gue takut dia risih kalo lo terlalu memaksakan perasaan lo. Biarkan semua berjalan apa adanya. Yang gue takuti dia malah nggak nyaman sama sikap lo yang terlihat memaksakan. Hingga akhirnya dia memilih pergi. Lo nggak mau kayak gitu 'kan?"
Ah, benar juga ucapan ketua basket Estrella High School ini. Bukankah yang terpenting saat ini keberadaan Niken yang selalu di sampinginya. Tak peduli hujan batu ataupun bumi meledak, Sivel akan selalu di samping Niken. "Lo benar. Thanks," ucap Sivel kemudian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nyanyian Rindu
Teen Fiction{ Estrella projects } "Lo ... suka sama Vista?" "Nggak." "Lalu kenapa lo pacaran sama dia?" "Karena pengen jauh dari lo."