Sepuluh

3 0 0
                                    

Jika menyakiti hati sendiri adalah cara untuk mendapatkan kebahagiaan, maka aku akan berada di garis depan.








Seluruh perhatian murid Estrella tertuju pada dua insan yang kini berjalan dengan santai melewati tengah lapangan. Tak peduli tatapan dan bisikan yang mengikuti tiap langkah mereka. Malah keduanya masih asyik menautkan kedua jarinya. Jika yang cewek tersenyum bahagia, catat sangat bahagia. Maka, sang cowok muram, kusut, bahkan seperti habis kebanjiran rumahnya.

"Anterin aku ke kelas dong, Sayang," ucap Vista manja. Ya, dua insan yang menjadi trending topik pagi ini adalah Sivel yang biasanya sangat menolak kehadiran Vista, kini malah berjalan berdua seperti dunia milik mereka. Melekat seperti dilem. Vista sendiri sibuk menata giginya.

"Gue ada tugas dan belum kelar," jawab Sivel malas.

"Ya udah, aku yang anterin kamu ke kelas," sahut Vista cepat. Senyumnya tak pernah lepas dari bibir mungilnya.

"Nggak usah! Gue langsug ke kelas saja," ucap Sivel tegas, lalu meninggalkan Vista yang kini menatapnya dengan pandangan sedih, tapi kemudian dibuangnya jauh-jauh. Dirinya sudah mendapatkan Sivel, seseorang yang sangat dicintainya jadi, tak mungkin Vista melepaskannya. Meskipun ada setitik curiga, tapi tak mungkin dirinya melepaskan kesempatan berlian ini.

'Gue nggak tahu alasan lo mau jadi pacar gue, tapi apa yang gue genggam nggak akan gue lepasin dengan mudah,' batin Vista. Pandangannya tidak lepas dari punggung tegap yang perlahan menjauh lalu hilnag di tangga.

Mengembuskan napas, Sivel menyenderkan tubuhnya di pagar tangga. Entah kenapa dia bisa mengambil keputusan bodoh ini. Sehingga sekarang terjebak pada ucapannya sendiri dan dalam keadaan yang sangat sulit. Keputusan sudah diambil mundur tidak bisa, maju berbahaya.

Dengan lemas Sivel melanjutkan langkahnya menuju kelas. Pikirannya berkecamuk, di satu sisi dia ingin melihat rasa cemburu Niken dan di sisi lain dia rela sakit menyiksa hatinya karena jauh dari Niken. Tujuannya satu, meyakinkan Niken bahwa dia mempunyai perasaan yang sama dan membuang keraguan yang ada. Ingin tahu seberapa kuat Niken membohongi perasaannya.

"Bucin! Lo jadian sama kutu rambut itu?" tanya Yunita serius. Wajah tak percaya sangat terlihat jelas di sana

"Seperti yang lo lihat aja," jawab Sivel cuek. Dia tahu akan seperti ini, tapi dia berusaha supaya rencananya berhasil. Tidak boleh ada kesalahan sedikitpun.

"Bucin, gue tau lo menyerah, lo capek, lo kesal dan sedih, tapi nggak gini caranya. Cari cara yang lebih apik bucin," ucap Yunita lebih serius. Duduk di kursi di hadapan Sivel, Yunita meneruskan ucapannya, "gue tau lo, perasaan lo, tapi bukan berarti lo nyakitin diri sendiri dengan jadian sama kutu rambut itu!"

"Tau, bodo banget!" Rizal ikut menyalahkan. Kesal juga dengan sikap sembrono Sivel.

Mengembuskan napas kasar, Sivel tak ingin terlihat lemah karena pilihannya ini. Sangat menyakitkan, tapi demi masa depan, apapun akan dia lakukan. "Bisa kalian pergi? Gue mau ngerjain tugas." Sumpah, belajar jahat itu susah. Mereka teman yang baik, Sivel jujur itu.

"Gue nggak mau lo menyesal, Vel," ucap Yunita, menepuk pundak Sivel, melanjutkan perkataannya, "kita akan selalu ada ketika lo butuh. Jangan merasa sendiri. Kita sahabat lo apapun yang terjadi."

"Baik-baik ya, sama kutu rambut," ucap Rizal terkekeh.

Nando melewati Sivel yang kini menunduk. "Pilihan bodoh," bisiknya.

Harap-harap cemas, Sivel terus menatap pintu kelas. Sebentar lagi bel, dan Niken belum datang. Tak pernah Niken datang telat karena posisinya sebagai sekretaris kelas yang harus mengisi absensi sebelum guru datang. Jadi, jika jam sudah mepet begini dia belum datang itu artinya Niken belum masuk sekolah, masih sakit. Kembali melirik benda bulat di pergelangan tangannya, Sivel putus asa karena bel berbunyi dan Niken belum datang. Sivel pikir sakit biasa, tapi kenapa belum bisa sekolah? Ingin khawatir atau sekedar chat itu tidak mungkin, Niken sudah menyuruhnya mundur.

Berdiri Sivel mengambil buku absensi dan melakukan pekerjaan Niken. Ada rindu di hatinya, tapi tak mampu berbuat. Ada rasa yang kosong, tapi sudah terlambat. Ada sakit yang teramat, tapi hanya bisa diam. Setelah melakukan absensi, Sivel kembali duduk dan menatap kursi kosong di sebelahnya. Tersenyum dia membayangkan Niken yang menyanyi sambil menggelengkan kepala atau menghentakkan kakinya. Tersenyum miris karena tak bisa berbuat banyak dan hanya bisa mengenang itu semua.



💢💢💢




"Gimana keadaan kamu, Sayang?" Bu Fira mengelus rambut anaknya, raut khawatir masih terlihat sangat jelas di wajah cantiknya.

Kemarin, selesai niken berbicara dengan Sivel, napasnya sesak dan keringat dingin keluar, setelah itu Niken pingsan lagi. Dirinya pikir akan kuat bicara dengan Sivel, nyatanya tidak. Keberanian yang dia kumpulkan sejak kemarin malam terbuang begitu saja ketika melihat mata sendu itu. Niken tidak kuat, dia tidak mampu.

Masih teringat jelas ketika rasa itu datang dan disambut dengan tangan terbuka oleh pilihan hatinya. Lalu pilihan hati yang baru beberapa menit menjadi miliknya itu goyah karena kedatangan sahabatnya. Namun, belum sempat memilih, sahabatnya menyerah dan meninggalkan dunia ini. Salahkah hatinya jika jatuh cinta? Salahkah dirinya jika menerima perasaan itu? Salahkah dia yang masih hidup?

Jika jatuh cinta sesakit ini, maka dirinya memilih memendam perasaannya. Lebih baik begitu daripada kehilangan seorang sahabat dan pujaan hati. Sungguh dia tak ada niat untuk menyakiti. Inginnya rasa itu memberikan warna cerah di hari-harinya, nyatanya tidak. Rasa itu memberikan warna kelam dan membuat dia terluka, bukan hanya fisik tapi batin juga.

Niken meraba bahunya yang terkadang masih terasa sakit. Kejadian itu membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Dering ponsel menghanyutkan ingatannya tentang masa lalu. Dilihatnya nama yang tertera, Yunita. Tersenyum dia mengangkat panggilan video itu. "Hai," sapanya lemah.

"Lo kapan masuk?" teriak Yunita dari seberang. Satu per satu temannya ikut memenuhi layar ponsel genggam yang kini dipegang Yunita.

"Besok," ucap Niken yakin meski hatinya tidak tahu pasti itu terwujud atau tidak. Dia perlu menguatkan hati untuk bertemu Sivel.

"Muka lo pucat banget. Kangen gue tuh sama sekretaris kelas. Nggak ada yang teriak-teriak kalo absen."

"Kan gue udah bilang ke Ainun bawa toa aja."

"Terus pengajian di rumah pake toa apa, Dudul?"
"Ken, lo nggak capek apa di rumah terus? Besok masuklah." Rizal menampilkan wajahnya.

"Demi apa lo kangen gue, Zal?" Terlihat di sana Rizal mencebik. "Nando! Bawa bekal apa lo?" Nando mendengus.

"Nggak usah kepo, sembuhin muka pucet lo aja deh," ucap Nando. Terlihat Niken mengulum senyum.

"Kita nanti ke rumah lo, ya?"
"Tante Fira suruh buat seblak paling mantap."
"Gue ikut."
"Gue juga."

"Kalian mau jenguk gue atau mau makan gratis, sih?" Tawa meledak di kelasnya. Membuat Niken kesal adalah hal yang tidak bisa dihilangkan.

"Bye Niken. Sehat sehat ya, dan siapkan cemilan banyak kita mau datang nanti siang," ucap Yunita dan seluruh temannya melambaikan tangan sebagai kata perpisahan.

Nyanyian RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang